Puisi Amerika Latin
Aku akan mulai dengan sebuah pengakuan; aku yakin akan adanya puisi-puisi yang ditulis para penyair amerika latin selama lima puluh tahun belakangan ini, akan tetapi aku tidak yakin akan adanya puisi Amerika Latin. Keraguan ini hadir pula ketika aku menemui ekspresi serupa, seperti “puisi Inggris” ataupun “puisi Prancis”. Keduanya menandai realitas yang beragam dan terkadang bertentangan; La Fontaine dan Rimbaud, Dryden dan Wordsworth. Terlepas dari kesulitan umum semacam ini, ada masalah lain yang lebih nyata: meski tampak natural, frasa “puisi Amerika Latin” sebenarnya mengaitkan dua term yang tidak dikenal. Pada saat ini, setelah lebih dari dua abad perdebatan estetika, dari Aristoteles sampai Heidegger, kita menderita semacam vertigo filosofis. Tak seorang pun betul-betul mengetahui arti puisi. Pada ranah politik dan sejarah, hal yang sama terjadi dengan term “Amerika Latin”: berapa banyak yang terhimpun di antara mereka?—satu? beberapa? atau tak satu pun? Barangkali itu hanyalah label yang belum menamai realitas yang tersembunyi dalam semangat yang meletup-letup—sesuatu yang belum memiliki namanya sendiri sebab belum mendapati keberadaan dirinya sendiri. Aku mengurutkan masalah-masalah tersebut bukan sebagai retorika kosong melainkan untuk menjustifikasi metodeku dalam artikel ini; penyangkalan serta perbandingan. Sebab mustahil mendefinisikan atau bahkan mendeskripsikan puisi kita sebagaimana adanya, aku akan mencoba untuk mengeluarkan yang bukan. Tujuanku membersihkan medan; setelah belukar terpangkas, mereka yang penasaran boleh mengamati dari dekat dan bahkan lebih dari itu; dapat menghayati—bukan puisi poetry yang tidak berbunyi sedari lahir melainkan sajak poem yang merupakan realitas verbal.
Apabila sajak poem pada mulanya dan utamanya adalah sebuah objek verbal, akan sulit untuk berurusan dengan realitas linguistik yang beragam dalam satu artikel. Ada beberapa bahasa yang dituturkan di Amerika Latin: Portugal, Spanyol, Prancis serta bahasa daerah. Bahasa yang disebut belakangan adalah sebenar-benarnya bahasa Amerika—namun itu bukan bahasa Latin. Selain itu, kesusasteraan berbahasa daerah itu tradisional dan hampir pasti lisan. Secara saklek, kesusasteraan mereka jelas tidak kontemporer. Puisi Amerika berbahasa Prancis pun menghadapkan kita dengan permasalahan yang menantang. Apabila penyair Haiti termasuk penyair Amerika Latin, bukankah hal ini berlaku pula atas penyair Kanada yang menulis dalam bahasa Prancis? Saint-John Perse lahir di Guadelope dan Aime Cesaire di Martinik. Nama pertama merupakan pengarang Eloges sementara nama kedua merupakan pengarang Cahier d’un retour au pays natal (Pulang ke tanah kelahiran), dua buku tersebut adalah visi daerah Antilles. Karya-karya tersebut sangat terasa sastra Amerika Latin dan pada saat yang sama terasa akrab dengan tradisi puitika modern Prancis. Karena itu pula, gagasan soal “kesusasteraan Amerika Latin” tidak ajek dan mudah goyah. Amerika Latin sejatinya merupakan konsep historis, sosiologis, ataupun politis; frasa itu lebih mengacu kepada sekumpulan kaum yang terhimpun, bukannya kesusasteraan.
Hubungan antara kesusasteraan Brasil dan Hispano-Amerika adalah pokok lain lagi. Di masa lalu, terdapat komunikasi yang cukup intens antara penutur bahasa Portugal dan Spanyol. Perlu lagi penting untuk menyinggung fakta bahwa banyak penyair berbahasa Portugal yang masyhur juga menulis dalam bahasa Spanyol—Gil Vicente, Sa de Miranda, Camoens. Biar begitu, kesusasteraan Brasil tidak termasuk ke dalam kesusasteraan Amerika Latin. Brasil lebih dari sekadar bangsa. Mereka mempunyai independensi, karakter, dan fisiognomi yang tidak terbantahkan. Semesta linguistik mereka tidak dapat direduksi ke dalam bahasa Spanyol. Frasa “Guimares Rosa adalah penulis Brasil” tidak hanya mengacu pada aspek vital penyair tetapi kesusasasteraan secara umum. Sementara itu frasa “Ruben Dario adalah pengarang termasyhur Nikaragua” adalah ungkapan keren untuk mengacaukan batas-batas politik. Tidak ada kesusasteraan Argentina, Kuba, ataupun Venezuela. Carlos Pelliscer, seorang Meksiko, lebih dekat dengan Carrera Andrade, seorang Ekuador, dibandingkan dengan kompatriot senegaranya, Jose Gorostiza. Tanpa menyangsikan “nasionalisme”, tendensi artistik serta kesusasteraan Amerika Latin selalu melintasi batas negara akan tetapi tidak pernah menyentuh tanah Brasil. Para penyair Brasil yang termasyhur (Bandeira Drummond de Andrade, Murilo Mendes, Cabral de Melo), tidak memberi pengaruh juga terhadap puisi Hispano-Amerika. Kelompok penyair kongkret di Sao Paolo yang membangkitkan gairah dan minat di Inggris nyaris tidak dikenali para penyair negara-negara kami; sejauh pengetahuanku, antologi puisi kongkret penyair Brasil hanya terbit di Meksiko.
Evolusi kesusasateraan di Brasil dan Hispano-Amerika berjalan beriringan, nyaris paralel, dan berdiri sendiri. Kritik membagi puisi modern Brasil ke dalam tiga fase yang sejajar dengan pembabakan puisi Hispano-Amerika; “Modernisme” 1920 mereka sejajar dengan gerakan avant-garde kita; Generasi 45’ mereka sejajar dengan masa-masa Cintio Vitier serta Alberto Girri; dan “puisi kongkret” mereka sejajar dengan para penyair muda kita. Tendensi, keterpengaruhan, sikap, serta manifesto mirip-mirip satu sama lain. Para penyair Brasil dan Hispano-Amerika, dalam waktu yang nyaris sama, mengeksplorasi Dadaisme dan seni primitif, Surrealisme dan masa lalu masing-masing, Eliot dan tradisi, kosmopolitanisme dan nasionalisme. Mereka terjangkit penyakit yang sama, mendapati kebenaran yang sama, tertawan oleh tuhan yang sama—biar begitu tetap saja terasing satu sama lain. Lebih lagi, bila kita memperhatikan dengan seksama, kita akan tahu bahwa, seperti halnya mitos yang dipelajari Levi-Strauss yang diubah oleh setiap suku yang mengadopsinya, berkat kombinasi berbeda atas elemen-elemen yang sama, babak-babak dalam perkembangan puisi Brasil merupakan kebalikan yang simetris terhadap kita. Lantas, modernisme Brasil kekurangan radikalisme avant-garde Hispano-Amerika; tiada seorang pun yang sebanding dengan Huidobro. Figur paling representatif dari generasi 45, Cabral de Melo, adalah sosok yang streng, penyair yang ketat dengan baris yang terukur, berbanding terbalik dengan elaborasi barok a la Lezama Lima ataupun kemewahan vegetasi verbal a la Enrique Mollina. Pada akhirnya, akan sia-sia pula mencari-cari penyair muda Hispano-Amerika yang setara dengan kelompok semacam Invencao (Haroldo dan Augusto de Campos, Decio Pignatari, dan Braga). Gerakan avant-garde berlangsung di Hispano-Amerika pada 1920, di Brasil pada 1960.
Kesusateraan Ibero-Amerika ada sepasang: yang ditulis dalam bahasa Portugal serta yang ditulis dalam bahasa Spanyol. Bahasa yang kedua merupakan bahasanku. Akan tetapi, sekali dikukuhkan, pokok bahasan ini segera terbelah lagi. Apabila bahasa Spanyol membedakan kita dari bangsa Brasil, apa yang membedakan kita dari bangsa Spanyol? Pertama-tama, perbedaan linguistik tertentu, lalu yang terpenting, perbedaan sikap terhadap bahasa yang kita dan mereka tuturkan. Cendekiawan meyakini bahwa terdapat kesatuan linguistik yang lebih kokoh di Hispano-Amerika dibandingkan di Spanyol. Hal ini cukup mudah untuk dimengerti; bahasa kastilia datang ke tanah kita sebagai idiom yang dewasa. Bahasa itu telah terpilih sebagai bahasa resmi negara dan wahana esklusif. Duta besar Charles V mengutarakan pidatonya di istana kepausan dalam bahasa Spanyol, alih-alih bahasa Latin, dan memicu kontroversi serta kekuatiran di kalangannya. Nasib bahasa lain di semenanjung Iberia tidak berbeda dengan kerajaan abad pertengahan yang dulu tunduk pada kekuasaan Kastilia, tanpa menimbang kerentanan persatuan bangsa Spanyol yang memberikan kehidupan bagi separatis daerah dan bahasa serta dialek lokal. Di Amerirka, sementara itu, bahasa Kastilia tidak perlu beradu dengan bahasa Katalan, Basque, Gallego, dan Malorca. Tidak seorang pun dari kita berbicara dalam bahasa Asturia maupun Valencia. Pada saat yang sama, bahasa Spanyol di Amerika lebih terbuka terhadap pengaruh luar—bahasa pribumi, Inggris, Prancis, Italianisme, dan Afrikanisme, yang dibawa para imigran maupun budak. Pabrikasi linguistik ini pun mengungkapkan sejarah yang berbeda: keuletan pluralitas abad pertengahan di Spanyol dan keterpusatan kerajaan Spanyol dan disintegrasi terakhirnya ke sembilan belas negara di Amerika (bila aku ikut menghitung daerah koloni, Puerto Riko, dan beberapa negara boneka bentukan oligarki lokal serta imperialis Yankee). Bahasa Spanyol bangsa Spanyol lebih mengakar, tertanam pada sesuatu yang disebut bahasa yang subtil. Alih-alih berakar, bahasa Spanyol bangsa Amerika menyebar di udara. Kemurnian bahasa beberapa penulis Spanyol itu menjengkelkan; hibriditas beberapa penulis Hispano-Amerika kurang lebih begitu juga.
Sikap terhadap bahasa pun berbeda; kita kritis sedangkan mereka percaya. Tidak ada jarak antara bangsa Spanyol dengan bahasanya; tak satu pun penulis modern mereka mempertanyakan bahasa. Wittgenstein ataupun Joyce-nya mereka belum juga terlahir. Sejak masa kemerdekaan, kita di Amerika menuntaskan masa-masa Spanyol yang telah berlalu—dalam bahasa Spanyol. Pada abad kedua puluh, Dario dan Huidobro menetakkan bahwa bahasa Spanyol mesti di-galisia-kan demi bahasa yang bernuansa Amerika. Bahasa Spanyol adalah kita sekaligus bukan kita. Lebih tepatnya, bahasa adalah salah satu hal yang kita ragukan. Samaran sesekali, elan vital di kali lain—tak sekalipun terbiasa. Bangsa Spanyol mempercayai apapun yang mereka ucapkan, bahkan bila itu kebohongan. Mereka meyakini bahwa bahasa adalah pakaian. Apabila kita membedah bahasa, kita akan mengalami pendarahan; kita menyadari bahwa bahasa adalah pribadi dan kita tercipta dari kata-kata, baik yang terucap maupun tidak, sebagian banal, sebagian lain ngeri. Akan tetapi, untuk mengetahui semua ini, kita mesti membuktikannya sendiri dengan menguliti diri kita hidup-hidup. Beberapa orang punya keberian untuk itu. Meskipun bangsa Spanyol juga mempunyai sikap kritis terhadap sejarah mereka, sasaran kritik mereka, baik implisit maupun eksplisit, selalu saja soal regenerasi atau restorasi: usaha untuk kembali pada esensi, substansi, dan kemurnian Spanyol. Ini merupakan tema dalam verdadera Espana—Spanyol yang sejati—yang berkelanjutan, dari Larra ke Unamumo dan Machado. Sebuah elegi. Di Hispano-Amerika, tidak ada putaran balik. Di Argentina dan Chili, tidak ada sejarah selain tentang abad kesembilan belas yang menyedihkan. Di Peru dan Meksiko, sejarah adalah liyan: dunia pra-Kolombia. Argentina yang sesungguhnya tidak bersandar pada masa lalu maupun esensinya akan tetapi pada rekaan sehari-hari, sesuatu yang mesti kita buat. Di Meksiko, masa lalu tidak bisa kita campakkan, dan juga tidak bisa kita masuki kembali; terdapat tegangan di antara masa lalu dan masa kini.
Gerakan puitika di atas menampakkan setiap pilihan Hispano-Amerika. “Modernisme” (1980) dan avant-garde (1920) terlahir di Hispano-Amerika sebelum belakangan ini singgah ke Spanyol. Menemui kedua revolusi itu, bangsa Spanyol pada awalnya ogah-ogahan menyapanya meski pada akhirnya menerimanya dengan sentuhan jenius setelah membaptisnya dengan tradisionalisme (Unamuno, Machado, dan Jimenez di separuh awal abad; Guillen, Lorca, Cernuda, Alberti, dan Alexaindre di separuh akhir). Lantas, pembeda pertama yang bisa dicatat di antara puisi Hispano-Amerika dan Spanyol adalah sensivitas terhadap waktu. Puisi Amerika Latin memilih untuk menghadapi modernitas dan menyatu dengannya. Dengan kata lain, nostalgia atas masa depan. Pembeda kedua adalah rasa penasaran akan kosmopolitanisme. Haiku pertama dalam bahasa Spanyol ditulis oleh seorang Meksiko, Jose Juan Tablada, sekitaran 1919. Tiga tahun kemudian, ia menerbitkan antologi puisi “ideografik”. Pada 1917, Antonio Machado menerbitkan Campos de Castilla. Pada 1918, Huidobro mengeluarkan Poemas articos.
Karya terbaik Huidobro adalah puisi panjang, Altazor. Tokohnya adalah penyihir-antipuisi-yang menerbangkan komet: tradisi Lusifer, sang malaikat pembangkang yang terpongkeng. Gerak yang menghentikan dirinya sendiri berakhir terdiam. Modernitas adalah jurang tak berujung di mana Altazor-Huidobro melontarkan dirinya sendiri ke dalamnya. Sepasang rayuan menggoda; berada pada retasan waktu atau dalam semesta yang merupakan seluruh semesta, seluruh kata-kata. Suatu kosmopolis. Perpustakaan Babel tidak ada di London maupun di Paris akan tetapi di Buenos Aries; Pustakawan, tuhan, atau setan yang menjaganya bernama Jorge Luis Borges. Penulis Argentina itu menyadari bahwa semua buku sama saja, dan semenjijikan cermin, hanya mengulangi kata-kata yang sama. Altazor menyelidiki waktu yang mengatasi waktu dan menghilang di cakrawala. Borges mempertanyakan cermin serta merenungkan gambaran yang mengabur perlahan. Karya-karya mereka menggarap penyangkalan atas waktu; mudahnya, dongeng tentang kesombongan terhadap segala keabadian yang berusaha diwujudkan manusia.
Godaan lain, balasan lain terhadap dunia Barat serta modernitas, adalah pencarian waktu sebelum waktu, yang mendahului sejarah. Buku pertama Neruda yang gemilang—yang terpatri di benak kami yang datang setelahnya—adalah Residencia en la tierra (Penduduk Bumi). Itu bukan Chili, maupun Amerika pra-Kolombia melainkan daerah magis; planet yang meragi, membusuk, serta membenihkan; adonan primordial. Kehidupan dalam bumi alih-alih dalam rahim. Samudera waktu yang memandangi kita. Modernitas Residencia en la tierra adalah permulaan waktu di luar sejarah, yang menanggalkan seluruh waktu. Cesar Vallejo membalas kehidupan bumi Neruda, kebarbaran alam itu, dengan “khotbah buat barbarisme.” Puisinya religius, sebuah khotbah, dan subjeknya adalah kebarbaran—bukan atas kehidupan awal di bumi melainkan atas manusia primodial. Bukan seorang Indian atau kulit hitam atau peranakan—meskipun ia termasuk ketiganya—melainkan seorang yatim piatu. Siapakah anak yatim piatu ini? Amerikanisme, Marxisme, dan Kristianitas yang menunggal. Ialah seorang Amerikan Latin yang terjajah; proletar tak bertanah dan tak berakar pada kelas internasional; serta korban dari pengabaian ayah, kemanusiaan kolektif umat krisitiani. Ibu dari yatim piatu universal ini adalah “perempuan yang abadi dalam kematiannya.” Perempuan yang mati itu bukan Kristus atau Sejarah atau bumi melainkan “kenikmatan yang membahayakan serta menyingkirkan kita.” Tidak ada rumah di bumi, tidak ada tempat peristirahatan yang aman di sanubari dunia, yang ada hanya pengasingan demi pengasingan.
Empat penyair yang kusebut di atas berasal dari generasi sebelumku. Karya-karya mereka, tanpa perlu dikatakan, tidak merepresentasikan seluruh puisi Hispano-Amerika periode 1920 – 1945; akan tetapi tidak bisa juga mengabaikan mereka dalam frasa yang telah kusinggung dalam esai ini. Aku menggunakan nama-nama tersebut sebagai simbol atau lebih tepatnya tanda-tanda yang menunjukkan tujuan-tujuan tertentu yang dipilih puisi Amerika Latin. Empat cara membahasakan modernitas dan, pada titik tertentu, menyangkalnya. Empat jawaban untuk pertanyaan yang sama. Bertentangan dengan apa-apa yang ada meski implisit dalam puisi kontemporer Spanyol, mereka tidak memiliki substansi yang orisinil atau masa lalu yang bisa ditemukan kembali; hanya terdapat kekosongan, yatim piatu, permulaan dunia yang tidak dibaptis, serta perbincangan cermin-cermin. Di atas semua itu, ada penelusuran orisinalitas, dunia sebagai pondasi.
Takdir bahasa Spanyol di Amerika terkesan serupa dengan bahasa Inggris di Dunia Baru. Analogi ini akan mengelirukan apabila kita gagal membaca gejala tersebut, lagi-lagi, sebagai satu kebalikan yang simetris. Situasi di tengah penutur dan pembahasan mereka berbeda. Koloni AngloAmerika adalah sebenar-benarnya koloni, mereka kurang lebih masihlah cabang dari pokok pembangkang Protestanisme Inggris. Koloni Hispano-Amerika, sementara itu, merupakan keluarga bangsawan yang dibentuk oleh imaji dan potret monarki Katolik. Pada kasus itu, pendudukan yang disatukan agama memisahkan keduanya sebagai kelompok (serta memusatkan mereka sebagai komunitas terpilih); pada kasus lain, populasi yang homogen menyebar ke berbagai daerah namun berada di bawah kekuasaan gereja yang sama dan sistem birokrasi yang kompleks. Di sana terdapat relasi organik antara Protetanisme, Institusi demokrasi Anglo-Saxon, ide progresif, dan Kapitalisme. Kemerdekaan Amerika Serikat bisa dilihat sebagai hasil dari pertentangan dalam sistem itu sendiri: bukan perpecahan melainkan pemisahan. Kemerdekaan Hispano-Amerika merupakan negasi dari masa lalu Spanyol: Katolisisme dan monarki absolut. Revolusi sejati. Karena itu, banyak liberal Spanyol seperti Mina ikut berjuang di sisi pemberontak Hispano-Amerika: perjuangan kita juga perjuangan mereka. Bangsa Anglo-Amerika membentuk masyarakat, yang tidak sama sekali menyangkal penjajahnya, bertujuan memenuhi impian revolusi akbar Eropa yang bermula dari Reformasi. Bangsa Hispano-Amerika ingin menggulingkan tatanan lama; mengganti Katolik dan sistem monarki dengan universalisme Pencerahan dan revolusi Prancis.
Perjuangan kemerdekaan bagi Anglo-Amerika lahir dari luar, negara ibu; bagi Hispano-Amerika tidak hanya pergerakan kemerdekaan tapi perjuangan secara umum lahir dari dirinya; tatanan Spanyol telah mengakar di setiap penjuru benua. Hal itu bisa terjadi bukan hanya karena konversi miliaran umat Katolik dan pembentukan kebudayaan bangsa Spanyol, melainkan juga disebabkan partisipasi seluruh penduduk dalam tatanan kolonial yang menjadi dasar struktur sosial. Koloni Hispano-Amerika merupakan relasi yang rumit atas institusi, sentimen, serta kepentingan yang menghubungkan Kreol, Indian, dan tentu saja kaum Peranakan. Yang menakutkan mereka adalah perbudakan dan pengabdian pada feodal, meskipun ini tidak menghasilkan “keterkucilan.” Barangkali karena ini, pergerakan kemerdekaan kita telah menjadi revolusi yang salah arah; meskipun mengadopsi konstitusi republikan,perjuangan ini meninggalkan tatanan serta aturan sosial lama dari penjajah dengan membawa aturan militer caudillos dan tuan tanah. Institusi femokrasi hanya sebuah fasad, perwajahan, belaka sebagaimana “sosialisme” Asia dan Afrika belakangan ini. Realitas imajiner, yang bertahan dan langgeng. Kekeliruan mendarah daging dalam kehidupan politik kita sejak dahulu. Perpecahan benua dan campur tangan imperialisme, terutama yang dilakukan Amerika Serikat, memastikan kegagalan kemerdekaan kita.
Bangsa Anglo-Amerika menghidupi sejarah mereka sebagai tindakan kolektif sehingga mereka merasa berpartisipasi dan karena itu bertanggung jawab. Hal itu cukup berpengaruh bagi Whitman yang menganggapnya sebagai sinonim kebebasan dan keagungan, sedangkan bagi Robert Lowell itu merupakan tindak kriminal. Kedua penyair, dengan caranya sendiri, berhubungan dengan masa dan perasaannya, mengafirmasi tanggung jawab dan partisipasi tersebut. Untuk lebih jelasnya, ekspresi wajar “puisi konvensional” tidak hanya memantik kesadaran akan jerejak kovensional dan bentangan psikoanalisis akan tetapi juga menyingkap obsesi Protetanisme akan dosa awal (dan aku untuk soalan ini lebih menyukai tema sentral lain dari Barat karya Rousseau dan Blake yakni kemurnian awal). Akan tetapi pengakuan ini mesti ditebus, atau lebih tepatnya, dicarikan ampunan semenjak situasi itu sendiri berada dalam konteks masyarakat, historis, serta pergolakan moral. Sikap bangsa Hispano-Amerika adalah kebalikanya: Vallejo, tidak kurang religius dibandingkan Lowell, tidak merasaa jadi seorang hina akan tetapi korban. Neruda, dalam nuansa non Kristiani, tidak pula merasa terkubur dalam kehinaan; ia menolaknya. Tidak, kita tidak pernah menghidupi sejarah; kita tersiksa karenanya, sebagai bencana katastropik maupun penghukuman. Pahlawan kita tidak melindungi kita dari tirani lokal, atau sebagaiman Juarez dan Sandino,yang melawan kekuatan asing. Kita tidak pernah menjadi subjek sejarah, hanya menjadi objek belaka. Untuk menyimpulkannya; dalam satu kasus, kita mencari-cari pusat tindakan atau pengakuan kriminal; dalam kasus lain, mengeluh ataupun menuduh. Sepasang monolog.
Whitman dan Pound barangkali adalah dua penyair yang dapat merepresentasikan Amerika Serikat (representatif tidak berarti terbaik). Keduanya menyatakan universalisme gaya Amerika Serikat—Amerikanisme. Keduanya menawarkan misi global Amerika Serikat. Whitman meng-amerika-kan kebebasan dan menjadikan negaranya sebagai tanah terpilih yang “bersahabat”. Di dalam Cantos, Pound menempatkan karyanya di atas ideogram Cina, hieroglif Mesir, kutipan Yunani Kuno, dan Provencal. Metodenya menyerupai penakluk Romawi yang merampok tuhan kaum terjajah. Penundukkan tuhan dan penciptaan karya dengan teks kaum asing adalah ritual magis yang sama: kedua kasus tersebut tidak bertujuan untuk menciptakan museum universal yang membangkitkan gairah terhadap segala yang berdaya. Kedua ritual tersebut, pada saat yang sama, adalah pemujaan sekaligus penistaan: kekudusan disingkirkan dengan paksa dari kuilnya sedangkan teks dilepaskan dari konteksnya. Pertanyaan mengemuka: mengapa dan bagaimana bisa Pound sampai berpikir bahwa Konfusius bisa menjadi guru terbaik bagi Amerika Serikat? Suhu dari Cina tersebut mendasarkan pengajarannya pada kepercayaan akan tatanan alam, berlandaskan pada waktu yang melingkar dan hierarki yang paten, sedangkan Amerika Serikat, sejak terlahir sebagai bangsa, telah mengidentifikasi dengan ide anti-Konfusius: kemajuan dan demokrasi.
Sikap Whitman pun tidak berbeda jauh: “Perjalanan ke India” semestinya dibaca “Perjalanan ke Amerika Serikat.” Puisi itu merayakan rekonsiliasi Asia dan Amerika: “Saudara tua menemukan, Saudara muda meleleh dalam hangat dekapannya.” Akan tetapi, pertemuan ini memperlihatkan dirinya sendiri sebagai penerus dari Alexander, Tamerlane, Babur, Vasco da Gama, Marco Polo, dan bahkan Ibnu Batuta; sosok yang agung dan karismatik. Dalam antusiasmenya, Whitman tidak akan menyangka bahwa “Brahma yang tua lagi gaib, dan Budha yang muda lagi lembut” merasa pelukannya tidak nyaman. Pelukan itu, setidak-tidaknya, merupakan kekurang-ajaran, gangguan atas meditasi yoga yang melenyapkan diri pada perenungan Yang Maha Esa serta pada pemutusan segala hubungan, termasuk tali kekerabatan. Dalam keramahan yang berlebihan ini, ada semacam keserakahan. Hasrat yang betul-betul ekunemikal; orang-orang lain yang berpuas diri setelah menghancurkan dewa dan teks milik kaum yang mati dan direndahkan.
Teori puitika Cantos, metode presentasi, adalah kebalikan dari penerjemahan. Setiap terjemahan niscaya mengakui transmutasi dan disfigurasi serta apropriasi, dalam ketaksadarannya. Bagaimana pun juga, setiap penerjemah, dalam kondisi ideal, berusaha objektif dan menghargai teks aslinya. Dengan kata lain, penerimaan yang liyan dan keliyanannya. Penerjemahan merupakan laku yang beradab sebab, sebagaimana imitasi, hal itu terlahir sebagai penghormatan atas apa-apa yang unik dan patut dicontoh. Hal itu berakar pada etika dan estetika. Penghormatan ini tidak melenyapkan, justru sebaliknya, menuntut ketepatan. Sebagai contoh, sutra dan shastra Budha versi China dan Tibet. Atas alasan ini, penerjemahan pun merupakan laku yang memberi peradaban; menghadirkan kita gambaran yang-liyan, lantas memaksa kita untuk menyadari bahwa dunia tidak berporos pada diri kita sendiri dan setiap manusia memiliki visi kemanusiaannya. Pound adalah penerjemah yang baik, dan dalam kasus ini ia merupakan seorang yang beradab, bukan hanya untuk dunia berbahasa Inggris: kita boleh mencari dalam ketiadaan Shin Ching versi bahasa Prancis, Spanyol, atau Italia, yang sebanding dengannya. Akan tetapi, metode Cantos berladaskan analogi yang keliru; apa yang Pound sebut sebagai “presentasi” sering kali sekadar jukstaposisi. Lebih lagi, tak satupun karyanya benar-benar merupakan ideografis, bahkan dalam pandangannya yang kental akan ideogram Cina. Faktanya, apabila makna dari segala tanda adalah untuk bermakna, apa makna ideogram dalam teks berbahasa Inggris? Satu di antara dua hal ini: kutipan yang membutuhkan terjemahan sehingga bukan lagi ideogram atau tanda magis yang kehilangan daya maknanya.
Penilaianku tidak hanya menyoal estetika, akan tetapi juga moral—Pound, pada akhirnya, adalah penyair masyhur. Terlepas dari kekurangajarannya—ini mesti dikatakan meskipun akan terdengar mengagetkan—teorinya itu barbar dan arogan. Kebarbaran dan arogansi bangsa penakluk—Roma, bukan Babel. Ya, pada titik tertentu, kita akan menimbang Cantos sebagai puisi yang berasal dari perpustakaan Borges. Akan tetapi, ada perbedaan: puisi Pound memiliki (atau berharap untuk memiliki) makna; gambaran “proses historis,” sebuah “dongeng suatu suku.” Dongeng yang bagi Borges lebih mencemirkan Budhisme alih-alih Konfusianisme itu tanpa makna. Perpustakaan Pound merupakan sekumpulan tanda dengan makna-makna yang bertentangan dengan tanda-tanda tersebut di mana si penyair berupaya (adakalanya ia berhasil) menciptakan makna. Perpustakaan Borges adalah sistem tanda di mana makna-makna gentingnya secara progresif dilenyapkan dalam kombinasi yang diikutinya. Bagi pengarang Argentina, “ide dalam tindakan” Pound merupakan kebalikan dari ide. Atau lebih tepatnya, lawan dari ide akan ide. Alih-alih tindakan, penciptaan Buenos Aires, tema favorit Borges, adalah gagasan—sebuah hipotesis. Para penyair Amerika Serikat dikutuk masa depan dan kemajuan—tidak ada bedanya baik sebagai himne maupun kritik. Kami, para penyair Hispano-Amerika dikutuk mencari asal muasal atau membayangkannya—lagi-lagi, dua hal ini tidak ada bedanya. Kita, dua kelompok penyair ini, mirip satu sama lain, sama-sama merasa asing, tidak punya tempat, dalam kemasakinian. Kita adalah buronan dari segala jenis keabadian, termasuk dari waktu yang melingkar, gagasan Konfusius.
Meski sepanjang artikel ini aku telah membaurkan, barangkali secara berlebihan, pertimbangan sejarah dan kesusasteraan, aku tidak percaya akan keadigdayaan sejarah. Sebaliknya, aku yakin akan keberdayaan puisi: salah satu puisi terbaik yang kubaca (ya, dalam terjemahan) adalah himne pemakaman kaum Pigmi, masyarakat tanpa sejarah. Akan tetapi, sejarah dan puisi berkelindan dan kadang kala berkaitan erat. Sejarah menelusuri tokoh dan tanda—sebagian menyebutnya “logika sejarah,” dan sebagian lain menyebutnya “takdir”—yang mesti dikenali dan diuraikan penyair. Penyair Hispano-Amerika tidak bisa tidak peka terhadap keberlanjutan ini: mencari dunia cikal bakal mereka dan menemukan masyarakat sejatinya bukan perkara yang bertentangan melainkan saling melengkapi. Ketika sejarah dan puisi berjumpa, pertemuan ini bernama Whitman; ketika terjadi sengketa di antara keduanya, perselisihan ini bernama Baudelaire—sekadar memudahkan. Berhadapan dengan situasi kedua, puisi hanya bisa menarik diri ke dalam dirinya sendiri, untuk menemukan dirinya sendiri: l’action restreinte—tindakan terbatas—Malarme. Bahaya yang muncul tatkala perselisihan terjadi adalah nyanyian dan kesunyian yang tidak berpendirian, kecuali kesunyian ini menjelma Un coup de des, yang hanya terjadi sekali dalam seabad. Bahaya yang muncul dari kecocokan sejarah dan puisi telah diperlihatkan kasus tragis Mayakovski, penyesalan seketika Aragon, Neruda, dan beberapa penyair lain. Puisi dan sejarah melengkapi satu sama lain, menberi tahu penyair cara menjaga jarak. Secara alamiah, kekuatan cenderung menetralisir dan memusnahkan perbedaan dan tentu kesesatan. Generasiku telah melihat sisi ekstrim kedua situasi, baik perselisihan maupun pertemuan. Kebanyakan penyair menentang kedua godaan itu; dalam solilokui dan retorika bergairah yang terperintah. Meskipun, beberapa penyair generasiku telah menulis baris-baris paling memukau dalam khazanah puisi Amerika Latin, namun ini bukan poin yang ingin kutekankan; poinku adalah sejauh ini yang terbaik di antara mereka tidak lupa bahwa puisi ditakdirkan membangkang. Aku tidak ingin menyebarkan kesesatan, meski secara emosional aku tertarik pada kesesatan: aku hanya ingin menegaskan bahwa puisi itu tidak akan bisa direduksi sebagai ide dan sistem. Puisi adalah suara yang liyan. Bukan sejarah atau anti sejarah melainkan suara-suara dari dalam sejarah yang senantiasa mengatakan sesuatu yang berbeda—satu hal yang sama sejak permulaan sejarah. Aku tidak tahu cara mendefinisikan suara ini atau menjelaskan apa-apa yang ditetapkan sebagai perbedaan ini. Meski tidak dapat membatasi segala hal, nuansa ini menjadikan suara itu unik dan istimewa. Aku hanya akan menyatakan keasingan serta keakraban suara itu secara personal. Untuk mengenalinya, kita hanya perlu mendengar.
Delhi, 1967
Sumber: Convergences: Essays on Art and Literature, 1991