Puisi Noer Listanto Alfarizi
Sepucuk Surat dari Rantau
Pulanglah, kau nampak sudah terlalu lelah.
Kau nyaris lupa bahwa kita pernah menyebut-nyebut cita-cita
dengan begitu sederhana.
Dengan simpul senyum yang kini jarang kau pajang
tiap kali waktu berganti baju.
Pulanglah, biarkan semua orang berlari, berkarya
memburu dollar atau juga popularitas
mengejar badai menerjang ombak
merangkai pelangi ataupun menjejali pemikiran
dengan hal yang biasa kita sebut ilmu pengetahuan
Pulanglah, simpanlah ambisimu sejenak.
Pulanglah dengan kepala tegak dan keyakinan di pundak.
Kau memang tak sepintar Einstein
tak setenar John Lenon tak seromantis Gibran
tak sekaya Bill Gates ataupun Lim Sio Liong.
Tapi percayalah, kau masih sesederhana dulu.
Bukankah kau pernah berkata:
“Kesederhanaan telah menjadi harta yang tersisa di jiwamu
harta yang paling kau jaga setelah do’a”.
Pulanglah, hijau rumput dan bisik lembah selaja memanggilmu
pinus-pinuh nyaris tiap hari mengirimkan pesan rindu
yang terselip pada angin juga pada gerimis.
Ada secangkir teh hangat yang setia menantimu
di bawah payung teduh sang senja.
Kita tulis lagi perasaan yang berdegup seirama sajak langit.
Kita nyanyikan rindu pada belantara huma di bukit sana.
Kita mengeja luka, mengeja airmata yang kita simpan.
Tulislah sepucuk surat
Barangkali itu penebus airmataku
Mari kita tuang rindu
27 seloki
Biar mabuk
Pulanglah, agar langit di jiwa tak lagi menyeru gelisah
Pulanglah, karena airmata nyaris menciptakan samudra.
Bandung, Februari 2015