Fb. In. Tw.

Peluncuran Kumpulan Puisi “Kamar Pas Ingatan”

Ambivalensi Perempuan (Antara Ruang Domestik dan Ruang Publik)
Menarik sekali memperbincangkan sebuah tema “perempuan” di sebuah sore, di mana udara agak lembab, gerimis tadi siang telah digantikan oleh warna jeruk di langit yang merembeskan cahayanya lewat jendela tempat Launching Antologi pusi Anis Sayidah berlangsung. Ini hari kedua, dari rangkaian “Parade Launching 2015” yang diadakan oleh Arena Studi Apresiasi Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (ASAS UPI) dari tanggal 27-29 Mei di Auditorium PKM, Gedung Geugeut Winda Universitas Pendidikan Indonesia.

Bandung yang hangat. Di dalam ruang tempat diskusi, panggung telah diisi oleh instalasi benda-benda yang terdiri dari tempat berias yang ditunjukan lewat kursi, meja dan cermin di panggung bagian kiri, kemudian gantungan baju yang sengaja dibuat kusut oleh benang-benang kaset dan capstok. Pukul 15.00 WIB lebih beberapa menit itu, para peserta mulai berdatangan. Ada yang sudah menempati ruang diskusi, ada juga yang masih di luar, mengisi kehadiran di meja administrasi, juga melihat-lihat buku yang sengaja dijual oleh panitia dan para penjual buku yang diundang untuk menghiasi rangkaian kegiatan ini.

Dua MC manis, bernama Karin dan Meidina (Anggota ASAS UPI) melaju kedepan dan mulai menguasai suasana, gema suara pengeras suara melambung ke seisi ruangan. Acara dibuka dengan duduknya moderator, Tuti Alawiyah, dan pemateri yang akan membahas buku kumpulan puisi karya Anis Sayidah Kamar Pas Ingatan (Kata Bergerak, 2015) Nenden Lilis Aisyah (sastrawan sekaligus pengajar tetap di Universitas Pendidikan Indonesia).

Nenden Lilis Aisyah (kanan) menyampaikan apresiasinya pada peluncuran kumpulan puisi "Kamar Pas Ingatan", Kamis (28/5/2015). (Foto: Wishu Muhamad)

Nenden Lilis Aisyah (kanan) menyampaikan apresiasinya pada peluncuran kumpulan puisi “Kamar Pas Ingatan”, Kamis (28/5/2015). (Foto: Wishu Muhamad)

Perbincangan tersebut dimulai dengan refleksi Nenden Lilis mengenai kondisi Indonesia, di mana ideologi patriarki tertanam. Bagi Nenden, hal tersebut berimplikasi pada para pengarang Indonesia, khususnya puisi. Dari paparannya tersebut Nenden sendiri mengakui, “Tidaklah netral bagi saya dalam membaca puisi-puisi Anis Sayidah. Dan di dalam puisinya terdapat sedikit banyaknya puisi yang mengarah pada eksistensi ideologi patriarki, baik yang melawan atau pun hanya menunjukan adanya indikasi terhadap ideologi patriarki tersebut.”

Perbincangan pun semakin menarik ketika pembahasan lebih jauh menusuk ke dalam puisi-puisi Anis Sayidah. “Puisi Anis banyak mengangkat wilayah domestik perempuan, dunia dalam rumah, lewat perilaku perempuan di dalam rumah dan benda-benda yang (dalam stereotip di masyarakat) melekat pada diri perempuan,” tutur Nenden.

Nenden pun mencoba membacakan beberapa judul puisi seperti “Bercermin” yang menunjukan hal-hal yang berkaitan untuk memenuhi standar kecantikan, perempuan sebagai makhluk lemah, kemudian benda-benda domestik, peran prempuan sebagai ibu rumah tangga. “Puisi Anis pun berbicara juga tentang rindu, cinta, juga renungan-renungan spiritual,” tambahnya.

“Setidaknya puisi Anis memberikan penyadaran, misalnya, dalam kecantikan, perempuan menjadi sadar bahwa mereka menjadi pasar alat kecantikan, dan menjadi objek konsumtif yang dipaksa memenuhi standar laki-laki.” Nenden berusaha memperdetail ideologi patriarki itu dengan membongkar puisi-puisi Anis Sayidah, apakah terdapat kesetujuan terhadap ideologi patriarki, atau sebaliknya. Nenden mengatakan bahwa cara Anis mengungkapkan puisi dengan mengangkat wilayah domestik dan rumah tangga ialah untuk melawan ideologi patriarki tersebut.

Hal tersebut tentu menimbulkan banyak pertanyaan bagi para peserta diskusi, namun sayangnya, hanya terhitung sedikit peserta yang hadir, entah mungkin karena kursi yang disediakan panitia terlalu banyak dan tidak adanya upaya panitia untuk mengondisikan peserta, sehingga ruang pun terlihat sangat carang. Namun untungnya, para peserta terutama yang perempuan terlihat fokus mendengarkan.

Beberapa peserta tertarik untuk terlibat diskusi setelah Nenden Lilis Asiyah selesai menyampaikan pembahasannya. Di antaranya ialah Galah Denawa yang mempertanyakan manfaat puisi di masyarakat dan posisi penyair di dalam puisi. Kemudian Aida Radar, mempertanyakan bagaimana seharusnya sikap perempuan, tetap berada di ruang domestik, atau ke luar dan berusaha mengangkat apa yang ditulis laki-laki. Sedangkan Kenan memberikan pernyataan bahwa membutuhkan penelitian khusus untuk pelabelan terhadap aktifis feminis, sehingga tidak tergesa-gesa untuk jatuh pada penilaian. Pertanyaan terakhir dari Hendrawan yang menyoal bagaimana seharusnya menyikapi perempuan agar laki-laki tidak jatuh pada perilaku yang mendiskriminasi perempuan.

Semua pertanyaan itu dijawab Nenden dengan telaten. Menurutnya, “pilihan perempuan untuk menulis yang seperti Anis ialah upaya perjuangan perempuan sejak tahun 90-an untuk mendapat tempat dalam kesusastraan Indonesia sehingga kesusastraan di Indonesia menjadi netral, dan setara antara laki-laki dan perempuan. Puisi sebagai perasaan subjektif penyairnya, bisa diarahkan pada pengalaman terakhir penyairnya agar dapat mewakili perasaan banyak orang dari penghayatannya terhadap realitas.”

Namun di akhir, Nenden menegaskan lagi untuk menulis secara jujur, dengan begitu kita akan lepas dari persoalan jenis kelamin. “Persoalan feminis atau bukan tidak bergantung pada jenis kelamin, tapi karena keberpihakan terhadap feminisme itu”. Ya, mungkin, permasalahan di atas tidak akan selesai dalam sebuah pendiskusian yang singkat. Namun lagi-lagi di akhir Nenden menambahkan bahwa, “Menulis adalah jalan keluarnya.”

Yayan Kato CS turut memeriahkan peluncuran kumpulan puisi "Kamar Pas Ingatan", Kamis (28/5/2015). (Foto: Wishu Muhamad)

Yayan Kato CS turut memeriahkan peluncuran kumpulan puisi “Kamar Pas Ingatan”, Kamis (28/5/2015). (Foto: Wishu Muhamad)

Setelah pendiskusian tentang antologi puisi Anis Sayidah, acara pun ditutup dengan manis oleh musikalisasi puisi dari Yayan Kato CS, pembacaan puisi dari Tirena Oktaviani, Untung Wardojo, dan penulisnya sendiri.

Setelah Kamar Pas Ingatan “dibuka” dengan diskusi dan peluncuraan ini, semoga dapat menjadi tempat menghayat yang intim bagi pembaca.[]

KOMENTAR
Post tags:

Penyair. Penerima Hibah Teater Pemberdayaan Yayasan Kelola tahun 2015. Sedang belajar fotografi. Founder Doughnut.id. Kini tinggal di Karawang.

You don't have permission to register