
Puisi Mantra atau Mantra Puitis?
Sebuah Ulasan Singkat Mantra Bumi karya Aprinus Salam
“Maka kutulis puisi ini/Kuambil kata-kata/Kubasuh dan kumandikan…”
(“Mantra Penyair”, Aprinus Salam)
Kumpulan puisi mantra karya Aprinus Salam yang diberi judul Mantra Bumi (Penerbit Gambang, 2016) terdiri dari delapan tema utama, yakni Mantra Harian, Mantra Tubuh, Mantra Perkakas, Mantra Tempat, Mantra Profesi, Mantra Ketika, Mantra Mantan, dan Mantra Bumi. Pemilihan tema-tema tersebut tentu bukan tanpa alasan. Dari berbagai puisi dalam Mantra Bumi, dapat ditarik sebuah benang merah mengenai apa mantra yang dimaksud dalam kumpulan puisi ini.
Sebelum membahas mengenai puisi mantra dalam kumpulan puisi ini, sebaiknya istilah mantra perlu diperjelas maknanya. Mantra sendiri pada awalnya milik penyembuh, dukun, penyair. Dalam banyak kisah, bak kata-kata bertuah, mengandung kekuatan magis: mantra mengubah, menggerakkan, menghidupkan, dan mematikan. Pada zaman dahulu di Inggris, penyair tidak hanya menghasilkan karya sastra, tetapi juga pengingat sejarah, pelindung negeri, penasihat, dan perapal mantra.[1] Mungkin Aprinus Salam adalah satu penyair yang juga merapal mantra yang berkisah tentang mereka yang terlibat dalam kehidupan dan peran-peran mereka.
Kata ‘mantra’ secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta man (berpikir, merenung) dan dengan akhiran –tra (alat, instrumen), sehingga dapat diartikan sebagai “alat dari pikiran”. Kata-kata yang berasal dari pikiran tersebut dianggap bertuah sehingga dapat pula didefinisikan sebagai formula verbal yang memiliki kekuatan istimewa.[2] Dengan merapal mantra, kekuatan dan keinginan kuat yang dihasilkan pikiran mampu memberikan keyakinan akan munculnya efek-efek tertentu.
Selain itu, mantra juga bersifat puitis karena memiliki aliterasi, memiliki ritme, rima, dan sebagainya.[3] Jadi sebenarnya mantra itu puitis, atau puisi bisa menjadi mantra? Jawaban pertanyaan inilah yang akan mungkin akan memperlihatkan benang merah dalam puisi-puisi Mantra Bumi.
Dalam Mantra Bumi, sang penyair berhasil menggubah filosofi-filosofi dari berbagai peran di atas menjadi puisi-puisi. Dengan kata lain, puisi-puisi tersebut adalah bentuk mantra dari filosofi peran-peran yang ada dan berisi kata-kata yang memberi definisi maupun instruksi bagi persona dalam puisi untuk menjalani berbagai peran.
Adapun peran yang dimaksud adalah peran penyambut pagi, bumi, mantan, pemancing, penyair, dan sebagainya. Secara spesifik, puisi-puisi yang akan diulas lebih dalam tulisan ini adalah “Mantra Pemancing” dan “Mantra Penyair” yang termasuk dalam tema Mantra Profesi. Dari pembacaan mengenai kedua puisi ini bentuk mantra yang mewujud dalam peran-peran akan terlihat.
Puisi “Mantra Pemancing” berkisah tentang persona yang dengan setia menunggu umpannya disambar. Bukan sekedar pemancing dan ikan, kail nasib dengan umpan hati ditunggu dengan penuh damba. Pemancing ialah ia yang bersedia menebar dan menunggu. Siapa yang akan ditemui tidak bisa dipastikan.
Mantra dalam puisi ini merupakan esensi dari kegiatan memancing itu sendiri. Ada beberapa hal yang dibutuhkan para pemancing: pancing yang terdiri dari kayu panjang, senar, dan kail, serta umpan. Kail dibutuhkan untuk mengaitkan umpan, sedangkan senar dipakai untuk menarik apapun yang tertipu oleh umpan yang harus sesuai dengan yang ingin ditangkap. Jika yang ingin di’tangkap’ adalah seorang yang ingin dicintai, bait ketiga yang berisi “Menunggumu, kusebar hati/ Ke sudut rumahmu/ Ke pelosok batinmu/ Ke ruang hatimu” menjelaskan banyak. Cinta datang ketika hati telah diberikan. Dalam penantiannya, sang persona tidak diam saja. Ia mencoba untuk menyebarkan perhatian dan kasih. Peletakan umpan juga harus sesuai dengan habitat dari buruan. Jika ingin memancing tuna, taruh umpan di laut. Jika ingin memancing belut, umpan bisa dipasang di sawah. Menebar ‘hati’ pun tidak di sembarang tempat. Hati terpaut dengan hati. Oleh sebab itu, hati yang disebar diharapkan dapat menyentuh hati dan jiwa. Itulah yang dilakukan para pemancing; mereka menebar umpan dan berharap akan ada yang menyambar.
Puisi selanjutnya, “Mantra Penyair”, berkisah tentang mereka yang menjadi boneka kata-kata yang entah milik siapa dan entah kenapa seperti itu adanya. Puisi-puisi dalam Mantra Bumi merupakan kumpulan kata-kata yang bermakna lebih atau bisa jadi dimaknai lebih, dan disusun sedemikian rupa untuk menjadi mantra. Kata-kata tersebut kemudian “Kubasuh dan kumandikan/ Kupelihara ia dengan cinta/”. Diperlukan pemilihan yang teliti terhadap ribuan kata-kata yang mungkin tersedia untuk kemudian dijalin rapi menjadi sebuah puisi yang mampu merepresentasikan esensi peran penyair tersebut. Bahkan sang persona yang membentuk peran pun dibentuk oleh kata-kata, seakan-akan ia adalah marionette.
Masing-masing puisi di atas mewujud mantra yang mengarahkan ritual-ritual yang kemudian mendefinisikan sekaligus membentuk peran pemancing dan penyair. Ritual dan mantra telah menjadi dua hal yang sulit dipisahkan sejak zaman dahulu. Mantra sebagai bagian dari ritual memberikan kekuatan dan memberi efek-efek yng diinginkan pada mereka yang terlibat dengan cara dirapalkan dan dimanifestasikan dalam ritual berulang-ulang. Hal ini merujuk pada kekuatan mantra yang terletak pada pengulangan yang memberikan afirmasi terus-menerus. Perapalan yang berulang juga berarti mantra, atau dalam pemaknaan kumpulan puisi ini, menjadi esensi yang menjadi ritual yang akan terulang berkali-kali. Seperti halnya yang diungkapkan dalam kedua puisi tersebut, mantra adalah pembentuk peran yang berulang kali menjadi lakon banyak orang, atau apapun yang ada di semesta. Mantra telah mengubah bumi, menggubah cerita, dan tak lekang oleh usia. Puisi mantra maupun mantra puitis: keduanya menunjukkan kekuatan kata-kata.[]
[1] Michael Alexander, The Wanderer: Elegies, Epics, Riddles (Poems from England’s Ancient Origin). 2013. Great Britain: Penguin Classics, hlm. XV.
[2] Yelle, Robert A. Explaining Mantras: Ritual, Rhetoric, and the Dream of a Natural Language in Hindu Tantra. 2003. Great Britain: Routledge, hlm. 9.
[3] Ibid., hlm. 11.