Fb. In. Tw.

Pengoptimalan Unsur Bahasa dalam Cerpen

Dalam dua bulan terakhir, HU Pikiran Rakyat sebagai media terbesar di Jawa Barat telah menampilkan cerpen-cerpen pilihan redaktur sastranya. Terlepas dari selera pemilihan tersebut, saya meyakini bahwa banyak cerpen yang masuk ke meja redaksi setiap Minggunya. Di antara cerpen-cerpen tersebut, pastilah ada cerpen yang baik dan bisa dinikmati oleh pembaca. Sehingga pembaca yang mengkhususkan membeli koran lantaran ingin membaca karya sastra, tidak merasa kecewa dan sia-sia.

Membaca cerpen Minggu, bisa jadi sebuah tradisi yang baik bagi dunia literasi kita. Membaca adalah upaya menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan spiritual, tentunya dengan bacaan bermutu. Mari simak ulasan cerpen berjudul “Balon-balon Permintaan Maaf” karya Nurul Khotimah berikut ini.

Saya tidak mengatakan bahwa cerpen ini buruk. Tapi, saya kategorikan sebagai karya yang tidak berhasil. Saya katakan tidak berhasil karena cerpen ini tidak membuat saya duduk dengan tenang saat menikmati ceritanya. Bukan karena saya pembaca yang tergesa atau cerpennya begitu sulit dimengerti, tetapi karena bosan. Ya, rasa bosan adalah titik awal pembaca menentukan pilihan melanjutkan pembacaan atau berhenti membacanya. Kita tidak perlu menyalahkan hal-hal di luar teks. Jelaslah, bahwa cara penceritaan adalah salah satu penyebab kebosanan tersebut.

Cerpen ini mengisahkan penyesalan seorang lelaki yang memutuskan kekasihnya karena cemburu buta. Dengan sudut pandang pencerita orang pertama, tokoh aku membawakan kisah perpisahan dengan kekasihnya. Awalnya, tokoh Aku melihat kekasihnya itu dengan seorang pria di sebuah kafe. Ia menduga bahwa kekasihnya sudah mengkhianatinya. Di sebuah bus, akhirnya tokoh Aku dan tokoh Pria yang dianggap selingkuhan kekasihnya itu bertemu. Setelah mendengarkan penjelasan tokoh Pria mengenai pertemuan dengan kekasihnya, barulah tokoh Aku menyadari kesalahannya dan menyesal telah memutuskan hubungan dengan kekasihnya.

Cerpen ini diawali oleh paragraf dramatik untuk membangun suasana. Simak petikan cerpen di bawah ini.

Sungguh hari-hariku kini terlalu berat untuk kulewati. Setumpuk pekerjaan yang kian hari menggunung berhasil memberatkan punggung ini. Beban itu semakin terasa ketika sang kekasih yang kuharapkan dapat dijadikan pundak untuk bersandar saat kulelah, seseorang yang dapat kujadikan tempat pelepas penat kini telah pergi dan berpaling ke lain hati.

Semua bermula ketika aku yang tak sengaja lewat di depan kafe dekat tempat aku bekerja beberapa minggu yang lalu. Dengan jelas kulihat dia, orang yang selama ini kupercaya akan setia menjaga hatinya, tengah asyik berduaan dengan seorang pria. Pertengkaran hebat pun tak bisa dihindarkan hingga kuputuskan untuk mengakhiri hubungan ini.

Pada dasarnya, tidak ada yang salah secara gramatika. Paragraf di atas memang sebuah paragraf ekspresif dengan tujuan penggambaran tokoh kepada pembaca. Akan tetapi, sebagai tulisan kreatif, pengarang bisa lebih membangun suasana dengan mengerahkan teknik kebahasaan. Dalam cerpen ini, minim sekali gaya bahasa yang digunakan, sehingga suasana pun tidak terbangun dengan baik. Oleh karena itu, bentuk tulisannya perlu dipertanyakan. Bentuk tulisan seperti ini lebih tepat dikatakan mirip sebuah catatan harian yang ditulis untuk merekam pengalaman pribadi atau semua peristiwa tanpa tendensi apapun, selain untuk dinikmati oleh penulisnya sendiri.

Paragraf tersebut menggunakan gramatika yang rapi, menjelaskan sebab-akibat, dan menggambarkan peristiwa. Akan tetapi, paragraf-paragraf dramatik itu tidak membangun imajinasi visual yang indah. Seperti saya sebutkan di atas, hanya sebatas teks catatan harian yang minim gaya bahasa dan gagasan. Hal ini dirasakan pada hampir seluruh penceritaannya.

Menyoal latar dan suasana peristiwa, cerpen ini tidak menghadirkan detail-detail latar penceritaan. Misalnya, untuk menunjukkan suasana yang ramai, pengarang mentah-mentah menuliskan peristiwa itu sedemikian sesuai dengan makna katanya.

Saat jam kantor telah selesai, kuputuskan untuk segera pulang. Di dalam bus itu suasana begitu ramai karena hampir terisi penuh dengan orang-orang yang baru pulang dari kerjaannya.

Aku duduk menunggu sebuah bus di sebuah halte tua, bercat merah tua yang telah banyak memudar terkena panas dan hujan yang tak jauh dari pemakaman. Langit senja yang menghadirkan warna jingga khasnya, menemaniku sore itu.

Gaya penceritaan adalah modal penting yang harus dimiliki pengarang. Misalnya, pada kalimat Di dalam bus itu suasana begitu ramai karena hampir terisi penuh dengan orang-orang yang baru pulang dari kerjaannya. Pengarang seolah tidak bekerja keras menggali narasi yang estetik. Pengarang tidak menggunakan seluruh indranya untuk membangun sebuah suasana di dalam bus yang sesak, penuh kepala dan bau keringat, dering telepon dan wajah-wajah bercahaya karena gawai, misalnya.

Kalimat lainnya menunjukkan imaji kurang terbangun. Misalnya, halte tua. Apa yang menentukan halte itu tua? Apakah waktu? Apakah ornamen-ornamennya? Lalu, bercat merah tua. Apa yang bercat merah tua? Apakah kursinya? Dindingnya? Kemudian, tak jauh dari pemakaman. Apa yang tak jauh dari pemakaman? Haltenya? Atau panas dan hujan?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas seharusnya tidak ada dalam benak pembaca. Karena pembangunan latar dan suasana seharusnya sudah dijelaskan pada teks. Jika paragraf ini merupakan hasil sunting redaktur, rasanya saya perlu menanyakan kompetensi kebahasaan redakturnya. Namun, saya rasa, redaktur tidak segegabah itu mengoreksi gramatika pada cerpen ini. Saya lebih menduga ini adalah kelalaian kerja pengarang. Sebab kerja estetik itu dicari, diraih, dan dilakukan oleh pengarang.

Baca juga:
Membincang Cerpen Pikiran Rakyat
Kemungkinan Pelayarputihan Cerpen

Gagasan yang hendak dihadirkan dalam cerpen ini, pada akhirnya, menjadi tidak penting dan menarik karena teknik penceritaan yang kurang utuh. Gagasan yang saya dapatkan adalah sebuah penyesalan. Adapun cerita pria yang memberikan balon permintaan maaf, hanya jadi sampiran. Pengarang memusatkan penceritaannya pada tokoh Aku. Cerita berkisar pada perasaan tokoh Aku terhadap kekasihnya, perilaku tokoh Aku menghadapi persoalan, dan cara dia dalam menyikapi persoalan itu.

Sebagus apapun gagasan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita, baiknya disampaikan dengan seluruh kemampuan bercerita. Penggunaan bahasa harus diolah sedemikian rupa agar menggambarkan cerita yang utuh dan estetik. Jika pengarang terampil menggunakan teknik kebahasaan, ia dapat memanfaatkannya untuk berbagai tujuan. Di antaranya, dengan tujuan merekam, melaporkan, meyakinkan, menginformasikan, bahkan memengaruhi pembaca.

Tibalah ia pada sebuah makam yang tanah kuburannya masih basah. Ia tertunduk lama di atas makam tersebut. Kulihat nisan yang masih berwama putih bersih itu bernamakan “Ratna Ningsih binti Aji Suryadinata” dan tanggal wafatnya yakni “21 November 2017” berarti sekitar satu minggu yang lalu wanita itu telah meninggal.

Rasa haru mengiringi langkahku. Sepanjang jalan pulang, rinaian bening tak henti-hentinya menetes dari mataku. Entah mengapa sore itu aku bisa menjadi sosok lelaki selemah dan secengeng itu. Aku teringat pada kekasihku, sungguh aku merasa bersalah.

Pada paragraf di atas, misalnya, bahasa yang digunakan terlalu bersifat informatif, tanpa memerhatikan estetika penceritaan. Paragraf tersebut seharusnya menjelaskan banyak hal yang membangun cerita. Mengingat bahwa bahasa cerpen adalah komunikasi imajinatif antara pengarang dan pembaca. Persoalan lain yang tidak dimiliki cerpen ini adalah fungsi kehadirannya sebagai cerita.

Saya meyakini ada pertimbangan teknis terkait estetika karya dalam media. Hal ini menentukan sebuah cerpen layak muat atau tidak. Agaknya, perlu sekali keselektifan media dalam pemilihan karya demi perkembangan tradisi membaca di Jawa Barat.[]

KOMENTAR

Penulis. Staf pengajar di SD BPI. Anggota ASAS UPI.

You don't have permission to register