Fb. In. Tw.

Panggilan Dialihkan

Asal muasal kebiasaan Nenek Opah yang selalu berjongkok di tepi jembatan setiap pukul empat sore adalah dari pecahnya gelas kesayangan yang dimilikinya beberapa minggu lalu. Gelas itu pecah ketika sedang dicuci. Awalnya, memang sudah ada retakan kecil hingga akhirnya gelas itu terbelah dua dengan perbandingan ukuran 2:7.

Nenek Opah tetap menyimpan pecahan beling itu dan meletakkannya di samping tempat cuci. Jika digabungkan, keduanya masih bisa utuh. Sayangnya, beberapa hari setelahnya, ketika ia mencuci wajan dan tak sengaja menyenggolnya: gelas itu hancur menjadi beling-beling kecil. Tidak bisa disatukan lagi. Satu pecahan beling bahkan hanyut ke tempat pembuangan air.

Maka, Nenek Opah berpikir bahwa pecahan beling itu barangkali akan hanyut hingga ke selokan, meluncur menuju sungai, dan hilang di lautan. Nenek Opah pun menelepon anak-anaknya. Sementara anak-anak mereka pasti akan menggerutu sembari menerka-nerka kejadian sepele apa yang membuat ibunya menelepon.

“Beli saja yang baru. Gelas motif seperti itu banyak,”

Nenek Opah tak suka barang baru. Ia lebih suka benda-benda lama yang jadi saksi hidupnya. Lalu ia menelepon anak kedua. “Mak, beling itu sudah hilang. Tidak mungkin bisa kembali lagi. Kecil kemungkinan dia hanyut ke sungai. Barangkali dia nyangkut di selokan dan hancur di sana,”

Penjelasan anak kedua cukup realistis. Tetapi hal itu justru membuatnya menampung air hujan banyak-banyak dan mengguyur tempat pembuangan air berkali-kali setiap hari agar si beling tidak tersangkut di mana pun.

Sementara itu, anak ketiga tidak menjawab telepon. Ia memang tak pernah mengangkat panggilan siapapun. Nenek Opah memakluminya, mungkin ia sibuk bekerja.

Sejak bertahun-tahun lalu, ketiga anaknya sibuk dengan keluarga masing-masing atau pekerjaannya. Anak pertama dan kedua telah menikah dan hidup di kota yang berbeda dengannya. Keduanya lelaki. Sesekali berkunjung, namun tidak sering. Anak terakhirnya adalah seorang perempuan dan baru tiga tahun lalu meninggalkannya untuk bekerja di kota sebelah.

Ia pun juga tidak sering berkunjung. Tetapi, tiap kali berkunjung, anak bungsunya akan mengajaknya melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukannya; menonton film di bioskop, makan masakan Eropa atau Asia Timur, bahkan mengajaknya mengikuti sebuah demonstrasi. Demonstrasi itu tergolong aksi damai, jadi aman untuk Nenek Opah yang sudah mencapai usia hampir 70 tahun.

Anak perempuannya memang masuk kuliah terlambat. Tetapi justru ia yang paling sering jalan-jalan ke luar negeri. Ia akan pulang dengan membawa banyak oleh-oleh, foto, dan cerita. Mulanya, ia seperti orang tua yang lain, menaruh harap lebih besar pada anak lelaki. Lalu, kemudian, semua itu perlahan luruh dan ia terus-menerus menyesalinya. Anak perempuannya tak begitu ia perhatikan ketika masih anak-anak atau remaja. Bukan berarti karena ia tidak mau, tetapi keadaan membuatnya harus begitu. Ia mesti memastikan anak laki-lakinya harus mendapatkan pendidikan dan pekerjaan lebih dulu lalu membantunya membiayai anak perempuannya.

Tetapi hal itu tak berlangsung mulus karena kedua anak lelakinya buru-buru ingin menikah.

“Tidak apa-apa, Bu. Aku bisa cari uang sendiri. Aku membuat desain dan menjualnya di internet,”

Anak perempuannya menyuguhkan dunia yang benar-benar berbeda untuknya; memperkenalkannya pada internet, menunjukkan foto-foto keluarga kedua kakaknya di media sosial dan bagaimana mereka berinteraksi di sana. Kelak, anak perempuannya berjanji akan membelikan ponsel yang bagus untuk ibunya. Jadi, Nenek Opah tak perlu menunggunya untuk pulang ke rumah hanya untuk melihat apa yang dilakukan oleh kedua kakak lelakinya.

Tadinya begitu. Sampai Nenek Opah menyadari bahwa satu-satunya yang ia inginkan bukan ponsel bagus, melainkan kepulangan putrinya dan bagaimana ia akan menceritakan apa-apa saja yang ia temukan di tepi-tepi jalan.

Anak-anaknya sungguh sangat suka berbicara ketika kecil. Tetapi, ketika mereka dewasa, semuanya jadi pendiam kecuali putrinya. Ia tetap seorang yang ceria dan pandai bercerita. Cerita kesukaannya adalah ketika putrinya berkunjung ke Kamboja dan menemukan masjid dengan para jamaah yang cara mengajinya sama seperti orang-orang di Jawa. Anak itu merekamnya dan mereka mendengarkannya berulang-kali.

Ah, kenangan yang indah sekali.

Tetapi semua kenangan itu hanya bisa dikenang tanpa ditemukan kembali.

Sekarang, Nenek Opah sudah di sini, di bawah jembatan pada pukul empat sore dengan telepon genggam yang berdering berulang-kali.

PDAM di daerah tempatnya tinggal hanya menyala di waktu-waktu tertentu. Sore hari pada pukul empat dan orang-orang akan mencuci piring bekas makan siang. Pada saat itu, air akan lebih banyak mengalir deras ke selokan.

Suara ponsel Nenek Opah terdengar nyaring sekali karena telepon itu ponsel lawas dan modelnya masih monophonic. Kalau yang ini bukan karena Nenek Opah suka barang lama, tetapi karena ia tak mampu membeli dan kedua anak lelakinya merasa ibu mereka tak mungkin bisa menggunakan telepon bagus.

“Mak ke jembatan lagi, ya? Ayo pulang!” itu suara anak pertama.

“Mak, beling itu benda berat. Barang itu tidak mungkin hanyut. Dia akan tenggelam dan tidak bisa ditemukan,” itu telepon dari anak kedua.

Nenek Opah tak bergeming. Gelas kaca itu adalah kesayangannya. Pemberian si anak ketiga yang tak pernah mengangkat teleponnya. Panggilan yang selalu dialihkan.

KOMENTAR
Post tags:

Lahir di Magelang, Oktober 1994. Penerima Anugerah Sastra A.A Navis 2016 dengan cerpen berjudul Hunian Ternyaman. Novelanya, Di Jok Belakang Mobil terbit November 2019. Bisa disapa di @lamiapd (twitter/instagram).

You don't have permission to register