Fb. In. Tw.

Profesi Tertua yang Baru

Gabriel García Márquez

Musim gugur Paris datang tiba-tiba dan terlambat tahun ini, ditandai oleh angin pegunungan yang meranggasi daun-daun keemasan penghabisan dari pepohonan. Teras-teras kafe ditutup pada tengah hari, hidup menjadi resah, dan musim panas cerah yang telah berlangsung lebih lama ketimbang semestinya berubah menjadi serpih-serpih ingatan. Beberapa bulan seolah-olah berlalu begitu saja dalam beberapa jam. Fajar terbit lebih dini dan suram, tetapi tak ada yang mengeluh karena cuaca berkabut seperti ini sudah lazim di Paris dan memang paling cocok untuknya.

Perempuan paling cantik dari sekian banyak yang dapat disewa dan lazimnya gentayangan di gang-gang Quartier Pigalle adalah perempuan pirang cerah di tempat yang kurang remang tentu akan dikira sebagai seorang bintang film. Ia mengenakan celana panjang hitam yang sedang menjadi fesyen, dan ketika angin yang mengandung es mulai berembus ia mengenakan mantel cerpelai sungguhan.

Demikianlah ia menawarkan diri untuk dua ratus franc di depan sebuah hotel yang dapat disewa per jam di Rue Duperre ketika sebuah mobil menepi di hadapannya. Dari kursi pengemudi, seorang perempuan cantik lain yang juga berpakaian bagus menembaknya tujuh kali dengan senapan. Malam itu, ketika polisi menangkap si pembunuh, drama pinggiran itu menggema di berbagai surat kabar karena mengandung dua elemen yang membuatnya berbeda. Sebenarnya, si korban maupun si pembunuh bukan pirang atau cantik, melainkan dua orang laki-laki dewasa, dan keduanya dari Brasil.

Berita itu sekadar menunjukkan sesuatu yang telah banyak diketahui di Eropa: prostitusi jalanan di kota-kota besar kini adalah pekerjaan untuk laki-laki, dan yang paling banyak dicari, paling mahal, dan paling bagus pakaiannya, adalah pemuda Amerika Latin yang menyamar sebagai perempuan. Menurut laporan pers, dari dua ratus wadam pekerja jalanan di Prancis, setidaknya separuhnya berasal dari Brasil. Di Spanyol, Inggris, Swiss, atau Jerman Barat, tempat perdagangan itu sepertinya lebih menguntungkan, jumlahnya lebih besar dan kebangsaannya lebih beragam. Fenomena ini memiliki nuansa berbeda di tiap negara, tetapi semuanya menandakan adanya perubahan fundamental dalam profesi paling tua dan paling konservatif di dunia.

Ketika saya di Eropa untuk pertama kalinya, dua puluh lima tahun lalu, prostitusi adalah industri yang berkembang dan tertata, dengan kategori yang presisi dan teritori yang terpilah dengan jelas. Saya masih memegang teguh citra surgawi tentang rumah bordil Karibia, pelataran penuh tarian dengan karangan bunga warna-warni di pohon-pohon badam, ayam-ayam betina yang tanpa takut berkeliaran mematuki tanah di tengah alunan musik dan mulata liar yang lebih menjual diri demi fiesta daripada uang dan kadang-kadang melakukan kenaifan luar biasa dengan bunuh diri lantaran cinta yang merana. Kadang-kadang, saya akan tinggal bersama mereka, bukan untuk berkeliaran belaka—seperti kata ibu saya—melainkan demi kesenangan mendengarkan mereka bernapas saat tidur. Sarapan di sana lebih bikin betah dan penuh kasih daripada di rumah, dan pesta sebenarnya dimulai pada pukul sebelas pagi di bawah pohon-pohon badam yang suram.

Tumbuh dalam masyarakat manusiawi semacam itu, mau tak mau saya gundah oleh keketatan komersial orang Eropa. Di Jenewa, mereka bergentayangan di pesisir danau, dan satu-satunya yang membedakan mereka dari para istri sah adalah payung warna-warni yang mereka bawa baik sedang hujan atau cerah, malam atau siang, seperti stigma untuk kelas mereka. Di Roma, saya mendengar mereka bersiul seperti burung di antara pepohonan Villa Borghese, dan di London mereka tak kasat mata di antara kabut dan harus menyalakan korek api yang mirip lentera kapal hingga orang bisa menemukan jalan. Mereka yang ada di Paris, yang diidealkan oleh para penyair maudit dan film-film Prancis buruk 1930-an, adalah yang paling kasar. Namun demikian, di semua bar Champs-Élysées yang buka sepanjang malam, orang tiba-tiba menemukan sisi manusiawi mereka: mereka menangis seperti kekasih yang tersiksa despotisme muncikari yang tak puas dengan penghasilan malam itu. Sulit memahami bagaimana kelembutan hati kaum perempuan bisa dibikin jadi keras oleh pekerjaan brutal semacam itu. Saya bertemu seorang muncikari dan menanyakan bagaimana mungkin mendominasi dengan tangan besi atas para perempuan keras semacam itu, dan ia menjawab tanpa perasaan, “Dengan cinta.” Saya tak bertanya lagi karena takut justru akan makin tak paham.

Letupan wadam di dunia eksploitasi dan maut itu hanya menjadikannya makin kotor. Revolusi mereka terdiri dari dua pekerjaan yang dilakukan bersamaan: pekerjaan sebagai pelacur dan pekerjaan sebagai muncikarinya sendiri. Mereka otonom dan ganas. Banyak daerah malam hari yang ditinggalkan oleh para perempuan karena terlalu berbahaya telah diambil alih oleh mereka beserta senjata mereka yang tersembunyi. Namun, di banyak kota, mereka menghadapi para perempuan dan muncikarinya dengan palu dan tinju serta memberlakukan hak penaklukan mereka di sudut-sudut jalan terbaik di Eropa. Fakta bahwa banyak orang Amerika Latin yang berperan serta dalam pendewaan machismo tak perlu dibanggakan. Ini hanya sebuah bukti lain tentang gangguan sosial kita dan seharusnya tak membikin kita khawatir lebih daripada gangguan-gangguan lain yang lebih berat.

Tentu saja, mayoritas merupakan homoseksual. Mereka memiliki dada silikon luar biasa, dan sebagian dari mereka mewujudkan mimpi berkilauan tentang operasi drastis yang menjadikan mereka selamanya tertanam pada jenis kelamin yang berlawanan. Namun, banyak yang tidak, dan mereka menghadapi hidup dengan senjata mereka—yang dipinjam atau diperoleh dengan paksa—karena cara itu sungguh buruk untuk mencari uang yang banyak. Sebagian adalah laki-laki kepala keluarga yang mengisi siang hari dengan pekerjaan bermartabat dan pada malam hari, ketika anak-anak tidur, turun ke jalan mengenakan pakaian misa Minggu terbaik milik istri mereka. Yang lain-lain adalah para mahasiswa miskin yang hanya dengan begitu mampu membiayai studi mereka. Paling banyak mereka memperoleh lima ratus dollar dalam semalam kalau sedang beruntung. Yang—menurut istri saya, yang sedang ada di sisi saya—adalah upah yang lebih baik ketimbang upah menulis.

 

2 Desember 1980, El Pais, Madrid

Diterjemahkan dari The New Oldest Profession dalam The Scandal of the Century and Other Writings, Gabriel Garcia Marquez (2019).

KOMENTAR

Lahir di Bantul, 13 Agustus 1980. Saat ini ia bekerja sebagai penulis, penyunting, dan penerjemah lepas. Tinggal di Yogyakarta.

You don't have permission to register