
Puisi-puisi A. April
cilandak
hujan mengguyur (yang bukan) aku
lewat sela-sela mata
kupandangi perasaan resah
yang lebih nyata daripada
dosa
kita
yang didoakan hilang per-tutup mata
kilat yang tak sengaja
hampa dipuja-puja
khilaf tak seberapa, kata-Nya
kresek sampah
aku menenteng kantong berisi gundah
menyuap nasi dengan lauk susah
meretas hal-hal yang sudah rusak
menjadi aku dengan tetap merayap
koyak-
koyak
lampu merah di depan muka
hujan duka dalam tong sampah
langkah pelan bersama tawa tuhan
kepul asap
gelap tak salah
temui rambutku yang rontok
pada tumpukan kain perca
yang akan kau jahit
lengkap dengan jari
jari
hati- hati
jantung
mati
rumah bapak
di tanah kusir hari ini aku melupakan dompet / bersamaan
dengan mas-mas yang duduk di pertigaan yang mungkin lupa
jalan pulang— lupa dimakamkan — dimalam-kan. / di gelapnya
ramai warna-warni rusun pal merah / aku melupakan nomor
kamar si hasan si bandar togel langganan bapak / yang kiblatnya
ke gang dalam jatinegara / bersama dengan bendera partai
dengan gagang bambu yang lupa diturunkan pemuda sekitar /
yang sudah setahun dihajar hujan panas dan kita / dihajar habis-
habisan oleh lupa duka dan cinta / buka dompetmu sekarang /
lihat struk terakhir kali bayar parkiran / lihat tanggalnya /
sekarang / sebelum kembali ke tanah kusir / untuk dimakamkan
nanti malam / sekarang / lihat kalender / sekarang / jangan
pulang / sekarang
gas
melupakan ban-ban motor karena roda mengandung kenangan
/ berkendara di atasnya berarti kau menyetujui untuk terluka /
sebab jalanan tak akan pernah memberimu materai untuk
bersenang-senang / menangislah / sengsaralah
arteri
menghabiskan februari di arteri
dengan kami yang perlahan hilang
di tengah-tengah kilat petir halte kota
yang melahap orang-orang dari subuh buta
dan kepala yang copot satu-persatu
mendatangi kakiku yang remuk
mereka menjulur lidah minta sambutan
bersama aspal arteri yang bisu
post-trauma-agak-disorder
api mengitari rongga dada
membakar paru, limpa, otot
otot yang lama tak terpakai
kaku dimakan usia
tarik tangan dari rengkuhanmu
waspada sekitar
pupil hampir membuta mencari
waktu yang sudah terlewat
kupikir kau utusan
seperti paradoks yang terjadi lalu
dan mungkin begitu
sebab kau tak pernah asing
waktu adalah kesia-siaan
ketidakmampuan
pernyataan bahwa kita
tidak bisa melawannya