Fb. In. Tw.

Pesona Gunung Bohong, Tak Berbohong

Mendaki Gunung Bohong
Suatu hari seorang kawan menceritakan pengalamannya pergi ke Pasir Pawon, kawasan karst Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat. Daerah ini merupakan tepian Bandung Purba dan terdapat peninggalan-peninggalan manusia prasejarah sebagai ciri kehidupan prasejarah.

Penelitian geologi mutakhir menyebutkan, di masa lalu Bandung adalah sebuah danau. Para geolog menyebutnya sebagai Danau Bandung Purba. Danau ini terbentuk 135.000 tahun yang lalu karena endapan letusan Gunung Sunda menyumbat aliran sungai Citarum. Danau Bandung tersebut mulai surut sekitar 16.000 tahun yang lalu.

Kawasan Bandung yang mirip sebuah wajan raksasa dipagari oleh daerah pegunungan. Dalam buku Wisata Bumi Cekungan Bandung (Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar, 2009) disebutkan, gunung-gunung dan perbukitan yang mengelilingi gunung searah mata angin. Salah satunya, di bagian barat adalah perbukitan sisa-sisa gunung api tua kala Pliosen (5 juta-1,8 juta tahun yang lalu) seperti Gunung Selacau (di Soreang), serta Gunung Lagadar dan Gunung Bohong (di Cimahi).

Termotivasi oleh cerita kawan saya dan sejarah daerah Bandung, saya tertarik untuk mendaki salah satu gunung tersebut, yaitu Gunung Bohong. Penamaan Gunung Bohong sendiri tak memiliki asal-usul yang jelas. Namun, menurut warga setempat penamaan itu karena gunung tersebut sebenarnya adalah sebuah bukit yang membentuk seperti gunung. Gunung ini memiliki ketinggian sekitar 700 mdpl. Kita dapat melihat secara jelas gunung ini—dengan kibaran bendera di puncaknya—di sebelah selatan jalan raya Cimahi-Padalarang.

Lokasi Gunung Bohong hanya berjarak beberapa kilometer dari rumah saya. Meski lokasinya tidak terlalu jauh, inilah kali pertama saya mendakinya. Akhirnya, pada hari Jumat (5/12/2014) saya mencoba mendaki gunung ini.

Selepas azan subuh, saya mulai berjalan ke arah timur menyusuri perumahan warga. Meski sedikit gerimis, rasa penasaran menapaki puncak Gunung Bohong terus menggelayuti pikiran saya. Hasrat melihat pemandangan kota Cimahi saat matahari terbit pun tak terbendung lagi. Untungnya, sedikit demi sedikit gerimis mulai mereda.

Tiga puluh menit kemudian saya sampai di lapangan tembak yang terletak tepat di kaki Gunung Bohong. Saya sedikit bingung mencari jalur pendakian karena keadaan sekitar masih remang-remang. Akhirnya, saya menemukan sebuah jalan setapak dengan paving block yang mengarah ke puncak Gunung Bohong.

Jalur pendakian ini melewati pemakaman dan kebun warga. Sejauh ini pendakian masih berjalan mulus. Namun, beberapa menit kemudian saya mulai tak leluasa melewati jalur tersebut karena jalan tertutupi tanaman liar. Saya memberanikan diri untuk menerobos jalur tersebut. Usaha saya berhasil meski beberapa kali pakaian dan tas saya tersangkut di ranting-ranting tanaman liar itu.

Saya sudah mulai terbiasa menerobos tanaman liar, meskipun tidak seluruhnya jalur pendakian ini tertutupi tanaman tersebut. Sepertinya jalur ini sudah lama tidak dilewati warga. Pendakian menuju puncak sudah saya tempuh setengahnya sekitar pukul 05.50 WIB. Namun, pendakian saya hentikan sejenak karena jalur pendakian paving block yang saya lewati ini terputus.

Pemandangan Lapangan Tembak dari lereng Gunung Bohong. (Foto: Tantri Wulandari)

Pemandangan Lapangan Tembak dari lereng Gunung Bohong. (Foto: Tantri Wulandari)

Di depan saya hanya ada hamparan tanah dengan beberapa pohon dan rumput liar di mana-mana. Dari tempat ini, saya dapat melihat pemandangan lapangan tembak dan pemukiman warga dengan leluasa. Sambil berpikir mencari jalur selanjutnya, saya menikmati dan mendokumentasikan keindahan pemandangan kota Cimahi. Sayangnya, pemandangan tersebut kurang begitu jelas karena tertutupi kabut.

Pendakian belum selesai. Puncak Gunung Bohong belum saya jamahi. Saya mencari jalur pendakian selanjutnya untuk mencapai puncak. Di dekat jalur pendakian paving block yang terakhir saya lewati, ada jalan setapak berupa undakan tanah.

Jalur ini cukup terjal dan licin karena telah diguyur hujan. Saya mencoba melewatinya dengan susah payah karena alas kaki saya dipenuhi tanah sehingga memberatkan langkah, belum lagi segala tanaman yang menghalangi jalan cukup menghambat perjalanan saya. Berpegangan pada akar-akaran dan batang-batang pohon adalah satu-satunya cara agar saya tidak terpeleset ketika melewati jalur pendakian ini.

Lima belas menit saya bertahan mendaki jalur rumit ini sampai akhirnya saya menemukan kebuntuan. Jalur ini benar-benar terputus pada sebuah tanjakan sangat terjal dengan kemiringan sekitar 70 derajat, setinggi kurang lebih satu setengah meter. Pohon-pohon dan tanaman yang tumbuh di sekitar sana tak dapat membantu usaha saya untuk menaiki tanjakan itu. Akhirnya, karena kurang mempersiapkan peralatan dan cuaca yang tidak mendukung, saya memutuskan tidak meneruskan perjalanan menuju puncak.

Pukul 06.40 WIB saya menuruni Gunung Bohong melewati jalur yang berbeda. Kali ini saya melewati jalur yang sering dipakai motor trail. Jalur ini cukup dekat namun keadaan jalannya sangat becek. Tak lama kemudian saya sudah sampai di lapangan tembak kembali.

Sampai di pemukiman, saya sempat mengobrol dengan penduduk setempat, pada musim kemarau mereka sering mencari kayu bakar ataupun sekedar botram (makan bersama dengan membawa bekal dari rumah) ke Gunung Bohong. Namun, di musim hujan seperti sekarang ini jarang sekali ada warga yang pergi ke sana karena keadaan tanah yang becek. Itulah mengapa jalur pendakian tersebut kini tertutupi tanaman liar.

Di balik pesona Gunung Bohong, ada pemandangan yang membuat saya miris. Kaki gunung ini sedikit demi sedikit dikeruk untuk dibangun menjadi perumahan. Sangat disayangkan kealamian gunung ini menjadi rusak.

Pengerukan tanah untuk dibangun perumahan. (Foto: Tantri Wulandari)

Pengerukan tanah untuk dibangun perumahan. (Foto: Tantri Wulandari)

Inilah sedikit catatan perjalanan saya mendaki salah satu perbukitan sisa-sisa Bandung Purba. Meski tidak berhasil mencapai puncak, pengalaman ini ingin saya bagikan kepada Anda. Semoga kita dapat lebih mengenali, mencintai, dan melestarikan bumi tempat kita berpijak ini. Salam lestari![]

Sumber foto: Tantri Wulandari

KOMENTAR

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI dan anggota ASAS UPI. Penikmat sastra dan pencinta alam.

You don't have permission to register