
Orang-orang Luaran (6)
“Saya turut berduka cita. Tapi, sekali lagi, mohon maaf. Kami tidak mengenalnya. Dia cerita bahwa Jal adalah sepupunya. Tapi Jal adalah kakek kami yang sudah meninggal 8 tahun lalu,” ujar seorang laki-laki di ujung telepon.
“Ya, kami paham. Apakah tidak ada saudara lain yang mengenal Kun.”
“Maaf, sekali lagi, kami tidak mengenalnya.”
“Dia meninggal sendirian,” kataku. Namun, laki-laki di ujung telepon itu tidak menjawab. “Setelah autopsi, kami harus segera memakamkannya.”
Laki-laki di ujung telepon itu tetap diam. Kami tahu dia orang baik.
“Apakah Bapak mengenal Betje?” kataku lagi
“Betje? Tidak.,” jawabnya. “Tapi apakah dia meninggalkan warisan?” lanjutnya.
“Tidak.”
Sambungan telepon itu terputus setelah sepuluh menit.
Saat itu, saat kami membereskan barang-barang Kun. Ada dorongan dari dalam diriku—mungkin juga Sep—untuk memberitahu keluarga Kun. Tidak ada warisan apapun yang ditinggalkan Kun untuk keluarganya. Namun, keluarga Kun harus tahu tentang kematianku.
Suatu hari aku membuka Facebook dan masuk ke grup SMA. Dari grup Facebook itu aku baru tahu bahwa teman sebangkuku sudah meninggal tiga tahun lalu. Selama itu pula, aku masih menganggapnya ada. Beberapa kali aku ingin menghubunginya untuk wawancara, tapi aku selalu lupa. Hingga akhirnya, seorang teman mengabari melalui posting di wall grup tiga tahun lalu bahwa teman yang kumaksud telah meninggal. Tidak ada yang berkomentar atas kematiannya. Dia bukanlah seorang murid yang populer. Mungkin tidak banyak yang mengenalnya.
Tidak banyak yang mengenal Kun. Jika aku mengabari teman-temannya yang ada di penjara, itu tidak akan berarti apa-apa, pikirku.
Aku sudah menghubungi nomor Betje berdasarkan Yellow Pages—termasuk nomor 319 227. Namun, aku baru menyadari bahwa itu adalah Yellow Pages tahun 1999.
Aku dan Sep mengurus pemakaman Kun. Kami, terutama aku, menanggung biaya pemakaman itu.
Untungnya, biaya pemakaman Amad ditanggung keluarganya. Katanya, biayanya diambil dari kompensasi dari rumah Amad di Tuba yang lahannya akan dijadikan jalan trans pulau. Aneh, tanah itu adalah tanah turun-temurun dari keluarganya. Mengapa tanah itu menjadi tanah negara sehingga Amad hanya menerima kompensasi ganti rugi. Amad tidak mau menerima kompensasi itu.
Amad tidak mau menerima kompensasi itu hingga ia meninggal. Karena Amad sudah mati, kuasa atas rumah dan tanah itu diambil alih oleh keluarga besar Amad, khususnya pamannya.
“Abang simpan atau buang saja barang-barang Amad. Lagi pula jika dikirim ke Tuba, akan ada biaya dan barang-barang itu belum tentu berguna. Barang-barang mereka (Amad dan ayahnya) tak juga kami simpan. Kami sudah menjualnya.”
Saat aku membereskan barang-barang milik Amad, aku menemukan tiket bus ke Tuba yang dijadwalkan berangkat tanggal 5. Untuk membeli tiket itu, ia meminjam uangku.
“Pak Amad, bisnya udah mau berangkat. 5 menit lagi,” kata operator bus melalui SMS. Ia juga sempat menelepon Amad, tapi aku yang mengangkat panggilan itu.
“Mohon maaf, Bu. Pak Amad sudah meninggal dua hari lalu.”
Dua hari sebelum kematian Amad, pamannya mengabari melalui SMS bahwa uang kompensasi itu sudah diterima olehnya.
Setelah kematian kedua orang itu, kehidupan di Luaran berjalan seperti biasa. Kematian selayaknya kedatangan dan kepergian penghuni kontrakan. Pagi-pagi, orang-orang Luaran pergi ke pabrik. Pabrik itu menelan mereka seperti makanan. Sore hari, mereka dimuntahkan seperti sebuah penyakit. Pada waktu yang sama, pabrik itu menelan mereka dan memuntahkannya lagi. pabrik itu telah menghisap daya hidup mereka. Sebagian dari mereka berbelanja di pasar kaget depan pabrik. Sebagian lagi masuk ke warung-warung kopi; membicarakan pergerakan buruh atau mengeluhkan cicilan HP.
“Kemarin ada yang bunuh diri di kontrakan Luaran?”
“Iya.”
“Besok malam saya mau kabur ajalah dari kontrakan. Ngga ada duit buat bayar.”
“Mati aja lo.”
Pada dini hari, Sep mengendap-endap, bersama dengan istrinya, keluar dari Luaran. Ya, ini biasa terjadi. Nanti pagi, seperti biasa, pemilik kontrakan akan marah-marah karena Sep kabur sementara ia masih menunggak uang sewa flat.
Seperti kematian, mereka datang ke Luaran dan pergi dari Luaran. Orang-orang Luaran yang masih di sini, hidup di sini, akan juga pergi suatu saat nanti dengan caranya masing-masing.
Aku masih belum mampu menentukan dengan cara apa aku akan pergi dari sini? Sampai kapan aku ada di sini? Tali gantungan itu masih menjulur dari langit-langit kamar flatku. Seharusnya, malam itu, aku gantung diri sebelum teriakan istri Sep menggagalkan niatku. Seharusnya, aku sudah mati.
Sebuah jendela dan pemandangan yang asing di luar. Sebuah SMS dari anakku kuterima. Ingatan tentang anakku kembali. Sudah dua tahun dia tidak mengabariku. Dua tahun lalu, ia menyuruhku untuk pulang. Di pesan terakhirnya kepadaku waktu itu, ia mengatakan bahwa ia telah membenciku. Kini, ia mengabari bahwa ibunya sudah meninggal.