Fb. In. Tw.

Menyusuri Sisa-Sisa Erupsi Merapi

Indonesia sebagai negara yang memiliki gunung api terbanyak di dunia bagaikan uang logam dengan dua sisi yang berlainan. Satu sisi, kita patut bangga dan bersyukur akan keindahan dan kekayaan alam yang tak terhingga. Sisi lain, gunung api bagaikan bom waktu yang selalu mengintai kita. Tak jarang letusannya mengakibatkan korban jiwa yang tidak sedikit. Begitu pula dengan salah satu gunung api teraktif di Pulau Jawa yang meletus pada 2006 dan 2010 silam: Gunung Merapi.

Kita pastinya masih ingat bagaimana gunung api setinggi 2.968 mdpl ini telah meluluhlantakkan dusun-dusun di sekitarnya. Gunung ini pula yang telah merenggut nyawa lelaki tua yang mencintainya segenap jiwa, Mbah Maridjan. Mbah Maridjan, seorang juru kunci Gunung Merapi, hanyalah salah satu dari ratusan korban tewas akibat bencana letusan itu. Rangkaian letusan pada Oktober-November 2010 tercatat sebagai yang terbesar sejak letusan 1872. Kali ini saya akan menceritakan pengalaman ketika mengunjungi kawasan Gunung Merapi untuk menyusuri sisa-sisa erupsi yang terjadi tepat lima tahun silam tersebut.

Pagi (15/10/2015), matahari sudah tampak perkasa tak sabar mengawal perjalanan saya. Tepat pukul 09.00 WIB saya bertolak dari kawasan Candi Borobudur, Magelang, bersama rombongan karyawisata SMPN 1 Cimahi menggunakan bus. Secara administratif, Gunung Merapi terletak di Daerah Istimewa Jogjakarta dan Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Sleman (selatan), Kabupaten Magelang (barat), Kabupaten Boyolali (utara dan timur), serta Kabupaten Klaten (tenggara).

Waktu yang ditempuh untuk sampai di lokasi wisata Gunung Merapi sekitar 80 menit melalui Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Bus melaju dengan semangat melewati jalan raya dan mulai masuk ke pedesaan dengan kondisi jalan yang mulus. Di sepanjang perjalanan kita dapat melihat kebun-kebun salak. Selain panganan bakpia, daerah Jogjakarta memang terkenal pula dengan hasil kebun salak pondohnya.

Kini bus sudah memasuki Kecamatan Cangkringan. Musim kemarau membuat daerah yang saya lewati tampak gersang, sawah-sawah dan deretan pohon bambu kering menemani perjalanan ini. Tampak pula bungker-bungker—bangunan tempat berlindung dari letusan gunung berapi—berdiri membisu di samping jalan yang saya lewati. Hal ini menandakan bahwa Cangkringan termasuk daerah yang terkena dampak letusan Gunung Merapi. Ketika letusan terjadi, material vulkanik berupa kerikil dan pasir sampai ke daerah ini karena berada pada radius 8 km. Tak heran jika di daerah-daerah sekitar Gunung Merapi terdapat banyak depot pasir yang berkualitas baik. Selalu ada berkah di balik musibah yang Tuhan berikan.

Pukul 10.20 WIB bus akhirnya memasuki gerbang wisata Gunung Merapi. Harga tiket untuk memasuki objek wisata ini adalah Rp 5.000/orang. Gunung Merapi sudah tampak begitu jelas di depan mata. Pintu bus dibuka, udara kering menyeruak, debu menyerbu tubuh. Saya hanya bisa memicingkan mata melihat pemandangan sekitar yang berupa hamparan pasir. Mobil Jeep telah berjajar menunggu kami. Harga paket Merapi Volcano Tour selama dua jam menggunakan Jeep adalah Rp 400.000 untuk satu Jeep dengan kapasitas penumpang empat orang.

Volcano Tour Menggunakan Jeep. (Sumber foto: Tantri)

Volcano Tour Menggunakan Jeep. (Sumber foto: Tantri)

Mesin Jeep dinyalakan, debu membumbung, adrenalin saya siap dipacu. Kita akan merasakan sensasi off road dalam perjalanan ini. Pengunjung disarankan mengenakan kacamata dan masker agar terlindung dari debu. Pada lima belas menit pertama kita akan melihat sisa-sisa bangunan rumah warga yang hancur akibat dasyatnya letusan Merapi.

Jeep berhenti sejenak, pemandu mengajak memasuki sebuah bangunan rumah yang hancur. Bangunan ini dijadikan museum oleh warga sekitar. Di dalamnya berisi foto-foto pascaerupsi, barang-barang, bahkan tulang belulang hewan yang terkena erupsi Merapi. Rumah ini berada di Dusun Petung, berjarak pada radius 7 Km dari Gunung Merapi.

Di dinding terpajang sebuah jam dengan kaca yang retak, jarumnya menunjukkan pukul 00.25. Jam dinding itu menjadi saksi bisu detik-detik awan panas menyerbu dusun ini pada tengah malam tanggal 5 November 2010. Saya merasa ngeri melihat segala yang ada di ruangan ini. Betapa dasyatnya letusan Gunung Merapi hingga menyapu habis rumah-rumah, melelehkan perabotan dapur, dan menghanguskan barang-barang tinggal kerangkanya.

Saksi bisu erupsi Merapi di Museum Merapi. (Sumber foto: Tantri)

Saksi bisu erupsi Merapi di Museum Merapi. (Sumber foto: Tantri)

Perjalanan kembali dilanjutkan. Jeep menerobos kepungan debu di jalan yang berbatu dan berpasir. Tubuh saya kembali diguncang di atas Jeep. Kini saya telah sampai di sebuah tanah yang cukup lapang. Tepat di bibir jurang Kali Gendol terdapat sebongkah batu raksasa. Warga sekitar menyebutnya Batu Alien karena menyerupai muka alien jika dilihat dari salah satu sudut. Menurut pemandu wisata, batu raksasa ini berasal dari perut Merapi, terbawa aliran Kali Gendol kemudian sampai di tempat ini. Tepat di bawah Batu Alien ini pun sebenarnya terdapat sekitar tujuh rumah warga yang tertimbun pasir erupsi.

Lokasi yang akan dituju selanjutnya adalah bungker. Ruangan tempat berlindung di bawah tanah ini begitu gelap gulita, luasnya sekitar 6×10 meter dan dapat menampung ± 40 orang. Di bungker ini pula dua relawan tewas pada saat erupsi tahun 2006. Saya tak dapat membayangkan bahwa dahulu di tempat ini mereka didekap ketakutan dengan suhu yang luar biasa panas. Kematian seakan-akan telah memenuhi udara.

Bungker di Merapi. (Sumber foto: Tantri)

Bungker di Merapi. (Sumber foto: Tantri)

Matahari sudah berada tepat di atas kepala saya. Saatnya mengakhiri tur ini. Jeep kembali melaju menggila di jalanan mengantarkan para penumpang kembali ke tempat parkir bus. Perjalanan menyusuri sisa-sisa erupsi Merapi telah usai, namun perenungan atas bencana itu rasanya tak pernah selesai. Perjalanan yang menggugah kesadaran kita untuk lebih memaknai hidup ini. Kita terkadang lupa bahwa ada yang selalu setia menanti kita: kematian. Lantas, apa yang sudah kita persiapkan untuk kehidupan setelah mati nanti?[]

KOMENTAR

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI dan anggota ASAS UPI. Penikmat sastra dan pencinta alam.

You don't have permission to register