Pendidikan Alternatif Merupakan Solusi Terbaik
Pendidikan alternatif hadir sebagai ruang metode kreatif dan solutif, namun kurang mendapatkan sorotan dari pemerintah. Padahal pendidikan alternatif merupakan solusi terbaik dalam memberikan opsi-opsi bagi setiap individu untuk memilih pendidikan yang akan ditempuh.
Jumat, (29/4/2016), Unit Pers Mahasiswa (UPM) Isola Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) kembali menyelenggarakan acara diskusi bulanan bertajuk #BincangIsola di Teater Terbuka Museum Pendidikan Nasional UPI. Tema yang dibahas kali ini adalah “Kreatif dan Solutif di Pendidikan Alternatif”.
Berangkat dari fenomena pendidikan Indonesia yang terkesan kaku dan berorientasi pada nilai akademik, tema pendidikan alternatif dipilih UPM Isola UPI menjadi tema #BincangIsola yang telah memasuki edisi ke-5 ini.
Narasumber #BincangIsola yang hadir antara lain: Komunitas Sekolah Hijau, Pecandu Buku, Warung Imajinasi, Fortusis, Semipalar, Bumi Matahari, GMPP, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII). Turut hadir pula perwakilan dari Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandung, praktisi pendidikan yang terkait pendidikan alternatif, juga dua siswa SMA Lab School (UPI) sebagai perwakilan siswa yang menempuh pendidikan formal.
Diskusi dimulai pukul 19.30 WIB dengan pemutaran video mengenai pendidikan alternatif yang dibuat oleh Sekolah Hijau. Perwakilan Dinas pendidikan Kota Bandung yang diwakili Ibu Eem Sukaemanah mengawali diskusi dengan sebuah pernyataan, “Disdik mendukung pendidikan alternatif dengan struktur yang sudah dibuat dengan jelas melalui program pendidikan inklusif untuk mengakomodir kebutuhan tersebut. Seperti, sekolah rumah yang merupakan ruang untuk mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah formal,” tuturnya.
Sementara itu, Johan Riadi, mengungkapkan latar belakang Bumi Matahari dibentuk dari 100 pertanyaan terhadap pendidikan Indonesia. Salah satunya seperti persoalan sekolah di Indonesia, dimana anak yang bayar tapi anak yang dimarahi, yang dirampas masa depannya. Anak tidak diberi kebebasan untuk memilih masa depannya. Persoalan lain adalah Ujian Nasional yang bocor menjadi permasalahan besar pendidikan formal.
Diskusi semakin menarik ketika lembaga Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Iwan Hermawan, secara tegas mengatakan, “Pendidikan adalah pilihan masyarakat, regulasi tentang pendidikan formal dan non-formal sudah diatur dalam Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Tertulis di situ hasil dari pendidikan formal dan non-formal disetarakan, kenyataannya ada keberpihakan terhadap sekolah formal seperti dalam KTP yang hanya ada formulir pengisian pendidikan formal. Ini sikap diskriminatif terhadap pendidikan informal. Sikap diskrimatif lain adalah anggaran yang berbeda jauh dan terlalu kecil untuk pendidikan non-formal.”
Siswa SMA Lab School UPI, yang diwakili Aria dan Gifari, turut mengungkapkan pengalamannya, “Kami memilih pendidikan formal karena ada pengakuan dari masyarakat luas dan pandangan sebelah mata terhadap pendidikan alternatif. Juga paksaan dari orang tua untuk terus mengejar nilai akademik.”
Moderator Kiki Haryadi yang memandu #BincangIsola memberikan kesempatan kepada Warung Imajinasi, salah satu komunitas yang bergerak di bidang pendidikan alternatif, untuk menanggapi pernyataan siswa SMA Labs School UPI.
Wenda Akil selaku ketua Warung Imajinasi menjelaskan, “Komunitas ini bergerak di wilayah pengembangan akademik, di mana komunitas ini merasa sudah kesal terhadap pemerintah yang hanya fokus pada pendidikan formal saja. Dalam program kami ada Sekolah Imajinasi, di mana kami datang ke sekolah-sekolah berasama relawan untuk memberi motivasi dan inspirasi terhadap siswa-siswa. Inilah ranah kerja alternatif kami, karena pemerintah tidak bisa hadir dalam ranah motivasi dan inspirasi, terutama guru-guru.”
Diskusi ditutup dengan closing statement dari Ibu Eem, “Saya merasa gembira karena banyak yang memperhatikan dunia pendidikan Indonesia, terutama pendidikan alternatif dan berjanji pemerintah akan terus berbenah demi pendidikan yang lebih baik.”[]