Perempuan Oh Perempuan (2)
Sambungan dari catatan “Perempuan Oh Perempuan”
Seiring waktu berjalan makna perempuan semakin bergeser. Tatanan kehidupan kian mengukuhkan dominasi maskulinitas. Perempuan masih saja kerap ditempatkan sebagai manusia kelas dua.
Terutama di Indonesia, fenomena yang terjadi seakan mengafirmasi bahwa perempuan merupakan sekedar pelengkap kaum laki-laki. Kondisi tersubordinasi, termajinalkan, terkena tindak kekerasan, stereotipe serta beban ganda merupakan sekelumit gambaran perempuan Indonesia. Hal ini jelas-jelas hadir di sekeliling kita.
Misalnya, jika kita sering melihat berita di TV atau membaca berbagai koran-koran lokal. Pemberitaan tentang kriminalitas terhadap perempuan seringkali terjadi, seperti; KDRT, perampokan atau pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang penyair yang baru-baru ini kasusnya menggemparkan jagat kesusastraan Indonesia. Belum lagi kekerasan terhadap para TKW kita, yang sering dikatakan sebagai pahlawan devisa, hmm pahlawan tapi selalu kurang mendapatkan perhatian dari pemerintahan kita.
Perempuan dalam abad pembangunan yang dikenal sebagai abad perbaikan bagi perempuan, sebagaimana dampak positif yang kerap digembar-gemborkan terkait ekses pembangunan. Malah dalam realitasnya justru pada abad pembangunanlah perempuan mengalami penindasan yang semakin parah.
Dalam abad pembangunan perempuan semakin kerap mengalami berbagai jenis penyingkiran. Pembangunan dalam jargon modern yang kita kenal sebagai kata kunci untuk menyejahterakan segenap lapisan masyarakat pun kerap berakhir menjadi mitos.
Di mana justru dalil pembangunan malah dijadikan alat legitimasi untuk mengebiri hak-hak sebagian masyarakat, terutama perempuan. Sebab, di abad modern ini keadaan perempuan masih tetap sama seperti halnya perempuan-perempuan dalam catatan sejarah.
Perempuan masih saja ditempatkan pada wilayah yang tidak semestinya. Perempuan masih dianggap sebagai sosok manusia kelas dua setelah laki-laki. Sehingga pada abad pembangunan ini, kontruksi sosial terhadap perempuan dapat dikatakan belum berubah.
Dunia perempuan masih tidak lepas dari urusan domestik seperti memasak, dapur, mencuci, menyetrika, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Bahkan paling parahnya, kerja dengan lingkup domestik tersebut kian diafirmasi, serta dikukuhkan melalui berbagi teks-teks yang ada.
Banyak teks-teks entah itu berupa buku, karya sastra, film, iklan, sajian media, kesenian maupun alat budaya yang kerap mengabadikan marginalisasi terhadap kaum perempuan. Kita dapat melihat misalnya dalam iklan pembersih maupun pelicin pakaian, pembersih lantai, penyedap masakan, hingga penjaga kebersihan rumah dan seisisinya. Yang ditampilkan seringkali perempuan, bukan lelaki.
Tetapi, tidak semua perempuan seperti itu, tidak semua perempuan di abad pembangunan ini yang bernasib buruk seperti halnya para TKW dan perempuan-perempuan lainnya di Indonesia. Masih banyak kaum perempuan berprestasi yang namanya pernah mengharumkan nama bangsa kita.
Seperti halnya Susi Pudjiastuti, menteri perempuan yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan di pelbagai media. Tetapi, sayangnya ada juga perempuan-perempuan yang memiliki nasib baik dan berprestasi, malah telah banyak merugikan Negara kita. Seperti ibu menteri kita yang bekerja di intansi pemerintahan atau DPR.
Kalangan perempuan yang mengaku sebagai wakil rakyat ini, hampir semuanya tidak memiliki sikap baik dan malah telah membuat sengsara masyarakat dan kaum perempuan di Negara kita. Di tengah kondisi bangsa dalam kegalauan krisis ekonomi dan moralitas ini, para sosok perempuan yang mengaku sebagai tokoh wakil rakyat itu, malah pada doyan korupsi.
Hal ini tidak mencerminkan sebagai kaum perempuan terhormat, sebagi sosok ibu yang lemah lembut, bijaksana, dan selalu mengayomi. Semoga saja generasi muda selanjutanya, terutama generasi perempuan-perempuan di bangsa kita, semakin pintar dan memiliki budi pekerti yang lebih baik seperti halnya sosok pejuang perempuan yang jasanya selalu dikenang sampai saat ini yaitu R.A. Kartini.[]