“Nginang” bersama Kawan-Kawan Papua
Bagi kawan-kawan asal Papua, nginang (menyepah buah pinang) sudah merupakan tradisi. Jika sehari saja tidak nginang, mereka merasa ada yang kurang. Sejak kecil mereka telah terbiasa nginang. Seperti dituturkan oleh Santos Warnares, “Kami di Papua sana, nginang sudah tradisi toh. Sejak umur dua-tiga tahun kami sudah nginang, Bapak.”
Santos merupakan mahasiswa AMA Dharmala Yogyakarta asal pulau kepala burung cendrawasih di ujung timur Indonesia, tepatnya dari Biak. Bersama kawan-kawan satu asrama di daerah Gedong Kuning, Yogyakarta, ia sengaja mencari buah pinang hingga ke daerah Gamping Kidul, Ambar Ketawang, Sleman, Yogyakarta. Jarak Gedong Kuning-Gamping Kidul kurang lebih 11 kilometeran.
Pada Selasa sore (6/7/2015), Santos bersama lima kawannya yang berasal dari Waropen dan Yapen, Papua, memetik pinang dari beberapa pohon pinang yang tumbuh di kebun milik sastrawan Joni Ariadinata, di daerah Gamping Kidul. Kebun yang ditumbuhi pohon pinang itu terletak di belakang rumah cerpenis—yang salah satu karya terpopulernya adalah kumpulan cerpen Kali Mati (1999).
Mereka memetik pinang dengan menggunakan tangga kayu. Bahkan, karena tangga kurang tinggi, salah seorang dari mereka memanjati pohon pinang yang tinggi menjulang. Pinang yang berhasil mereka petik pun cukup banyak. Mas Joni gembira dengan hasil pinang yang mereka petik, “Wah, banyak juga pinangnya. Kita panen ini!” seru Mas Joni riang.
Saya yang sedang “mondok” di rumah kayu Rumpun Ariadinatan milik Mas Joni, turut antusias dengan kehadiran kawan-kawan Papua yang memetik pinang sore itu. Setelah semua pinang yang mereka petik terkumpul, Mas Joni dan saya mengajak kawan-kawan Papua berbincang di beranda rumah kayu. Topiknya, tentu saja mengenai tradisi nginang.
Saat berbincang, adzan Maghrib terdengar dari beberapa pengeras suara, dari beberapa masjid. Selain tanda waktu shalat Maghrib, pada bulan Ramadhan juga jadi tanda buka puasa. Namun begitu, tidak membuat obrolan kami dengan Santos dan kawan-kawan—yang tidak menjalankan ibadah puasa—terganggu.
“Kalau sambil ngobrol, nginang itu enak sekali. Bisa habis sampai lima belas butir sekali duduk begini saja. Habis satu, ambil lagi. Sampai tidak terasa habis banyak. Nginang juga bikin tidak bau mulut walau tidak sikat gigi, Bapak,” tutur Santos.
“Buah pinang yang paling bagus buat nginang yang bagaimana?” tanya Mas Joni.
“Yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, Bapak,” jawab santos. Salah seorang dari mereka kemudian menunjukan satu butir pinang kepada Mas Joni dan saya untuk memperjelas jawaban Santos.
Dari keenam kawan Papua tersebut, Santos memang yang paling aktif bercerita seputar nginang dan buah pinang. Rupanya, selain memberikan kenikmatan dan kesehatan, pinang juga punya efek samping.
“Tapi, pinang juga bisa bikin mabuk. Kalau mabuk alkohol mungkin hanya puyeng di kepala, kita masih bisa jalan, meski sempoyongan. Kalau mabuk pinang, bisa langsung jatuh begitu saja. Mabuk pinang itu bikin lemas kita punya sendi-sendi,” jelas Santos.
Sambil ngobrol, Santos bersama kawan-kawannya betul-betul menikmati nginang. Saya pun terpancing untuk mencobanya, begitu pula Mas Joni. Karena pemula, saya tidak tahu buah pinang yang bagus buat nginang. Mereka pun memilihkan buah pinang yang pas untuk saya.
Setelah itu, buah pinang dibelah dan kulit bagian luarnya dibuang. Pinang kemudian disepah dengan bunga sirih yang mereka bawa langsung dari tanah Papua, kemudian dicampur dengan sedikit bubuk kapur.
“Jangan sampai tertelan (liurnya). Diludahkan saja, bapak. Kalau tertelan bisa bikin kepala pusing,” kata Santos ketika saya menyepah.
Ketika sepah terlihat memerah di mulut saya, kawan-kawan menertawakan saya, “Wah, sudah merah. Berhasil, Bapak,” kata salah seorang dari mereka.
Saya mengikuti saran Santos untuk membuang cairan liur dari sepah. Akan tetapi, ada sedikit yang tertelan. Benar apa kata Santos. Kontan saya merasa pusing, badan berkeringat, tidak lama kemudian saya muntah. Walhasil, buka puasa hari itu tak ada makanan yang masuk ke perut saya. Minum air putih pun keluar lagi semuanya. Saya baru bisa makan lagi setelah tidur, ketika efek pinang benar-benar hilang, yaitu saat makan sahur.
Namun, saya tidak menyesali nginang bersama Santos dan kawan-kawan, juga Mas Joni. Sebab, bukan efek toksik pinang yang saya kenang, melainkan keakraban kawan-kawan Papua yang bermula dari buah pinang.[] Yogyakarta, 7 Juli 2015