“Pipis” di Gunung Bubut
Pada suatu sore yang teduh, saya pergi ke suatu tempat yang asyik. Gunung Bubut namanya. Tempat itu berupa bendungan besar, tidak hanya berfungsi sebagai pusat irigasi namun juga sebagai pusat pembangkit listrik tenaga air.
Bendungan besar itu sudah ada sejak zaman Belanda dan sampai saat ini masih tetap eksis. Menjalankan fungsinya sebagai pemasok listrik-listrik ke beberapa wilayah di sekitarnya. Selain itu Gunung Bubut juga sering menjadi tujuan muda-mudi bertemu atau sekadar bersenda gurau.
Saya datang tepat ketika sedang ramai. Saya memilih menikmati bendungan itu di bawah pohon randu. Sebetulnya, hal itu saya lakukan karena sudah tidak ada lagi tempat yang sepi. Saya ingin menikmati bendungan peninggalan Belanda ini dalam kesepian.
Ketika sedang asyik menikmati matahari yang bergerak menuju balik gunung secara perlahan. Tiba-tiba saja ada anak kecil berlari ke arah dekat tempat saya duduk. Anak tersebut bergumam pada pohon, kira-kira begini, “numpang-numpang ilu kiih, kabehan ilu kiih”.
Setelah bergumam sebanyak tiga kali, anak itu pun pipis. Sial, itu merupakan tindakan yang tidak sopan menurut saya. Pipis di dekat orang yang nyatanya lebih tua, tanpa permisi terlebih dulu.
Saya tidak tinggal diam atas perilakunya tersebut. Ketika saya tegur anak itu dan mempertanyakan mengapa ia bertindak begitu. Anak itu menjawab dengan seenaknya, “biarin kan sudah izin sama yang punya!”. Gila. Kacau, pikir saya.
Perilaku anak tersebut menarik pikiran saya jauh ketika masih bersekolah dasar. Ibu seringkali mengingatkan anak-anaknya agar ketika buang air, jangan sampai lupa meminta izin terlebih dahulu.
Aneh, mengapa orang tua ketika itu lebih senang melihat anaknya untuk lebih menaruh hormat pada makhluk yang pada kenyataannya tidak tampak. Sehingga anak-anak menjadi lupa bahwa berperilaku baik terhadap seorang yang masih hidup adalah penting. Hal ini mendadak menjadi semacam disinterpretasi terhadap kondisi yang ada. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa orang tua kita seringkali mengamanatkan perilaku demikian?
Apakah karena makhluk yang tidak tampak, dianggapnya memiliki keagungan lebih tinggi daripada yang tampak, atau barangkali ada alasan lain lagi yang lebih kuat. Sehingga kita sebagai mkhluk yang tampak mesti menaruh hormat berlebihan. Saya pikir kedua sisi, antara yang tampak dan tidak, sama-sama perlu dihormati.
Pada satu kesempatan saya pernah menanyakan mengenai hal itu. Orang tua saya hanya menjawab, hal tersebut merupakan norma-norma yang berlaku di dalam kehidupan sosial. Sebagaimana kita menghormati orang tua kita. Orang tua saya menganggap makhluk yang tidak tampak adalah mereka yang berasal dari kalangan tua. Maksudnya mereka adalah sesepuh kita. Lalu bagaimana dengan yang mati muda? Tidak ada komentar mengenai itu, selain perintah untuk saling menghormati.
Jamal D. Rahman dalam kajian tentang Godlob karya Danarto, telah jauh membahas mengenai perilaku manusia terhadap alam yang bersifat transedental. Dalam tulisannya dibicarakan mengenai ruh-ruh tuhan yang tersebar melalui benda-benda dan makhluk-makhluk hidup lainnya di bumi.
Bahwa partikel-partikel tuhan sesungguhnya tersebar di muka bumi ini dalam bentuk yang berbeda-beda. Angin, pohon, batu, tanah, air, dan banyak lagi yang lain. Itu semua merupakan wujud lain dari tuhan. Maka dari itu berhati-hatilah dengan alam, mereka pun memiliki jiwa.
Paulo Coelho dalam novelnya The Alkemis sempat menyinggung tentang manusia dan semesta. Bahwa alam yang diam sesungguhnya memiliki mata yang melihat dan telinga yang mendengar setiap apa yang manusia lakukan dan bicarakan, entah baik ataupun buruk. Bahkan jauh sekali Coelho menulis, ketika manusia berbicara suatu hal yang baik, maka alam mengamininya. Apakah hal ini yang sebetulnya diyakini oleh orang tua kita?
Batas antara yang tampak dan tidak memang tidak pernah bisa benar-benar kita ketahui. Namun sikap orang tua kita yang justru seringkali berpihak pada sesuatu yang tidak tampak, bisa saja sepenuhnya kita tolak. Sebagaimanapun, manusia adalah makhluk sosial yang bertahan hidup karena adanya perilaku sosial itu sendiri. Perilaku tersebut seperti saling menghormati dan memahami terhadap sesama.
Saya tidak pernah habis pikir, mengapa orang tua kita mudah sekali memberikan teguran pada anak-anaknya ketika dia melakukan kesalahan pada sesuatu hal yang tidak tampak tadi. Sementara pada yang tampak, teguran tersebut seringkali luput.
Sesuatu yang tidak tampak memang selalu lebih penting daripada yang tampak. Barangkali anggapan mengenai keberadaan seperti “karena ada, maka segalanya akan biasa saja” menjadi sesuatu yang krusial.
Kasus tersebut dapat kita lihat pada perilaku manusia yang terkadang menunjukkan sikap berlebihan pada suatu objek (benda) apabila sudah tidak ada lagi, dijual misalnya. Ketika objek itu masih bisa ditemukan peredarannya, manusia justru sering menganggap biasa, sekalipun memiliki nilai tinggi.
Seorang ibu misalnya, ketika memiliki anak, cenderung seringkali mengabaikannya. Sikap itu sendiri bukan berarti orang tua tidak peduli terhadap kebutuhan pokok anak, namun di luar kebutuhan itulah yang seringkali diabaikan.
Lalu pada suatu ketika anaknya meninggal, orang tua akan mendadak merasa terserang virus melankolis yang tak berkesudahan. Dalam kegiatan sehari-hari yang tampak hanyalah paras anaknya. Begitulah manusia, mesti menjadi hilang dahulu untuk mendapatkan haknya sebagai manusia.
Mungkin inilah yang menjadikan manusia selalu merasa lupa terhadap tugasnya sebagai makhluk sosial. Karena ada, maka kita tak perlu bersusah payah untuk melakukan penghormatan. Bila hal itu dianggap salah, tinggal berkata “maaf”, maka segalanya akan selesai.[] Ciasahan, 2014