Nyi Nasim
Masih subuh, Kiman keluar rumah. Ia berlari di bawah sinar bulan, menyibak ranting-ranting yang masih dingin. Kakinya tanpa alas memecah genangan sisa hujan tadi malam. Pandangannya goyah, mencari nyala cempor di ujung setapak, rumah Nyi Nasim. Tempat semua orang di dusun meminta bantuan.
“Istriku melotot lagi.”
“Mari antar aku ke sana.”
Nyi Nasim sudah lama dipercaya bisa menyelesaikan masalah-masalah gaib. Ia dianggap sebagai perempuan yang berselimut kain gelap. Rumahnya redup, hanya nyala cempor di teras. Setiap ada kejadian yang tak masuk akal, Nyi Nasim selalu menjadi jalan bagi orang- orang dusun. Segala beres di tangannya.
Dari obrolan-obrolan warung kopi, tersiar kabar Nyi Nasim lahir dari ketidakmasukakalan. Ia lahir dari Ibu yang sudah mati. Dilahirkan dalam liang lahat yang sedang di timbun. Orang-orang heran. Tangisan bayi dan doa-doa menyelimuti orang-orang yang penuh duka. Bayi itu lahir dengan darah yang masih hangat. Ibunya mati disantet orang, Bapaknya tertusuk pagar bambu saat jatuh dari pohon kelapa seminggu lalu. Nyi Nasim diasuh Ki Namru yang tinggal di atas bukit.
Ki Namru tak menikah. Tak punya keturunan. Dikenal sebagai dukun kampung yang kerjanya duduk di atas batu dekat curug. Kakinya pincang. Bekas tertindih batu di galian bukit milik Juragan Idrus, saat ia masih bekerja di sana. Ki Namru bersedia mengasuh bayi yatim piatu itu.
Nama Nasim, ia berikan saat bayi itu berusia delapan bulan. Katanya, Nasim dasar nama dari musim. Musim tak memiliki bapak dan ibu. Musim lahir begitu saja mengikuti porosnya di atas langit.
Nyi Nasim diwarisi ilmu-ilmu gaib oleh Ki Namru. Segala ilmu yang bisa mengobati dan menyejahterakan orang-orang di sekitarnya atau pun sebaliknya. Saat Nyi Nasim berusia tujuh tahun, ia sudah bisa mengobati pemuda yang kesurupan.
Dengan wajah setenang danau, Nyi Nasim mengusir jin yang meronta di tubuh seorang pemuda yang jalur darahnya silih silang di lengan dan betisnya. Pemuda itu terjungkal ke tanah, lalu tak sadarkan selang beberapa saat. Dengan keadaan payah, pemuda itu mencium telapak tangan Nyi Nasim muda.
Sejak saat itu, orang-orang pergi kepadanya jika terjadi sesuatu kepada sanak keluarga, dimulai anak yang sakit-sakitan sampai masalah jabatan.
Saat Nyi Nasim usia belasan, Ki Namru ditanahkan. Nyi Nasim memilih meninggalkan rumah di atas bukit, ia diberi rumah oleh kepala dusun di dekat sungai. Di ujung setapak menuju barat. Ia mendapat pasokan pangan dari kepamrihan orang-orang dusun. Atau sesekali ia mendapatkan uang dari orang-orang yang ia obati.
Tadi malam, Nyi Nasim pulang dari rumah Kiman dengan keringat yang menyungai di kening dan punggungnya. Selama ia berjalan di atas tanah, tak pernah ia menjumpai jin yang sangat sulit dipulangkan. Ia gelisah duduk di atas tikar lusuh. Sekelebat sesuatu masuk ke dalam pikirannya. Sesuatu yang sangat mengerikan. Mengantarkan wajah seorang perempuan yang sangat teduh. Entah mengapa perempuan itu sangat tenang berumah di dalam hatinya. Lalu perlahan perempuan itu diselimuti darah, kulitnya terkelupas. Di punggungnya, kobaranapi membakar kegelapan. Nyi Nasim terbangun dengan wajah yang pucat. Keringat mengucur di dagunya.
“Mungkinkah ia Ibu, Ki? Yang sering kau ceritakan dalam kidung-kidung yang kau buat?” ia menghela napas. “Aku tahu siapa yang membunuh ibu sekarang!”
Nyi Nasim bersila. Komat-kamit kilat di mulutnya. Angin mengibas nyala cempor di teras. “Ki, malam ini bantu aku menuntaskan kemarahanku. Bantu aku membalaskan kemarahan ibu.”
Semalaman ia mencari pengirim jin yang bersemayam di tubuh istri Kiman. Biasanya tak sulit ia menemukan alamat pengirimnya. Kali ini, sangat sempit ruang yang ia temui. Sering ia kehilangan napas. Tak ada cahaya yang biasa menuntunnya.
Malam itu, menjadi malam yang sangat lenggang dan berat baginya. Ilmunya belum sampai untuk memecahkannya.
“Hal yang paling sulit di atas tanah ini, mengalahkan dirimu sendiri.” Tiba-tiba suara Ki Namru terdengar lirih di kupingnya.
“Apa maksud ucapanmu, Ki?” teriaknya memecah kesunyian.
Kepalanya seperti kawah gunung yang berasap. Kemarahan mengepul ke langit, menjadikan segala pandangan gelap. Lambat laun, ia kembali menjadi setenang danau dengan arus yang tenang. Ia mesti menjadi pohon yang lindap.
“Apa maksud dari bisikkan Ki Namru?” Lama ia pikirkan. Lalu ia menatap seekor semut yang keluar dari lubang. Semut itu menyusur tanah, menuju sebutir nasi di lantai. Semut itu menaiki nasi lalu memutari setiap jengkal nasinya. Tak cukup waktu lama, semut itu mengais nasi itu, dan kembali menuju lubang rumahnya.
Mata kepalanya terbuka. Ia telah memecahkan kendi teka-teki dari ucapan Ki Namru.
Nyi Nasim membersihkan dirinya dari keringat. Mengencangkan samping yang melilit pinggangnya. Seseorang tiba dengan langkah yang gusar, mengetuk pintu berteriak memanggil Nyi Nasim. Kali ini Nyi Nasim sudah siap. Ia tahu Kiman yang tiba.
“Istriku melotot lagi.”
“Mari antar aku ke sana.”
***
Di lawang rumah. Nyi Nasim sudah dinanti istriku. Punggungnya bungkuk. Selangkangan terbuka. Mata melotot, menusuk tajam kepada kami berdua. Bibir tersenyum lebar menunjukkan giginya yang jarang.