Fb. In. Tw.

Pindah Rumah

Catatan Selaksa Biru

 

Pembaca yang baik,

Aku mohon maaf lama tidak menyapa. Selamat tahun baru 2015 ya. Semoga makin sukses di tahun yang baru. Catatan tentang Pentagon masih berlanjut. Ini salah satunya. Selamat membaca. Salam.

Matahari sama sekali tidak menampakkan diri. Gerimis turun serupa butiran-butiran yang datang karena dihempas angin. Dinginnya terasa membekukan kulit. Memaksa setiap pori-pori yang tertutup rapat makin menguncup memaksa setiap bagiannya meminta dilindungi. Jika sudah seperti itu, hembusan napas dan gosokan tangan tidak begitu banyak membantu, apalagi mereka yang memilih berada di luar ruangan.

Cara paling sempurna menghadapi siang sedingin ini adalah berdiam di kamar sambil membiarkan badanmu diselimuti sejumlah kain. Membiarkan diri menyatu dengan rumah yang sedang memberikan kehangatan hingga menepiskan dingin. Sungguh enak! Seperti seekor kucing yang sedang berbaring malas di atas tumpukan kayu di dekat tungku dengan sepasang kaki mendekat bara api. Persis seperti siang ini. Siang yang dingin. Siang yang berembun. Siang yang sedikit tidak kusuka. Aku merasa tidak dapat bergerak leluasa. Siang yang hujan tidak membiarkan aku bergerak leluasa. Siang yang memaksaku hanya berdiam diri.

Sebut saja namanya Sutan. Meski namanya dekat-dekat dengan Sultan, ia bukanlah anak raja. Tuhan menganugerahi Sutan kecakapan mengolah ruang. Ruang dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Ruang tempat berkumpul. Ruang tempat berteduh dari sengat matahari dan serangan dingin seperti siang ini.

Entah dari mana awalnya. Asep Fajar, Arif, Gusniawan, Ubai, Irfan, Dante, Misel, aku, dan tentu saja Sutan menempati ruang ini. Siapa yang mengajak aku tinggal di ruang ini aku sendiri lupa mengingatnya. Yang kuingat hari-hari sebelum musim penghujan itu tiba, Sutan sering berada di ruang ini. Ruang kamar mandi dengan dua pintu. Kamar mandi di antara ruang 22 dan 23. Ruang tempat kuliah mahasiswa jurusan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris UPI Bandung.

Ruang kuliah itu selayaknya bangunan SD Inpres. Letaknya berada tepat di depan bangunan MIPA Baru yang saat ini digunakan untuk perkuliahan mahasiswa Manajemen Perkantoran Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Jika kamu sedang tepat berada di selasar gedung MIPA Baru yang letaknya di seberang Klinik UPI dan menghadap ke arah Utara maka akan tampak gedung IPS bagian samping dan bangunan tempat Jenset berdiri. Di sanalah ruang kelas 20, 21, 22, 23, dan 24 berada. Memanjang layaknya ruang kelas SD Inpres. Tepat menghadap ke arah tempat kamu berdiri. Dan di antara ruang 22 dan 23 ruang bekas kamar mandi yang kami tempati itu berada.

Atau jika kamu selesai makan siang di kantin dekat perpustakaan yang berderet dengan KOPMA, Fotokopi, dan Kantor Pos kamu akan menemukan ruang itu dengan cara kamu berjalan lurus ke Timur dari perpustakaan dan akan menemukan pertigaan ke kanan ke arah Pascasarjana dan ke kiri ke arah tempat parkir motor, melintaslah. Dibatasi selokan kecil di depanmu itulah ruang 20-24 berada. Pun sebaliknya, jika kamu sedang berada di sekretariat mahasiswa bahasa Jepang dan kamu ingin ke tempat aku berada, kamu tinggal berjalan lurus hingga melewati sungai kecil. Di sana, di bawah pohon alpukat aku sedang duduk di depan ruang itu menghadap ke Selatan mengamati bunga mawar merah dan bunga-bunga lainnya yang ditanam Ubai di pot-pot plastik aneka warna. Di dekat pot itu ada tabung televisi tanpa kerangka yang setiap pagi ditempeli kertas putih berisi kata-kata penulis besar.

Sekber. Apakah kamu masih mengingatnya? Ini Sekretariat Bersama. Namanya mengingatkan kamu kepada Sekber Partai-Partai sewaktu SBY berkuasa? Tentu saja ini jauh sebelum itu. Dan tentu saja tak ada hubungannya dengan Sekber bentukan SBY. Ruang Sekber seperti juga sekretariat ASAS di lantai tiga Pentagon. Di bangun dari kamar mandi yang tak lagi digunakan. Sekber lebih luas dari sekretariat ASAS. Empat kali lebih luas. Jika di pembangunan sekretariat ASAS di Pentagon ada Idham, Winda, dan Risman. Maka, di pembangunan Sekber, Sutan yang berkeringat dan berpikir keras mewujudkan tempat ini agar nyaman ditinggali. Juga Gusniawan yang menemani pembongkaran dan pembersihannya. Entah siapa yang memulai dan entah siapa lagi yang membantu mewujudkan ruangan ini menjadi layak dihuni.

Suatu malam, Presiden Megawati akan ke kampus UPI. Di tempat ini semua persiapan aksi dimulai. Berbagi peran berbagi tugas. Menyiapkan selebaran juga spanduk. Menyiapkan materi untuk agitasi. Memastikan semua perangkat berfungsi dengan baik. Menentukan korlap dan membagi siapa yang pertama orasi. Tepat tengah malam pintu di ketuk dari luar. Semua penghuni dipaksa harus mengosongkan Sekber. Setelah sekuat tenaga menghindar akhirnya harus mengungsi. Pagi datang, aksi massa menolak kehadiran presiden digelar.

Ya, di Sekber! Di tempat ini aku tinggal selepas dari pentagon. Di tempat ini pula, Dikdik Rahmat Mulyana pernah mandi. Air di Sekber selalu tersedia seperti juga di Pentagon. Dingin dan bersih. Juga Hersa Kresna pernah tidur di sini. Tak lupa Irhas dan Ucok. Tentu saja kami semua senang di sini. Maka tidak mengherankan jika Dante sangat suka mengolah nasi liwet degan margarin di ruang ini. Makanan kesukaannya. Juga Misel dan Arif yang rukun mengelola Senat Mahasiswa FPBS.

Jika dingin malam tiba, Gusniawan akan membuat api unggun. Mengambil ranting-ranting. Menyalakan api dan membakarnya. Asep Fajar akan mengambil gitar dan memetiknya. Mengalunkan lagu yang aku lupa judulnya. Satu liriknya yang kuingat, yaitu lelah/lelah hati ini/menggapai hatimu/tak jua menyatu//. Entah siapa juga penyanyi aslinya. Asep Fajar akan mengulang-ulang lagu tersebut hingga suaranya hampir hilang. Aku duduk di dekatnya. Pikiranku masih tidak tenang sebabnya tidak enak meninggalkan Pentagon. Arif Nurdwiansyah akan datang dengan selimut membungkus badan menunggu api agar tak mati. Berjongkok menghadap api bersama Gusniawan. Ketika malam semakin ke tengah, Ubai akan datang membawa kantong plastik cukup besar dan mengeluarkan isinya. Kertas-kertas penuh coretan tangan dikeluarkannya. Ia akan memasukkannya ke dalam api. Api makin membesar. Gusniawan bertanya kepada Ubai tentang apa yang dibakarnya. “Aku sedang membakar kenangan!” kudengar ia menjawab pelan.[]

Bandung, 4 Januari 2015

Sumber foto: Dokumentasi Opet

KOMENTAR

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

Comments
  • Selaksa Biru

    Terima kasih, redaksi buruan.co.
    Fotonya ciamik serupa foto untuk sampul album. Empat pemula. Puisi, harmonika, novel, dan masa depan ilmiah.

    Salam malam mingguan,

    17 Januari 2015

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register