Pemilu, Drama Tragedi, dan Kesusastraan Indonesia Hari Ini
Paling tidak sejak Pemilihan Umum 2014 lalu, jagad media sosial tak ubahnya pasar kaget: ribut-ribut dan menyesakkan. Orang-orang terbaik negeri ini, atau orang-orang yang merasa dirinya lebih baik ketimbang yang lain, berkoar-koar laiknya tukang obat menawarkan solusi paling mujarab bagi penyakit-penyakit akut Indonesia: korupsi, kemiskinan, ketersediaan lapangan pekerjaan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Publik tak tahu benar apakah sejak kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla 5 tahun silam berbagai persoalan di atas sudah teratasi atau belum, kian runyam atau sebaliknya. Yang jelas, sebagai komoditas, tiap kali Tahun Politik datang, lingkaran-persoalan demikian kembali digulir dan didengungkan oleh banyak pihak, terutama oleh pendukung Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno.
Pendeknya, di mana ada Pemilu, di situ pula berbagai persoalan diteriakkan kembali oleh masing-masing kubu. Dan, pasar kaget pun kembali bermunculan di mana-mana. Orang-orang—terutama politikus, pengamat, juru kampanye, hingga opinion leaders di media sosial—seperti halnya tukang obat, kembali berkoar mempromosikan jagoan masing-masing sebagai pilihan terbaik bagi bangsa ini.
Beragam macam penjelasan dan aneka bentuk dukungan pun mereka tunjukkan dengan cara-cara meyakinkan. Sebagian menghibur, tapi tak sedikit yang berujung menjengkelkan, bahkan menjijikan. (Mengenai hal terakhir yang disebut barusan, Anda bisa melihatnya dalam konteks politisasi agama atau juga respon para pendukung terhadap Debat Pilpres yang ditayangkan televisi).
Dalam kondisi semacam itu, di tengah kebisingan slogan-slogan kampanye, kami terpancing untuk mengetahui bagaimana para penulis sastra—kelompok super-minoritas dalam peta wacana politik Indonesia—memandang berbagai akrobat di atas panggung Tahun Politik terhubung dengan proses kreatif maupun karya-karya mereka.
Upaya tersebut tentu saja tak dimaksudkan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang ada. Selain ingin mendengar suara mereka, pendapat para sastrawan ini kami anggap perlu, paling tidak, untuk membawa kita sejenak menepi dari berbagai keributan yang ditimbulkan media sosial maupun kanal-kanal berita arus utama. Syukurlah bila dampaknya kemudian bisa memberikan pencerahan kepada pembaca.
Faisal Kamandobat, penyair dan esais sekaligus peneliti di Abdurrahman Wahid Centre of Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH-UI), Jakarta, dipilih untuk kami ajak berbincang seputar kondisi sastra dan Tahun Politik di Indonesia.
Tahun ini adalah Tahun Politik. Pemilu akan kembali digelar April mendatang. Bagaimana Anda melihat hal tersebut dalam kaitannya dengan proses kreatif, atau boleh juga dengan tanggung jawab—jika tanggung jawab memang dianggap perlu dimiliki—Anda sebagai seorang penulis?
Pemilu bagi saya mungkin semacam drama tragedi terkait kematian Sokrates. Semacam ritual politik kuno yang dilakukan dengan penuh kemeriahan demi meredam perasaan cemas yang besar, ketika kemurnian jiwa sebagian masyarakat diubah menjadi sofis. Itulah tendensi moral dari realisme politik dalam sistem demokrasi yang dianut seluruh dunia hari ini: sebuah sistem kekuasaan global di mana para pemimpinnya dipilih lewat lotre dengan taruhan yang mahal, tapi hadiahnya sering kali jelek. Buktinya, para pemimpin yang dihasilkan Pemilu banyak yang tidak bermutu, mulai kepala daerah hingga kepala negara paling maju di dunia seperti Amerika.
Jadi, Pemilu menjadi medium untuk bertanya lebih jauh soal konsep dan kinerja negara bangsa yang tampak berat berpacu dengan percepatan sejarah; soal demokrasi yang terlalu jauh dijadikan dalih melakukan peperangan mulai dari Vietnam sampai Suriah, sehingga kebanyakan dari kita ragu pada sistem politik saat ini; soal demokrasi yang disalah-gunakan untuk membatasi peran negara demi membuka pasar bebas yang membuat ratusan juta populasi bergantung pada segelintir korporasi agar dunia lebih mudah dikontrol, diarahkan, dan dimanfaatkan.
Artinya, lewat Pemilu publik menjadi tahu bahwa masalah politik yang terjadi tidak hanya teknis tapi juga filosofis dan konseptual, yakni tentang desain negara-bangsa yang semestinya lebih relevan, dinamis, dan efisien sesuai tuntutan zaman yang berubah sangat cepat.
Sekarang, negara tengah berevolusi menjadi sekadar aplikasi digital dengan layanan keuangan, pajak, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Adapun secara teritorial, disadari atau tidak, peran negara kian diambil alih perusahaan-perusahaan besar. Jika terjadi unifikasi birokrasi dan militer secara global, praktis, negara-bangsa yang kita kenal ini cuma eksis secara teoritis.
Sejak Pemilu 2014 muncul fenomena politisasi agama dan gerakan populisme dalam politik kita. Bagaimana Anda menanggapinya?
Politisasi kebudayaaan seperti agama dan etnis menguat setelah Perang Dingin berakhir. Konflik bergeser dari antarkelompok ideologi ke antarkelompok budaya, mulai antaretnis dan agama hingga skala peradaban dengan memainkan jaringan global. Fundamentalisme agama yang terjadi dua dasawarsa terakhir adalah buktinya. Bedanya, di masa Perang Dingin konflik berlangsung antara dua kelompok dengan pandangan politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda, sehingga identifikasi masalah dan pembatasannya lebih sederhana. Sekarang, semua negara dan kelompok telah menjadi kapitalis sekaligus demokratis, dan banyak pihak bisa menggunakan budaya dan agama sebagai kartu politik untuk memperebutkan pengaruh dan sumberdaya.
Jadi, kita telah memasuki era realisme-pragmatis dalam semua hal sehingga terjadi perumitan di semua dimensi dan level, mulai dari politik, ekonomi, sosial, kultural, hingga spiritual. Faktor teknologi informasi juga memudahkan kerja politik macam ini. Untuk menggerakkan massa, sekarang tidak perlu pengorganisasian lapangan yang rapi dan solid seperti dalam gerakan sosial. Cukup dengan memainkan sentimen budaya dan agama di media sosial, masyarakat akan bergerak dengan sendirinya, dan itulah yang disebut sebagai fenomena populisme.
Sejumlah karya besar, karya-karya peraih Nobel misalnya, kerap mengandung muatan politis. Sejauh mana dinamika politik praktis negeri ini berpengaruh terhadap karya-karya Anda selama ini?
Saya menangkap keterlibatan para sastrawan besar dalam politik sebagai komitmen moral dan idelogis. Baik yang kiri seperti Neruda, Sartre, Gorky, dan Pramoedya; maupun yang kanan seperti Paz, Camus dan Marquez. Pula yang nasionalis seperti Qabbani, Amir Hamzah, dan Mahfoudz; maupun yang spiritualis seperti Tagore, Tolstoy dan Hesse. Meski beberapa dari mereka terlibat secara praktis bekerja di pemerintahan (Neruda, Qabbani, dan Paz adalah duta besar negara masing-masing) suara moral dan ideologi mereka lebih kuat terdengar ketimbang minat mereka terhadap jabatan dan kekuasaan.
Meneladani mereka, politik pun mempengaruhi tulisan-tulisan saya, terutama beberapa tahun terakhir, misalnya tentang perlunya basis sejarah dan budaya baru untuk membentuk lanskap kemanusiaan era ini dan masa depan.
Sebelum Orde Baru tumbang, sejumlah penulis menjadikan, katakanlah, otoritarianisme sebagai bahan bakar karya-karya mereka. Rendra, lewat “Potret Pembangunan dalam Puisi”, atau Wiji Thukul, lewat sajak-sajak protesnya, boleh dibilang berhasil mengusik kenyamanan penguasa dan demikian menempatkan sastra sebagai suatu hal berbahaya di benak mereka.
Menurut Anda, tanpa maksud meromantisasi masa-masa itu, apakah dampak yang sama mungkin berulang di masa sekarang atau di masa-masa berikutnya?
Karya sastra yang hidup semata karena melawan, tanpa adanya renungan terkait persoalan yang lebih besar di balik relasi pertentangan, tak akan punya dampak mendalam dan jangka panjang.
Jadi, melawan otoritarianisme semata tidak cukup—hal tersebut perlu dilengkapi dengan observasi secara struktural terhadap kondisi itu. Demikianlah yang dilakukan Orwell, Yevtushenko, Mandelstam, dan Pramoedya (terutama Rumah Kaca), serta sajak-sajak politik Rendra. Rendra pernah bilang, menulis sajak politik telah menantang secara sungguh-sungguh pekerjaannya sebagai penyair karena membuat dia belajar tata negara dan ilmu politik lebih dalam. Adapun sajak-sajak cinta dianggapnya sebagai semacam latihan dan kesenangan belaka. Dan seperti Rendra, Wiji Thukul juga melakukan usaha yang sama.
Di masa depan, tantangan yang sama masih tetap berlaku. Kita memasuki masa otoritarianisme halus di mana segala aspek kehidupan—pikiran, urusan makan dan minum, bahkan perasaan sekalipun—dikontrol lewat imperium virtual. Belum lagi problem susulan yang akan segera muncul, seperti rekayasa genetika, ancaman perang nuklir baru, dan robotisasi di banyak sektor, terutama militer. Semua itu akan berdampak serius terhadap kemanusiaan dan peradaban di masa depan.
Kita bisa melakukan diagnosis dan prognosis terkait masalah-masalah di atas sebagai basis imajinasi tulisan-tulisan kita ke depan.
Bagaimana pandangan ideal Anda soal hubungan penulis, karya, dan masyarakat?
Sejak tinggal di desa, saya sadar bahwa seorang penulis bukan sosok yang dikenal apalagi dianggap penting oleh masyarakat. Media mungkin membesarkan nama para penulis, tetapi secara sosial mereka tidak terlalu dikenal dan punya cukup kekuatan. Ini menunjukkan bahwa karya sastra modern kita belum sungguh-sungguh menjadi milik masyarakat. Itu wajar karena pendidikan kita juga tidak menjadikan sastra sebagai prioritas dan karya para sastrawan, terutama akhir-akhir ini, juga tidak banyak membahas kehidupan masyarakatnya. Karya-karya mereka lebih banyak membahas masalah-masalah personal penulisnya.
Saya berharap masalah sosial sastrawan ini hanya terjadi pada saya. Tapi jika ternyata dialami juga oleh banyak penulis lain, saya kira sastra perlu terlibat lebih jauh dalam masalah-masalah masyarakat, memasuki dan mengolah sejarah mereka, serta menawarkan kekayaan serta kedalaman imajinasi dari kehidupan yang mereka alami. Tanpa itu, sastra modern kita tak akan punya basis sosial, ia hanya semacam gagasan imajiner yang berjalan tanpa kaki di atas sejarah yang melahirkannya. Seperti hantu ide-ide yang tidak menggetarkan, apalagi menakutkan.
Karya bagus macam apa yang Anda harapkan muncul dari penulis-penulis kekinian?
Saya kagum dengan para penulis masa kini yang menulis dengan mudah dan begitu produktif. Tapi, begitu saya baca, tidak banyak yang memuaskan pikiran dan batin saya. Entah karena selera saya yang ketinggalan zaman atau memang ada masalah lebih luas di dunia kepenulisan kita. Kebanyakan penulis bergaul di lingkungan yang sama, membaca buku-buku yang sama, membicarakan isu-isu yang sama, dan bekerja pada bidang yang kurang lebih sama, akhirnya karya-karya mereka tidak jauh berbeda.
Tapi, akar persoalannya mungkin lebih dalam dari itu. Pendidikan kita, terutama sejak Orde Baru, tidak melatih peserta didik untuk berpikir analitis dan kritis serta jauh dari realitas sekitarnya. Akhirnya, karya yang muncul pun lebih banyak berupa perasaan daripada pikiran, dan kalau pun ada gagasan, sifatnya lebih normatif.
Jadi, untuk melahirkan karya yang tidak hanya produktif tapi juga bermutu, kuat dan bertenaga, para penulis kekinian tidak hanya menghadapi masalah kultural, melainkan juga struktural. Tapi saya berharap semoga anggapan ini keliru. Mungkin banyak karya-karya kekinian yang bagus tapi belum saya baca atau karena segala keterbatasan, saya belum sempat melihatnya.
Lepas dari kualitas karya, tak dinafikan bahwa ada penulis-penulis yang memanfaatkan kehadiran media sosial untuk mem-branding diri mereka sebagai penulis sekaligus selebritas. Apa pendapat Anda mengenai hal tersebut?
Media sosial membentuk kultur yang berpusat pada diri. Dalam budaya semacam itu segala sesuatu dilakukan demi memberi nilai lebih pada diri. Dalam kadar cukup besar, sastra kita juga terseret arus itu. Sebagus-bagus karya sastra, jika tidak memberi nilai lebih pada diri dianggap tidak menguntungkan. Sebaliknya, beberapa bait sajak suasana (tepatnya quote/kutipan) yang mendapat atensi besar dari publik akan dianggap amat berharga. Itu nikmat dan manusiawi. Tapi mungkin perlu adanya promosi sastra yang lebih ditekankan pada karya daripada penulisnya, dan dibuat strategi publikasi untuk membantu para pembaca mengenal dan memahami ragam, genre, dan kualitas karya sastra secara bertahap. Tanpa itu, kita akan melahirkan banyak sastrawan besar tapi dengan karya-karya kecil belaka.
Dan layaknya cerita para selebritas, mereka akan menghuni sejarah hanya sebatas kedipan mata.
Beberapa waktu lalu, aparat kepolisian dan TNI menyita buku-buku yang dianggap berbahaya: buku-buku yang menurut mereka mengandung unsur PKI. Bagaimana Anda melihat fenomena demikian?
Cuma Tuhan yang berhak mengontrol pikiran manusia, selebihnya kita merdeka dalam berpikir. Jadi, pemberantasan buku—apa pun alasannya—adalah tindakan kekerasan terhadap pikiran dan upaya mencampuri kewenangan Tuhan. Bahkan jika alasannya adalah keamanan, itu hanya dibuat-buat.
Zaman sudah berubah, komunisme internasional seperti di masa Orde Lama sudah mati, demikian pula era fobia komunis seperti Orde Baru juga telah lewat. Bahkan kaum kiri masa kini kebanyakan justru bekerja di lembaga-lembaga yang didanai oleh Barat yang liberal, seperti terjadi di banyak LSM. Cuma, isu komunis mungkin masih menakutkan bagi kelompok religius konservatif sehingga beberapa pihak masih suka memainkannya ketika ingin menggunakan massa mereka.
Dalam pandangan Anda, sejauh mana ketakutan terhadap buku-buku tertentu akan terus bermunculan di negeri ini?
Ketakutan terhadap pemikiran tertentu akan tumbuh dalam masyarakat yang cenderung konservatif dan rendah indeks literasinya, di samping pragmatisme politik dari pihak penguasa.
Di Abad Pertengahan Eropa, ketika hanya segelintir elite yang bisa membaca buku, pihak gereja takut dengan segala filsafat sampai membakar orang yang berseberangan dengan doktrin mereka. Di masa penjajahan, Belanda mengontrol buku-buku Islam karena takut pengikut Diponegoro yang telah membuat bangkrut VOC lewat Perang Jawa akan bangkit. Orde Baru melarang buku-buku kiri karena takut kaum komunis menyerang balik penguasa.
Jadi kita perlu meningkatkan literasi kita, bukan hanya soal seberapa banyak buku yang dibaca tapi terutama mutu buku-bukunya. Pikiran yang kritis, terbuka, dan pemahaman yang semakin komprehensif membuat kita semakin dewasa, rasional, dan tidak takut pada bermacam gagasan. Tapi yang paling perlu ditingkatkan literasinya justru adalah para penguasa, karena merekalah pihak yang paling sering ketakutan pada entitas abstrak bernama gagasan—hal paling mengerikan sejauh tidak melayani kepentingan mereka.
***
Sebagai penutup, berikut kami lampirkan satu puisi karya Faisal Kamandobat:
Puisi yang Kucinta Telah Pergi
Puisi yang kucinta telah pergi.
Aku hidup tanpa puisi yang kucinta.
Tidak melarat, tidak sekarat,
tapi hidup tanpanya adalah kutukan:
lambang-lambang hanya memancarkan
makna yang sama,
setiap jiwa tetap pada jasadnya masing-masing,
tak ada yang berubah dan salah tempat.
Dunia terasa dingin dan tawar
dalam detik hari-hariku.
Kadang aku ingin menjelma laut
siapa tahu puisi yang kucinta
bangkit dari gelombang darah.
Para mistikus menasehatiku
agar memanggil kekuatan Tuhan
untuk membangkitkan arwah
para penyair yang telah mati,
tapi aku tak lagi bisa mendengar
puisi tentang alam, pahlawan,
atau tentang cinta sentimental.
Puisi yang kucinta
akan menyatukan jiwaku
dengan bayangan dunia ini.
Mungkin ia akan lahir dari asap kata-kata
yang menyihir mata
dari meditasi batu-batu di dasar waktu
dari orang-orang kaya yang malas
atau para bandit yang setia
berhitung dengan takdir.
Puisi yang kucinta telah pergi.
Hidup tanpanya adalah kutukan.
Aku pernah mendengar
puisi yang kucinta
tengah mengembara ke dalam buku-buku
untuk memeras makna
dari huruf-hurufnya yang sekarat.
Aku juga pernah dengar
puisi yang kucinta tengah ziarah
ke makam para moyang
untuk menggali kebijaksanaan
dari tengkorak-tengkorak yang telah
menjadi batu.
Seorang pengelana miskin bilang
puisi yang kucinta
sedang terlibat perang saudara
di negeri-negeri jauh
untuk membunuh para pahlawan dan pengkhianatnya,
menyucikan darah mereka
dengan nyanyian-nyanyian panjang
dan menguburkan mayat mereka
ke dalam keheningan bahasa.
Pada masa damai
puisi yang kucinta naik ke gunung
untuk melucuti rasa bersalahnya
di atas ketinggian. Sesekali ia turun
dan hidup wajar di perkampungan.
Pada malam yang ditentukan
puisi yang kucinta menghadiri rapat rahasia
para penguasa dunia ini
untuk menentukan pusat-pusat kemakmuaran
lengkap dengan cincin kemiskinannya.
Demikianlah puisi yang kucinta
kadang menggelayut di akar kata para penyair,
lebur menjadi batuan dan fosil,
menjadi gelandangan yang liar,
dan meledak di ujung percintaan,
sesekali menyusup ke inti doa atau kutukan
untuk mencuri dengar rencana Tuhan.
Namun dari sekian wajah takdir
yang disandangnya
puisi yang kucinta selalu mengunjungi
bangsa-bangsa yang ditinggalkan sejarah,
mengawini bahasa-bahasa, cerita-cerita,
dan mimpi-mimpi mereka,
memberi jiwa bagi setiap peristiwa dan benda.
Puisi yang kucinta menegakkan bangsa-bangsa
di atas gagasan-gagasan mereka
dan lebur menjadi kitab waktu.
2010-2011[]