Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Irvan Syahril

Sebelum Meninggalkan Banda Neira

Kabar dari lembar koran dan radio di penginapan
adalah pengumuman, adalah  sinyal penjemputan,
aku melihatmu berkemas dengan Beethoven yang menyala.

Bom meledak, Pearl Harbour runtuh, dan Ambon
yang terkepung seluruh penjuru, seperti piringan hitam yang
berputar dalam kepalamu. Seperti suara malam yang utuh.

Aku akan kehilangan riuh di bibir pantai, ketika kau
mengajarkan lagu kebangsaan, sekeras-kerasnya, sampai
ujung laut itu menyatakan kibar bendera kemerdekaan.

Dan pada suatu waktu, malam menculikmu dari penginapan.
Malam dengan gema pesawat terbang. Sejak itu, aku belajar
mengulang lirik lagu itu dengan ketulusan dan kebebasan.

2018

 

Surat Untuk Mirat

Dalam surat ini ada sebuah sore dengan angin yang lelah
menghindari kita, dan ombak yang hampir putus asa
kepada pantai. Cilincing adalah takdir yang menautkan
kita dari resah ke resah soal jeda, jarak dan waktu.

Aku tak tahu selanjutnya bagaimana nasib cinta sembarang
tumbuh ini. Mungkin aku perahu yang kosong di tengah itu.
Mungkin dermaga kayu menanti tertambatnya perahu
di sisi-sisi kesepianku. Mungkin sore yang sayu ini.

Mirat, cinta kerap berbenturan dengan apa yang kita yakini,
tak seirama dengan waktu. Tapi kini aku mengerti bagaimana
kesedihan tak terpisah dari cinta. Mencintaimu artinya aku
seperti pantai ini yang mengulang kehilangan jejak sekali lagi. 

2018

 

Penumpang

Kereta itu datang pada akhirnya, walau kita susah payah
berharap ia tak ada. Uap pagi bermuara pada lampu-lampu
seperti kita yang bergegas menuju cahaya di ujung itu.

Menit-menit amat sakit. Peluk dilepas dari eratnya
air mata, dan kata seakan habis. Kita adalah penumpang
yang kaku oleh jadwal datang dan keberangkatan.

Seseorang memberi pengumuman
“Hati-hati melangkah perhatikan celah waktu”

Lalu kita melipat diri
berjalan membelakangi kesedihan
mungkin untuk terakhir kali.

2018

 

Seandainya Kita Menua

I.
Seandainya kita menua, tiada lagi selembar tiket wisata
yang memanjakan tulang-tulang. Dari loket ke loket
pastinya kita diminta duduk dan membaca himbauan.

II.
Hari-hari kita tulis pesan yang mungkin kelak dibaca
entah siapa. Dalam pesan itu tak ada lagi basa-basi
dan mungkin cuma ungkapan takut berjalan sendiri.

III.
Kita selalu mencurigai celah jendela dan ketuk pintu
jika yang datang pada saat yang kurang tepat itu ialah ajal
dan kita belum sempat mengucap selamat tinggal.

IV.
Tiada lagi obrolan perihal pengorbanan atas cinta ini
setiap waktu kita hanya mengira sesuatu diambil segera,
dan pada waktu krusial kita mencintai ketiadaan.

2019

KOMENTAR
Post tags:

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Singaperbangsa Karawang. Menggawangi komunitas Gubuk Benih Pena.

You don't have permission to register