
Payakumbuh Poetry Festival 2022: Memperkarakan Puisi Tak Henti-Henti
Apa persoalan puisi (Indonesia) hari ini?
Pertanyaan itu akan dibahas, secara langsung maupun tak langsung, dalam rangkaian diskusi di Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2022. Dalam festival puisi yang berlangsung di Payakumbuh, Sumatera Barat itu, selama tiga hari, dari 4 hingga 6 Desember 2022, puisi akan diperkarakan tak henti-henti.
Ahda Imran dan Saut Situmorang akan bicara dalam diskusi bertajuk ‘Apa Persoalan Puisi Indonesia Hari Ini?’. Kurator PPF 2022 Iyut Fitra bilang dua penyair yang telah bergiat di dunia kesusastraan selama lebih dari tiga dekade ini punya cara melihat dan ruang lingkup yang berbeda dalam memperkarakan kondisi sastra Indonesia, termasuk dalam mengemukakan suatu ‘persoalan puisi Indonesia’ di masa sekarang, baik terkait hal-hal di dalam puisi ataupun di luar puisi itu sendiri.
“Berbagai pengalaman mereka masing-masing, termasuk pengalaman menetap di negeri jauh, memperhatikan berbagai situasi sastra di sana, dan kemudian membangun situasi sastra tertentu di tanah air, tentu telah memunculkan berbagai perubahan pandangan dan kemudian pemikiran penting dalam sastra Indonesia saat ini,” jelas Iyut.
“Publik perlu tahu lebih dalam tentang buah pikiran mereka, apalagi di kawasan yang salah satu pokok pemikiran mereka tentunya adalah hal-hal yang berkaitan apa yang mereka anggap sebagai persoalan puisi Indonesia hari ini, setidaknya berdasarkan pengamatan mereka dalam satu dekade terakhir—baik melalui contoh khusus maupun gambaran umum, atau bolak-balik antara keduanya,” lanjutnya.
Pertanyaan mengenai apa persoalan puisi Indonesia, masih mengutip Iyut, menjadi penting untuk dibahas sebab, keberbagaian cara melihat seperti itu, pada gilirannya diharapkan dapat menjadi tantangan produktif bagi kerja-kerja penciptaan puisi di masa mendatang.
Diskusi lainnya berupaya membahas kondisi terkini dunia sastra di negeri-negeri Asia Tenggara lainnya.
“Tiga penyair dari Vietnam, Thailand, dan Filipina bakal menceritakan kondisi negara masing-masing, baik kondisi yang mendukung pengembangan sastra atau kondisi yang menghambat, serta hal-hal yang apa saja menurut pemikiran mereka masing-masing yang membuat puisi masih harus ditulis dan disebarkan ke publik di zaman sekarang, apapun itu bentuk dan cara penyebarannya,” jelas Iyut lebih jauh.
Diskusi menyangkut topik ini terdiri atas tiga bagian. Masing-masingnya akan diisi oleh Dr. Michael M. Coroza, penulis peraih S.E.A Award 2017 dari Ateneo De Manila University, Philipina; Thaweesak dari Songkla University, Thailand; serta penyair Ali Bao dari Vietnam.
Di diskusi lainnya lagi, Tim Dewan Juri Sayembara Menulis Puisi “Puisi tentang Puisi” PPF 2022, Zen Hae, Esha Tegar Putra, dan Alpha Hambaly, akan memaparkan catatan penjuriannya. Secara umum, mereka membahas 488 naskah yang mengikuti sayembara, lalu membahas lebih dalam lima karya yang diputuskan sebagai karya terbaik.
“Dari pembahasan lima karya terbaik itu, Ketua Tim Juri tak hanya memaparkan hal-hal menarik dari karya tersebut, tetapi juga persoalan-persoalan tertentu yang mungkin ditemukan darinya. Dengan demikian, pandangan Tim Juri ini dapat menjadi tantangan baru dalam menulis puisi bertema ‘Puisi tentang Puisi’ di kemudian hari,” kata Iyut lagi.
Puisi juga diperkarakan dalam dua sesi bedah buku. Di sini Esha Tegar Putra akan memberikan pandangan perihal Sawah Sepetak di Kerampang—buku puisi terbaru karya Fitra Yanti. Sementara Alpha Hambaly bakal mendedahkan pembacaannya atas buku puisi terbaru Berumah di Kesunyian karya Yeni Purnama Sari.
Melibatkan pelajar dalam diskusi sastra tentu bukan hal baru. Begitu pula dengan festival puisi yang telah menginjak usia 2 tahun ini. Ada sesi khusus yang dirancang untuk mempertemukan para pelajar dengan penyair. Siswa SMA dari Payakumbuh dan Kab. 50 Kota akan diajak berdiskusi tentang dunia puisi oleh Ni Made Purnama Sari, ia juga bakal berbagi pengalaman soal menulis puisi, memiliki buku puisi pertama, sampai keseruan bergiat di dunia kepenulisan.
Rangkaian diskusi itu akan diselingi oleh beragam pertunjukan yang masih berkaitan dengan puisi. Ada pertunjukan Puisi Bunyi yang berupaya menafsirkan puisi lalu mengolahnya ke dalam ragam-ragam bebunyian; ada pertunjukan Puisi Visual yang memanfaatkan berbagai medium visual sebagai elemen untuk menampilkan peranti puitik sebuah puisi; serta Rantak Puisi yang diadopsi dari Slam Poetry di mana puisi dibacakan secara lebih bebas.
Festival tahun ini merupakan yang pertama digelar secara offline. Dua festival sebelumnya, pada 2020 dan 2021, dilangsungkan secara daring. Agendanya pun terbatas pada sayembara penulisan puisi. Dari sana telah lahir dua kumpulan puisi berisi 50 karya pemenang sayembara berjudul Lurus Jalan ke Payakumbuh (2020) dan Negeri Segala Umpama (2021).