Obituari A.K. Ogloblin, Ahli Sastra Jawa Kuno di Rusia
Hari-hari belakangan, berita tentang meninggalnya para pesohor demikian akrab di telinga. Tanpa mengurangi penghormatan dan doa kepada para pejuang medis yang gugur, juga kepada korban Covid-19 di mana pun, izinkan saya menyebut beberapa nama yang kematiannya ditangisi orang banyak: Mohammad Sunjaya (aktor), Glenn Fredly (penyanyi), A.E. Priyono (aktivis, intelektual), Arief Budiman (aktivis, intelektual), dan Didi Kempot (penyanyi).
Di sela-sela berita itu, kabar duka juga datang dari Rusia, negeri yang saya kunjungi akhir tahun lalu.
“Seorang ilmuwan terkenal, seorang linguis dan pakar sastra Melayu-Indonesia, dan lebih luas lagi, pengkaji bahasa-bahasa Austronesia, rekan dan sahabat kita Alexander Konstantinovich Ogloblin meninggal dunia pada 23 April 2020,” tulis Dr. Victor Pogadaev, lewat pesan WhatsApp yang saya terima pada Jumat (24/4) dini hari.
Nama Alexander Ogloblin mula-mula saya ketahui lewat film Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan karya Seno Joko Suyono. Dalam film pemenang Piala Citra 2006 itu (kategori dokumenter), sosok Ogloblin disebut sebagai Ahli Tata Bahasa Jawa Kuno. Mengenakan sweater coklat dan kemeja berkerah putih—di belakangnya tampak sebentang kain biru dengan corak peta Indonesia—sosok berkacamata yang tampak kalem itu membeberkan pengetahuannya tentang salah satu produk budaya Jawa Kuno, Kakawin.
“Kakawin bahasanya lebih sulit, sebenarnya, karena selain memperhitungkan struktur bahasa kita juga harus memperhitungkan struktur puisinya. Jadi, (Kakawin) punya banyak perhiasan puitis, majas, perbandingan, juga padat dengan kata-kata yang dulu dianggap indah, terutama kata-kata dari bahasa Sansekerta,” kata Ogloblin.
Sebelumnya, pengajar di Fakultas Kajian Ketimuran Universitas St. Petersburg ini juga menyebut beberapa kitab berbahasa Kawi yang dia ajarkan kepada mahasiswa: Pararaton, Panchatantra, Tantu Panggelaran, dan Kakawin Sutasoma.
“Pararaton kami baca bersama mahasiswa tingkat tiga, kalau Kunjarakarna kami baca bersama mahasiswa, sekarang (Maret 2006—red). Sebelum itu, kami membaca Negarakertagama dan Kakawin Sutasoma, terutama karena seorang mahasiswa sangat berminat kepada agama Budha pada zaman itu.”
Saya mencatat nama Alexander Ogloblin dan mahasiswa yang dia maksud, Aleksandra Kasatkina, sebagaimana saya mencatat nama Liudmila Demidyuk dan Villen Sikorsky. Rencananya, para Indonesianis tersebut akan saya temui sesampainya di Rusia.
“Kalau nanti berkunjung ke St. Petersburg, berikan buku ini kepada teman saya di sana, Prof. Ogloblin,” kata Fadli Zon, sambil memberikan buku biografinya, Passing Through The Hall of Time, medio November 2019 lalu.
Sehubungan dengan riset saya tentang Utuy Tatang Sontani, saya sengaja menemui Fadli di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Kunjungan saya beralasan: politikus Gerindra itu, bersama Taufiq Ismail dan Wiratmo Soekito, boleh dibilang merupakan kelompok orang Indonesia pertama yang mengunjungi makam Utuy di Rusia.
“Pada 1996 kami berangkat ke Rusia menghadiri sebuah seminar, saat itulah saya berkenalan dengan Prof. Sikorsky, Prof. Ogloblin, dan lain-lain, kemudian ziarah ke makam Utuy,” sambung Fadli.
Sayangnya, karena satu dan lain hal, selama dua bulan di Rusia saya tak sempat bertemu Prof. Ogloblin—hal yang saya sesali saat menuliskan catatan ini.
Akademisi dan Indonesianis Tulen
Dr. Victor Pogadaev menerangkan, sahabatnya, Alexander Konstantinovich Ogloblin lahir di Leningrad pada 2 Januari 1939. Kemampuan bahasa Indonesianya didapat dari Departemen Ketimuran Universitas Leningrad. Beberapa dosen di situ antara lain Usman Effendi; G. I. Prokofiev, seorang pakar Tata Bahasa Indonesia di era Uni Soviet; serta N.D. Andreev, pelopor kajian kaidah matematika dalam studi linguistik.
“Pada 1959-1960, Ogloblin magang di Konsulat Perdagangan Uni Soviet di Jakarta. Setahun kemudian, ia resmi memperoleh ijazah Sarjana Filologi Indonesia dari kampusnya,” kata Pogadaev.
Sepanjang 1961-1965, sambil bekerja sebagai penerjemah tentara dan guru bahasa Indonesia, Ogloblin melanjutkan studi pascasarjana di bawah bimbingan Profesor A.A. Kholodovich, seorang pakar linguistik dan orientalis.
Sejak 1966, Ogloblin mengetuai seminar pembacaan teks di Fakultas Kajian Timur Universitas Negeri St. Petersburg serta mengampu matakuliah tentang tata bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Austronesia, dialektologi Melayu, dan lain-lain.
“Pada 1988, Ogloblin mempertahankan tesis doktoralnya mengenai struktur dan evolusi bahasa-bahasa Melayu-Jawa, enam tahun kemudian dia meraih gelar Profesor,” sambung Pogadaev, sekretaris Pusat Nusantara, sebuah lembaga di Rusia yang fokus meneliti negara-negara Asia Tenggara.
Di Pusat Nusantara pula Ogloblin tercatat sebagai salah seorang Peneliti Ahli. Karyanya, seri kumpulan buku tentang budaya Melayu-Indonesia, diterbitkan oleh Persatuan Nusantara bekerja sama dengan Departemen Ketimuran Universitas St. Petersburg.
“Pada 1995-1998 beliau menjadi Tenaga Ahli pada Lembaga Persatuan Eropa bagi Kajian Asia Tenggara (EUROSEAS).”
Lebih dari 200 tulisan telah lahir dari pemikiran Ogloblin, meliputi buku, artikel, abstrak, makalah, dan buku teks tentang bahasa (terutama tata bahasa dan tipologi), sastra, serta budaya Indonesia dan Malaysia.
Sepanjang dekade 90-an, sosok sederhana ini kerap tampil sebagai pembicara di sejumlah konferensi dan seminar internasional, misal, konferensi ke-6 mengenai linguistik Austronesia di Honolulu (AS, 1991) dan konferensi ke- 7 di Noordwijkerhout (Belanda, 1994); Kongres Melayu di Kuala Lumpur (1995); konferensi mengenai bahasa Timur Jauh, Asia Tenggara dan Afrika Barat di Moskow (1997) dan di St. Petersburg (1999); Seminar Royal Institut di Leiden mengenai teks-teks bahasa Jawa Kuno (1998) dan mengenai tradisi Melayu (2002), juga Kongres Bahasa di Jakarta, Indonesia (1999).
Adapun jasa Ogloblin bagi sastra Indonesia, salah satunya, adalah menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer (Keluarga Gerilya) dan Putu Wijaya (Telegram dan Bila Malam Bertambah Malam).
Pada tahun 1986 Ogloblin menerbitkan buku Tata Bahasa Madura, bahasa yang sebelumnya tidak dipelajari di Rusia. Penerbitan buku itu terbilang menarik sebab, selain membuatnya mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Rusia, buku itu justru terbit 22 tahun lebih awal ketimbang karyanya tentang Tata Bahasa Indonesia.
Di mata Pogadaev dan sahabat-sahabatnya yang lain, Ogloblin tak ubahnya sosok Semar yang memiliki kepribadian istimewa. Toleran terhadap orang lain, rendah hati, dan tidak mementingkan diri sendiri.
“Bagi kebanyakan sarjana Rusia, Alexander Konstantinovich Ogloblin adalah contoh tentang kesetiaan kepada ilmu, tokoh yang selalu siap membantu rekan-rekannya, memperhatikan dan mengoreksi kesalahan mereka dengan memberi saran yang bijak,” sambung Pogadaev.
Seperti halnya Arief Budiman, Ogloblin mangkat tepat pada Hari Buku Internasional. Sebagai pemikir, barangkali demikianlah penghormatan yang diberikan malaikat maut buat keduanya.
Selamat jalan, Alexander Konstantinovich yang dikasihi! Di bumi, karya-karyamu abadi.