
Orang-orang Luaran (1)
Orang-orang Luaran berkerumun di depan kamar nomor 8. Mereka mencoba menyidik bau bangkai yang tercium dari dalam flat itu. Seseorang coba mengintip dari jendela, tetapi pandangan tertutup selembar tirai merah. Seseorang yang lain mengintip dari ventilasi. Ia tak menemukan apapun di dalam selain sehampar tikar yang digelar di lantai.
“Dobrak saja pintunya!”
Tidak ada yang mau mendobraknya.
Setiap pagi, Kun berdiri di muka pintu. Sejak beberapa minggu lalu, ia tinggal di kontrakan ini. Ia mengenalkan dirinya sebagai Kun—Khun atau Khan atau Kahn—saat aku makan mi instan di warung dekat pabrik sepatu di Luaran. Aku tidak tertarik dengan laki-laki tua itu—juga kepada siapa pun. Saat ia berkisah tentang dirinya, aku tidak tertarik dengan kisah orang lain. Namun, mengapa kisah orang-orang amat mudah teringat di pikiranku—mungkin karena aku pernah menjadi wartawan.
Pada umurnya yang ke-19, dengan terencana, Kun telah berhasil membunuh satu keluarga yang terdiri dari dua orang anak perempuan dan sepasang suami-istri. Si suami mengatakan bahwa Kun lahir dari pantat seorang pelacur. Kun punya alasan kuat untuk melakukan itu.
Kun dihukum selama 70 tahun—atau 80 tahun atau 72—penjara.
“Penjara adalah bagian paling buruk dari dunia. Jangan pernah melakukan kejahatan!” katanya.
Pada bulan-bulan pertama, ia mendapatkan perlakuan kasar dari sekelompok sipir. Teman sekamarnya menjadikan tubuhnya sebagai alat olahraga. Tidak ada yang peduli dengan luka-luka yang melekat pada tubuhnya. Setiap orang hanya peduli dengan dirinya sendiri. Dan seperti neraka, penjara itu membuatnya menyesal dan ingin kembali ke masa lalu.
Setelah sekira setahun, Kun telah berhasil menyesuaikan diri. Sepertinya, kepandaian dalam bergaul dan menyelundupkan benda terlarang membuatnya mudah diterima oleh salah satu kelompok di sana. Namun, ia sama sekali tidak tertarik dengan bisnis gelap atau rencana-rencana jahat di sana. Sikap itu membuatnya dipercaya oleh Kepala Penjara. Ia ditugaskan mengurus bengkel las. Semua tampak berjalan dengan baik. Kehidupannya menjadi jauh lebih baik di penjara.
Setelah kira-kira 45 tahun di sana, ia harus pensiun dari bengkel las itu karena tenaganya sudah jauh berkurang. Penjara itu membuat pojok bacaan. Setelah menjadi kepala bengkel las, Kun merawat pojok bacaan itu.
“Kamu pernah baca Albert Camus? Dia sungguh mengesankan! Sejak saat itu, aku telah melupakan kebebasan.”
Setelah itu, ia benar-benar melupakan kebebasannya—barangkali ia telah mencapainya.
“Aku merasa bahwa pada saat itu aku telah mencapainya: kebebasan. Namun, justru ketakutanku datang beberapa tahun selanjutnya saat aku akan bebas.”
Hukuman Kun di penjara telah berakhir. Sampai pada titik itu, ia masih bertanya-tanya, apakah ia benar-benar bebas?
Untuk pertama kalinya, setelah 60 tahun—atau kurang dari itu—ia melihat dunia luar. Usianya kini telah menginjak 77 tahun.
“Apa yang mampu diperbuat oleh seorang laki-laki tua?”
Ia hidup sendiri. Ia tidak pernah berpikir bahwa saat hari kebebasan ia akan dijemput oleh sepupunya dan tinggal di keluarga yang hangat. Ia telah memikirkan itu beberapa tahun menjelang kebebasannya. Ia tidak yakin jika orang-orang di luar dinding penjara lebih baik. Namun, tidak ada yang tahu tentang itu karena zaman telah berubah. Ia hanya berpikir bahwa saat bebas, ia akan menjadi manusia yang baru; ia akan menemukan kehidupan yang menakjubkan meski ia tahu bahwa itu tidak akan terjadi. Namun, ia tahu bahwa ia harus berbuat baik kepada semua orang.
Setiap pagi, berdiri di depan pintu; menikmati cahaya matahari yang mengarah langsung kepadanya. Kemudian, ia menyapa orang-orang Luaran yang melewati flatnya untuk pergi ke pabrik. Namun, tidak ada yang peduli dengannya. Orang-orang itu bergegas keluar area kontrakan dan menyusuri lorong-lorong di Luaran menuju ke pabrik. Setiap pagi, pabrik itu menghisap mereka seperti debu. Setiap orang hanya peduli dengan dirinya sendiri.
Kun pun bergegas pergi ke sebuah lahan parkiran tempat buruh-buruh itu memarkir motor mereka. Sebenarnya, bos parkir itu iba kepada Kun dan memberi upah lebih sedikit daripada pegawai lain. Tentu saja, itu dilakukan karena Kun tidak mampu bekerja lagi di usianya yang sudah tua. Tentu saja, ia kesulitan merapikan motor yang terparkir. Ia harus mengangkat bagian belakang motor itu, sedangkan tangannya sudah tidak mampu lagi. Akhirnya, ia dipindahkan ke bagian loket pembayaran. Sebenarnya, bagian loket pembayaran adalah jenjang karier paling tinggi yang bisa dicapai oleh seorang pegawai parkiran itu. Namun, tidak ada pilihan lain. Dengan sisa-sisa kemanusiaannya, bos parkir itu memindahkan Kun ke bagian loket pembayaran.
Pada sore hari, Kun selesai bekerja. Biasanya, ia pergi ke warung untuk membeli makanan. Di warung inilah aku mengenalnya.
Ia selalu memulai pembicaraan. Sementara itu, saat makan, aku lebih suka menonton TV daripada berbicara. Ia bercerita banyak tentang penjara dan kesan-kesannya tentang dunia luar dan kebebasan hidup.
“Sebelumnya, aku tidak membayangkan bahwa banyak orang yang mampu beli motor. Motor mereka berat sekali,” kata Kun. “Katanya, mereka beli dengan kredit? Bagaimana caranya?” lanjutnya. “Kalau kita tidak mampu bayar angsuran, debt collector akan ambil motor itu dan motor itu tidak akan kembali. Mengerikan!” ucapnya. “Itulah mengapa mereka rajin bekerja setiap hari meski menjadi buruh di pabrik itu. Dan setiap sore, pabrik itu memuntahkan mereka seperti sebuah penyakit!”
Aku menoleh kepada Kun. Ia meremas uang kertas di genggamannya sambil melihat ke luar jendela warung; mengamati buruh-buruh yang keluar dari pabrik sepatu itu.
“Hidup adalah hukuman,” gumamnya.