Fb. In. Tw.

Pelajaran Berlari: Masa Lalu dan Kenangan yang Terus Mendera

Pelajaran Berlari (GPU, 2015), demikian sang penyair Didik Siswantono, memberi judul buku puisi pertamanya. Sekilas, judul Pelajaran Berlari akan mengingatkan kita pada konflik abadi  antara PSSI versus Menpora, yang lebih memilih bericuh ria tinimbang berlari mengejar prestasi Timnas, yang sejak awal-mula memilih bersetia di gelanggang kelam kekalahan.

Tapi ternyata tidak demikian adanya, setelah membuka halaman demi halaman buku kumpulan puisi Pelajaran Berlari, yakinlah tak akan ditemukan materi pelajaran, setidaknya-tidaknya materi pelajaran bagi Timnas kita yang entah mengapa begitu cinta kepada tim lawan, sehingga setiap bertanding Timnas kita senantiasa mengalah.

Dalam buku kumpulan puisi yang terbagi ke dalam tiga sub judul ini, Didik Siswantono mendedah momen-momen puitik ketika dirinya masih kanak, yakni ketika sang penyair masih berjibaku dengan kerasnya hidup di tempat ia lahir, Surabaya.

Berikut saya kutip: ketika malam merasuk jauh ke lebat hujan//kutitipkan jemariku di hangat pendiangan//dapur bunda//Menyelesaikan pelajaran berlari//hari ini, diakhiri sebutir isak yang melelahkan.//kali ini pelajaran berlari amatlah menguras air mata.//Seminggu ini, kecepatanku tak lebih dari dua puluh lima ribu…

Ungkapan puitik dengan bahasa tak bersayap, yang oleh penyairnya, ditulis berdasarkan pengalaman hidupnya menjadi sangat berharga untuk kita renungkan agar hidup—mengutip ungkapan Chairil Anwar—tak menunda kekalahan. Ya, kekalahan. Tapi hidup, lanjut Didik Siswantono dalam puisi berjudul Pelajaran Melipat Waktu; akan terus berlari, belajar mencintai pagi yang selalu hujan, pemberian Tuhan.

Sudah pasti, kalimat di atas tak bisa diungkapkan oleh anggota de-pe-er, lebih-lebih pengurus PSSI, atau bahkan oleh Didik Siswantono sendiri, yang setiap hari menyelami lautan angka di tempat ia bekerja. Kalimat-kalimat yang berdasarkan momen-momen tertentu, kenangan, cinta dan hiruk-pikuk hidup hanya bisa diungkapkan oleh sang pemilik—menyitir ungkapan penyair Octavio Paz—“Suara Lain” suara yang bersumber dari lubuk hati Didik Siswantono sebagai penyair, bukan sebagai pegawai (yang) datang mencari uang. Sudah kuduga//ia kelelahan. Tinggal menjadi tua dan sia-sia.//demikian penyair Didik Siswantono membuka bait puisinya yang berjudul “Balada Seorang Pegawai”.

Ada sebuah ungkapan menarik; musim semi tiba, daun-daun berguguran, salju mencair, roda kereta berderak dan segera diberangkatkan. Tapi bagaimana dengan kenangan? Apakah kenangan harus diberangkatkan?

Hanya kenanganlah yang membuat kita merasa pernah ada. Nah, dalam buku kumpulan sajak Pelajaran Berlari, buku yang mengantarnya menjadi tamu kehormatan pada Forum Penyair Internasional di Vietnam (Maret, 2015) ini dibagi jadi tiga bagian, Sajak Rindu Sepanjang Malam, Pada Sebuah Perpisahan, dan ketiga Pelajaran Berlari. Dalam buku ini, penyair seakan merentangkan benang pengikat antara masa lalu (kenangan), Sajak Rindu Sepanjang Malam, masa kini, Pada Sebuah Perpisahan, dan selanjutnya masa yang akan datang, masa dimana setiap kita tak mungkin bisa menghindar kecuali menghadapinya.

Kembali ke masa lalu, dimana segala kenangan menyusup ke lubuk kalbu sehingga pada saatnya “suara lain” menembus batas dan segala aktivitas, sesibuk apa pun seseorang ia tak akan bisa berpaling dari suara kalbu, suara puisi.

Nah, teman-teman yang berbahagia, mari sejenak kita menyelami kenangan di lautan puisi yang tak enggan meriakkan makna.[] Hotel seberang jalan, 10 Oktober 2015

KOMENTAR

Pengarang buku kumpulan cerpen "Mata Blater" (2010), "Karapan Laut" (2014), dan kumpulan puisi "Taneyan". Saat ini tinggal di Jatiuwung, Tangerang.

You don't have permission to register