Pertunjukan Sanggar Tari Indrawati Lukman di De Majestic
Sebagai seorang penikmat seni, saya merasa senang dengan tontonan yang disuguhkan oleh Sanggar Tari Indrawati Lukman di gedung De Majestic, Jalan Braga No. 1 Bandung (15/8/2017). Selama kurang lebih satu setengah jam, Sanggar Tari Indrawati Lukman memainkan delapan tarian, dengan tema tarian yang berbeda-beda.
Tarian pertama dibuka oleh tari “Arak-arakan”. Tarian ini menceritakan iring-iringan prajurit dan para mamayang sambil megusung tandu yang membawa seorang ratu bernama Graeni. Ratu tersebut berkeliling mengawasi negaranya. Kemudian dilanjutkan dengan tarian “Ratu Graeni”.
Tarian “Ratu Graeni” menceritakan seorang ratu dari kerajaan Medang Kamulan yang sedang berlatih perang untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan musuh, yaitu Prabu Ganda Wijaya. Tarian ini karya dari Rd. Tjetje Somantri yang dimainkan oleh Yosi dari Sanggar Tari Indrawati Lukman.
Tarian selanjutnya adalah tarian “Badaya”. Tarian ini menceritakan wanita abdi keraton yang bertugas menghibur raja dan pejabat tinggi dengan menjadi penari. Tarian ini menggambarkan kesetian para abdi keraton kepada raja/ratu serta para petinggi keraton. Tarian ini karya Prof. Yus Rusliana.
Patilaras , tarian baru karya dari Indrawati Lukman dan Toto Amsar Suanda menceritakan tentang semangat, keceriaan, serta kebersamaan muda-mudi dalam menyongsong hari esok yang gemilang. Tarian ini dibawakan dengan ceria serta semangat.
Tarian selanjutnya adalah tarian yang diberi judul “Ringkang Topeng”. Dari tarian-tarian yang lain, tarian ini dapat mewakili realitas kontekstual masyarakat Indonesia atau Jawa Barat hari ini. Topeng-topeng yang penuh dengan polesan serta kepalsuan, adalah cermin adalah cermin dari apa yang telah terjadi sekarang ini. Kehalusan, kejujuran, persaingan, ketamakan, kekuasaan, mewarnai karakteristik manusia. Namun pada akhir tarian, sang pembuat karya, Indrawati Lukman dan Toto Amsar Suanda memberikan suatu kontemplasi tentang hakikat dari manusia. Tarian ini dimainkan oleh Zaenal, Edo, Ani, Pier, Riska, dan Ade. Kemudian lanjut dengan tari “Senggot”.
“Anggana Laras” diangkat dari tarian rakyat yang menceritakan tentang kegembiraan seorang remaja yang sedang mencari jati diri. Kemudian ditutup oleh tarian yang diberi judul “Gentra Pinutri”.
Gentra Pinutri menceritakan tentang dorongan naluri kewanitaan yang mendesak untuk mengungkapkan suatu gagasan yang besar, selalu terbentur dengan kodratnya sebagai wanita yang penuh dengan kehalusan dan kelembutan. Dari sekian banyak gagasan, keindahanlah yang kemudian mencuat dari seorang perempuan.
Perempuan dalam Tari Sunda
Dari kedelapan tarian yang dibawakan oleh Sanggar Tari Indrawati Lukman, saya melihat ada satu benang merah dari tarian satu ke tarian yang lainnya. Benang merah ini diangkat oleh tema seorang perempuan. Pada Ratu Graeni misalnya.
Seorang ratu yang gagah perkasa, menjaga kerajaannya dari serangan musuhnya. Namun kemudian berbeda ketika pada tarian Gentra Pinutri.
Dalam tarian Gentra Pinutri, perempuan dijadikan sosok yang lemah dan kalah oleh kodrat. Sehingga sebesar apapun ide serta gagasan yang ada pada perempuan, akan kandas. Yang muncul adalah keindahan.
Ratu Graeni adalah sosok ideal seorang perempaun Sunda, sedangkan pada Gentra Pinutri adalah sosok realistis seorang perempuan Sunda.
Apabila saya melihat dari pandangan humanisme universal, tarian Sunda adalah tarian yang selalu mengangkat nilai-nilai kemanusiaan dari berbagai aspek. Tidak pernah menghakimi, selalu harmonis.
Ketegangan belakangan ini yang banyak terjadi pada masyarakat Jawa Barat, maupun Indonesia karena sudah terlalu jauh dengan kesenian. Terutama seni tradisi yang selalu memberikan nilai-nilai moral, kebersamaan, serta perdamaian.[]