Miftah Nashir, Anak Band yang Rajin Bantu Orangtua
Menjadi personil sebuah band—terlepas dari terkenal-tidaknya band tersebut—barangkali merupakan salah satu mimpi yang paling banyak menghinggapi kepala anak muda. Kehidupan anak band—sebut saja demikian—memang identik dengan riuh tepuk tangan dan popularitas. Tapi, benarkah kenyataannya seperti itu? Jawabannya, tentu akan amat panjang dan beragam.
Lewat tulisan ini, tanpa niat berlebihan, saya hanya ingin menyoroti sisi lain dari kehidupan seorang anak band yang—pada momen-momen tertentu—justru amat akrab dengan gemerlap panggung, lengkap dengan gelegar sound system, riuh tepuk tangan para penonton, hingga minuman beralkohol.
Adalah Miftah Nashir, pemuda kelahiran Bandung, 13 Mei 1990. Dua-tiga tahun ke belakang—setidaknya di kalangan orang-orang yang dekat dengannya—sekretaris sekaligus bendahara Viking Gegerkalong ini dikenal sebagai seorang vokalis sebuah band melodic core yang mulai naik daun.
Milkfloat, demikianlah nama band Nashir saat itu. Sebagai new comer, Milkfloat telah berhasil menarik minat sejumlah kalangan untuk menawari mereka manggung sampai menjadi brand ambassador salah satu clothing ternama di Bandung.
Saat itu, Milkfloat cukup sering tampil dari satu venue ke venue lain. “Umumnya kegiatan pensi (pentas seni) anak-anak SMA,” ujar Nasir di sela perbincangan kami beberapa waktu lalu.
Di Bandung, pensi memang dikenal sebagai batu loncatan bagi sejumlah band yang kini namanya cukup diperhitungkan di belantika musik Indonesia. Band-band “alumni” pensi antara lain—menyebut dua nama—Pas Band dan Rocket Rocker.
Tapi, lain nasib Pas Band dan Rocket Rocker lain pula nasib Milkfloat. Belum terlalu lama band itu berdiri, akhirnya bubar juga.
“Pada akhirnya, persoalan sebuah band tidak menyangkut urusan teknik permainan dan skill personilnya semata. Hal-hal di luar panggung kadang malah jadi penentu hidup-matinya band itu,” tambah Nashir.
Bagi saya pribadi, yang menarik dari Nashir yang anak band—tanpa meragukan kualitas penampilannya di atas panggung—ialah rutinitas sehari-hari yang ia jalani.
Tiap hari, ia membantu Pak Udin—ayahnya—berjualan daging ayam di pasar Gegerkalong: berangkat pagi buta, pulang menjelang zuhur. “Sejak ibu meninggal, saya lebih fokus bantu bapak di pasar dan di rumah. Sore sampai malam, gantian sama Ayu—adik perempuan—saya jaga warung.” tuturnya.
Hebatnya, seluruh rutinitas harian itu dijalani Nashir bahkan sejak Milkfloat mulai cukup sering tampil di panggung-panggung hiburan.
Sebagai anak band, pria yang mengoleksi puluhan sepatu Adidas ini tidak terobsesi untuk tenar serta menjadikan band sebagai sarana mencari uang. “Nge-band mah hiburan wè, bosen di pasar waè, kurang piknik. Hehe…”
Selepas Milkfloat bubar, Nashir tidak sepenuhnya melepaskan diri dari kegiatan nge-band. “Sempat jadi manajer Bougenville, band metal. Tapi akhirnya jadi vokalis juga. Awalnya gak sengaja sih. Dulu ngadain audisi buat vokal, tapi gak dapat yang cocok, ya sudah saya coba. Ternyata diterima anak-anak.”
Ketika ditanya soal prestasi Bougenvil, dengan ringan Nashir menjawab “Setidaknya sejak 2011 kami gak pernah absen di Braga Festival. Dan kalau misalnya mau ngundang, gak apa-apa dikasih nasi bungkus juga. Haha…”
Lagu-lagu Milkfloat maupun Bougenville dapat disimak di Soundcloud.
Kini, di sela kesibukannya membantu usaha sang ayah, Nashir pun “mencari” pekerjaan sampingan dengan berjualan jaket cimol dan membuka jasa angkut barang di Gegerkalong. “Doakan saja mudah-mudahan tawaran tur 10 kota buat Barathum—nama baru Bougenville—bisa terlaksana tahun ini. Saya mah bukan apa-apa tur tèh, ingin hiburan. Bosen di pasar waè.”
Hiburan. Itulah makna nge-band bagi Nashir. Sebuah pilihan yang cukup realistis di tengah kerasnya tuntutan hidup serta sengitnya persaingan industri musik saat ini.[]
Sumber foto: Dokumentasi Miftah Nashir