Polisi Hanya Bersahabat di Televisi
Catatan Ilham Miftahuddin
Beberapa bulan terakhir, kita disuguhkan pada wajah heroik aparat kepolisian di televisi. Betapa bersahabatnya para petugas melayani dan membantu masyarakat. Bagaikan di sinema laga, dengan gagah beraninya Polisi menangkap para penjahat kriminal. Itu semua dapat kita saksikan pada sebuah program televisi swasta.
Kemudian beberapa waktu terakhir, kita disuguhkan pula bagaimana brutalnya kepolisian dalam menghadapi aksi massa. Polisi kita menembaki para demonstran dengan gas air mata, memukul, menendang, dan melempari batu. Tak jarang di antaranya, ada oknum Polisi mem-posting rasa bangganya di jejaring sosial setelah menghajar para demonstran. “Biar mampus,” katanya. Bak langit dan bumi antara program televisi tersebut dengan realita yang terjadi.
Entah apa tujuan dari televisi swasta tersebut menayangkan sebuah program ‘pencitraan’ wajah lembaga kepolisian kita. Barangkali sebagai upaya meningkatkan kepercayaan terhadap lembaga kepolisian yang sempat hilang dari masyarakat. Boleh jadi, hal tersebut meniru para politisi kita yang sekaligus menjadi pemilik dari beberapa media massa mainstream di Indonesia.
Namun yang perlu dicermati bahwa apapun yang dilakukan di dalam program televisi tersebut sebetulnya hal yang memang wajib dilakukan bagi lembaga kepolisian. Artinya bukan suatu yang luar biasa. Mengingat fungsi lembaga kepolisian sebagai aparatur negara yang bertugas dalam bidang perlindungan, pelayanan, pengayom masyarakat dan penegakan hukum.
Dalam krisis ekonomi global akhir-akhir ini, kekerasan dapat mudah dipicu, khususnya pada negara dunia ketiga seperti Indonesia. Misal dengan abainya negara dalam rangka mengambil kebijakan yang tepat dalam melindungi hak-hak yang telah melekat dalam prinsip kewarganegaraan (act by omission), umumnya berdimensi ekonomi, sosial, dan budaya. Kemudian, lahirnya sejumlah kebijakan yang tidak memberikan perlindungan spesifik dan memenuhi kebutuhan rakyat berimplikasi pada meningkatnya represifitas (act by comission) yang berdimensi sipil dan politik.
Ditambah lemahnya kepemimpinan politik kita dalam melindungi, memenuhi, dan menghormati hak-hak warga negara. Transisi demokrasi yang tidak serius dan justru menghasilkan masalah-masalah baru. Sehingga kekerasan cenderung masif dilakukan. Baik yang dilakukan secara terbuka maupun secara tertutup. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap aksi massa menolak kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakar bersubsidi dapat dijadikan sebagai contoh.
Menaikan harga bahan bakar bersubsidi dirasa keliru karena telah memicu berbagai respon negatif dari masyarakat. Khususnya bagi masyarakat dari kelas menengah ke bawah yang terkena dampak langsung. Dapat dikatakan bahwa negara telah abai melindungi hak ekonomi warganegaranya, yakni hak untuk mendapatkan kesejahteraan dan mendapatkan kehidupan yang layak.
Selain itu, kurang terakomodasinya aspirasi dari masyarakat atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah memicu konflik antara masyarakat dengan aparat kepolisian. Hal tersebut juga akan berdampak pada runtuhnya wajah lembaga kepolisian. Polisi tak lagi menciptakan rasa aman, nyaman dan justru menciptakan situasi yang mencekam.
Maka, pemerintah perlu mencabut kebijakan menaikan harga bahan bakar bersubsidi ini. Presiden Jokowi seharusnya mampu mengakomodir aspirasi masyarakat jika ia memang benar-benar pemimpin yang berasal dari rakyat sebagaimana yang sering digembor-gemborkan. Bukannya menghadapi aspirasi masyarakat dengan tindakan kekerasan.[]
*Saat menulis catatan ini, penulis ditemani aroma dupa Sakura, ole-ole dari Zulkifli Songyanan.
Sumber foto: Twitter