Merasakan Sensasi KRL Commuter Line di Jakarta
Semenjak tinggal di Jakarta, saya punya hobi baru, naik KRL (Kereta Rangkaian Listrik) commuter line. Sebagai orang daerah, katakanlah orang kampung, naik transportasi semacam itu punya sensasi lain, serasa di luar negeri. Stasiun-stasiunnya lumayan rapi dengan penjagaan ketat, gerbongnya nyaman dengan bangku yang empuk dan ber-AC ditambah LCD TV di tiap gerbong. Perjalanan dengan KRL layaknya piknik bagi saya.
KRL commuter line dioperasikan oleh PT KAI Commuter Jabodetabek, anak perusahaan dari PT Kereta Api Indonesia (KAI). KRL telah beroperasi di wilyah Jakarta sejak tahun 1976, hingga kini melayani rute komuter di wilayah DKI Jakarta, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Lebak, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.
KRL commuter line beroperasi hampir 24 jam. Berbeda-beda di tiap wilayah, ada yang mulai pukul 04.00 WIB atau 05.00 WIB dan berakhir antara pukul 19.00 WIB hingga 23.00 WIB. Di jam-jam sibuk, yaitu pagi dan petang hari di mana orang berangkat dan pulang kerja, KRL selalu penuh sesak. Setidaknya begitulah menurut pengamatan saya dan pengakuan teman-teman pengguna jasa KRL.
Sepupu saya, Citra (26), tinggal di Depok dan bekerja di daerah Jakarta Pusat. Setiap hari ia harus berangkat pukul 05.10 WIB atau paling telat pukul 05.15 WIB dari Stasiun Pondok Cina agar masih dapat gerbong yang sepi. Datang 05.30 WIB itu artinya harus siap berdesak-desakkan. Begitu pun ketika pulang kerja, sampai di stasiun lebih dari pukul 17.00 WIB bersiaplah untuk pulang lebih malam jika tak mau berebut masuk gerbong.
Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) sebagai kota penyangga Jakarta memang menyalurkan banyak tenaga kerja untuk Jakarta. Artinya para pekerja membutuhkan alat transportasi yang cepat, nyaman, dan murah.
Oleh karena itu, KRL menjadi moda transportasi favorit banyak pekerja. Harga tiket yang murah, yaitu berkisar antara Rp2.000—Rp4.000 menjadi alasan utama selain keefektifan waktu. Bayangkan jika menggunakan mobil pribadi atau bus misalnya, akan memakan waktu lebih lama juga lebih mahal. Sepeda motor sebetulnya bisa dijadikan alternatif, tapi hanya bagi yang sabar dengan jarak serta lalu lintas Jakarta yang semrawut.
Sebetulnya ada alternatif lain transportasi bagi warga kota penyangga yang bekerja di Jakarta, yaitu bus APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway). Bus APTB melayani rute Jakarta dengan kota-kota penyangga Jakarta, dengan melewati jalur busway terlebih dahulu. Busnya nyaman dan ber-AC, tapi harganya jauh lebih mahal dibanding KRL.
Saya pernah menggunakan bus APTB jurusan Kalideres–Cikarang, tarifnya Rp15.000 untuk sampai Cikarang. Selain itu jarak satu bus dengan bus lainnya relatif lama sehingga harus menunggu lama untuk bus berikutnya.
Jakarta sepertinya terus berbenah dalam hal transportasi dan pelayanan publiknya. Jadi, mumpung di Jakarta, saya sebagai pendatang dan bukan pekerja, memanfaatkan akhir pekan untuk menikmati layanan Transjakarta atau KRL.
Di akhir pekan alat transportasi umum di Jakarta relatif sepi penumpang. Jadilah saya sengaja berwisata Transjakarta atau KRL. Selain untuk lebih mengenal Jakarta dan kota-kota di dekatnya, saya bisa menikmati gerbong-gerbong lengang dan pemandangan gedung-gedung dari balik jendela. Seperti yang saya bilang, seperti di luar negeri.[]