Fb. In. Tw.

Penghargaan Oscar, Buah Katarsis Perjalanan Spiritual Mahershala Ali

Imam Ja’far Ash-Shadiq r.a. dalam kitabnya, Misbah Syar’iah, mengabadikan sabda Rasulullah SAW. kepada Sayyidina Ali Bin Abi Thalib k. w. sebuah hadis qudsi yang berbunyi, “Man ‘arafa Nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu (Siapa yang arif akan jiwanya, maka pasti arif tentang Tuhannya.” Ungkapan tersebut memaparkan hal-ihwal memahami diri yang sejati dengan proses pencapaian yang dinamis. Sekaligus merupakan inti dari salah satu elemen menuju pengabdian hakiki sesuai dengan pengalaman spiritual setiap manusia.

Kiranya, sebelum 17 tahun yang lalu, seseorang yang terlahir dengan nama Mahershalalhashbaz. Dan, sebagaimana kutipan hadis qudsi yang diriwayatkan Imam Ja’far Ash-Shadiq tersebut, pada waktu itu, pengalaman ‘asing’ mendatanginya, pengalaman yang menghubungkan hatinya dengan suasana yang bisa dikatakan dimensi diri yang lain.

Dimensi bernuansa transedental, mendorongnya berinisiasi pada jalan yang dirindukan, jalan menuju kebenaran hakiki. Lalu atas hidayah Tuhan, ia mengenal Islam dan menemukan hal-ihwal yang ia cari sebelumnya hingga memutuskan untuk menjadi seorang Muslim dan mengubah namanya menjadi Mahershala Ali.

Mahershala Ali ialah aktor Hollywood yang popularitasnya sedang naik dalam lebih dari satu dekade terakhir. Keterlibatannya dalam dunia film dimulai dari Making Revolution (2003), The Curious Case of Benjamin Button (2008), Crossing Over (2009), Predators (2010), The Wronged Man (2010), All Signs of Death (2010), The Place Beyond The Pines (2012), Go for Sisters (2013), Supremacy (2014), The Hunger Games: Mockingjay Part 1 (2014), The Hunger Games: Mockingjay Part 2 (2015), Kicks (2016), Free State of Jones (2016), Moonlight (2016) dan Hidden Figures (2016).

Seperti yang dilansir kumparan.com, pengalaman keislamannya, dari awal perjalanan mengenal islam sampai menjadi muslim saat ia menyelesaikan sekolahnya, tertuang dalam sebuah buku yang ia tulis berjudul By The Dawn’s Early Light terbitan Majelis Khuddamul Ahmadiyya, Amerika Serikat. Ia menceritakan bahwa seorang temannya bernama Amatus Karim, teman sekolahnya, mengajaknya ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Dan ketika ia melakukan beberapa gerakan salat, Ia mengaku terharu hingga menangis.

Dari pernyataannya tersebut, tercermin sebuah peristiwa yang berkenaan langsung dengan pengalaman spiritualnya. Tentunya, permasalahan hidup yang kompleks dan hubungan keluarga yang tak selalu berjalan harmonis, berpotensi besar menimbulkan berbagai macam bentuk keresahan. Menggugah kesadarannya untuk menemukan tumpuan yang benar-benar mampu menenangkan keresahan tersebut dalam menjalani hidup yang hak menurut naluri batiniahnya.

Kehadiran seorang Amatus Karim, menjadi “gerbang hidayah” baginya untuk mengenal Islam. Dan dari salat pertama yang ia lakukan bersama temannya tersebut membuatnya merasakan nuansa transendental yang hidmat dan hanya mampu dijelaskan oleh airmata.

Menyinggung karir perfilmannya, di tahun 2016 lalu, ia terlibat dalam film Moonlight garapan sutradara sekaligus penulis naskah Barry Jenkins. Dengan sangat emosional, sukses memerankan tokoh Juan, seseorang bandar narkoba sekaligus menjadi figur ayah dari tokoh Chiron seakan keberadaannya sebagai ayah kandung yang bijaksana dan membantu Chiron menemukan identitas diri.

Perannya tersebut mengantarkannya sebagai nominasi Pemeran Pendukung Terbaik dan memenangkannya dalam perhelatan prestisius bagi insan perfilman Hollywood dan Internasional, Academy Awards ke-89 atau yang lebih populer dengan nama Oscars, yang diselenggarakan di Dolby Theatre,  Hollywood, Los Angeles, California, AS, Minggu (26/02/2017) waktu setempat.

Ali, seperti yang dilansir kompas.com, menjadi aktor kulit hitam kelima yang memenangkan Oscar dari nominasi tersebut. Sekaligus aktor muslim pertama yang meraih penghargaan dalam di atas panggung Oscar atas perannya dalam film Moonlight, yang juga memenangkan nominasi Film Terbaik setelah bersaing dengan film yang rilis pada tahun yang sama, antara lain: La La Land, Hacksaw Ridge, Fences, Hidden Figures, Lion, Hell or High Water, dan Manchester By The Sea.

Dalam pidatonya malam itu, ia berkata, “Aku berterima kasih kepada guru dan dosenku. Ini bukanlah tentang kamu tapi ini tentang karakternya. Kalian adalah ‘pembantunya’ dan bertugas melayani cerita dan karakter ini,” tuturnya.

Pernyataan tersebut kiranya tersirat sebuah nilai dari kepasrahan yang ia pegang teguh―keislaman―selama ini, setelah ia menjadi mualaf. Tercermin hubungannya tentang esensi keberadaan manusia. Baik dari kehidupan yang ia jalani sehari-hari maupun dalam profesionalitasnya berkarir di dunia seni peran, khususnya perfilman.

“Ibu saya seorang pendeta, saya muslim. 17 tahun lalu, dia tidak marah ketika saya mengungkapkan bahwa saya telah menjadi muslim,” lanjutnya sebelum turun dari panggung.
Peristiwa yang dialami Ali ini tentunya merupakan buah dari katarsis dalam kompleksitas proses perjalanan spiritual manusia, yang pluralistik, yang lekat dengan nuansa religius. Sekaligus pada hakikatnya merupakan bagian terkecil dari nikmatNya yang tak mampu terhitung, yang diperoleh seseorang dengan kapasitas yang sesuai kadar kemampuan masing-masing. Sebagaimana firman Allah, “Laa yukallifuunallaaha nafsan illaa wus’ahaa.  (Allah tidak membebani seseorang sesuai dengan kesanggupannya.)” (QS 2: 286).

Peristiwa hidup yang dialami Mahershala Ali menjadi hikmah yang terlihat sederhana namun bermuatan gigantik, bagi siapa saja yang sadar akan kebenaran, sesulit apapun rintangan yang dihadapi, pasti ada celah untuk menemukan jalan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Fauz Noor dalam Kumpulan esai, Marginalia (1), “Dalam urusan agama, dalam ‘perjalanan’ menuju Tuhan, tiada cendekia, tiada awam.  Sebagaimana dalam Al Quran, surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman, “Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Tafsir ―Al Quran―Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat tersebut, yakni sesungguhnya kalian yang berbeda-beda dalam keutamaan di sisi Tuhan (Allah Swt) hanyalah dengan ketakwaan, bukan karena kedudukan. Maka dari itu, kembali meneruskan pendapat Fauz Noor, “Tidak ada jaminan seseorang Kiai lebih bertakwa daripada seorang kuli bangunan. Tidak ada jaminan seseorang berjubah bersorban lebih mulia ketimbang mereka yang berpangsi atau berbatik. Hanya Tuhan yang tahu siapa saja di antara kita yang paling mulia, paling takwa.”

Maka mari untuk tetap menjaga ketulusan hati dalam pencarian kebenaran, sesuai kemampuan masing-masing. Sebagaimana Mahershala Ali, yang menjaga ketulusan hatinya (akidah) dengan cara sendiri, dan atas kegigihannya dalam upaya muamalah, ia mendapatkan berkahnya di dunia―penghargaan Oscar―di sela perjalanannya menuju Tuhan.

Wallahu’ A’lam.

KOMENTAR
Post tags:

Nama pena Muhammad Sa’iquddin Ashshofy, Lahir di Bandung, 23 Juli 1993. Juru Kamera buruan.co. Bergiat di Majelis Dzikir Ash-Shalawat An-Nariyyah, Cibeureum, Bandung.

You don't have permission to register