Menyimak Gonggongan Kucing dalam Kepala Sato Reang dari Eka Kurniawan
Lepas menuntaskan hari melelahkan di tempat kerja, saya menikmati hal yang jarang terjadi di Surabaya: senja yang hujan. Di bawah mendung yang tengah saya nikmati perlahan kala itu, seorang pemuda bernama Sato Reang mengajak saya untuk menjejaki perjalanan kisah kanak hingga remajanya yang berloncatan ke sana ke mari. Tentang masa kecilnya yang binal. Tentang pemandangan punggung Ayahnya di atas sepeda yang membawa mereka ke surau. Juga tentang kesibukan Sato Reang mengencingi sudut-sudut kota semasa remaja. Sore yang jadi tidak terlalu syahdu, keluh saya.
12 Desember 2024 malam, hal jarang terjadi lainnya pun hadir di Surabaya. Eka Kurniawan menyambangi perpustakaan dan ruang kolektif C2O untuk membedah nasib si Sato Reang, tokoh cerita dalam buku tipis yang dituliskannya. Tentu saya memutuskan menghadiri diskusi Eka Kurniawan dibanding mengutuk malam-mendung yang memilukan.
“Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong”. Begitulah bunyi dari jagat di mana Sato Reang hidup sekaligus novel setebal 133 halaman besutan Eka kurniawan yang didiskusikan malam itu.
Di awal permbincangan, Eka menyebut sekitar tahun 2016, Eka menerima permintaan untuk menuliskan esai-esai personal. Pada titik itu Eka menengok ulang konsep kesalihan masa kecil beserta pergolakannya. Ia membayangkan kehidupannya di Ibu Kota sementara Ibunya tetap menetap di Pangandaran. Eka mengenang bagaimana tiap kali sang Ibu mengunjunginya di Jakarta, ia melakukan ritual membangunkan di subuh buta untuk melaksanakan ibadah. Pengalaman sentimental mengenai hubungan Ibu dan agama itulah yang menjadi tema esai-esai Eka sekaligus gerbang pembuka terciptanya dunia Sato Reang.
“Sudah saatnya kau menjadi anak saleh” di saat si bocah berumur 7 tahun Sato Reang masih telentang di sebuah ranjang klinik pasca kulupnya dipotong, itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Ayahnya. Sebelum prosesi sunat tersebut, Sato Reang merupakan bocah yang senang pergi ke belakang pasar menyaksikan orang-orang mengadu ayam, atau melihat kuda lumping di hajatan. Bahkan kalau sedang sinting ia juga senang melibatkan dirinya dalam kejar-kejaran bersama kawan-kawannya karena melemparkan ranjau ke dalam angkutan kota.
Selayaknya umumnya seorang bocah, ia tentu pergi ke masjid untuk belajar sembahyang serta mengaji. Apa ia melakukannya karena dorongan nurani seorang bocah? Ia melakukannya karena Ayahnya pergi ke masjid untuk belajar sembahyang dan mengaji. Kakeknya juga pergi ke masjid untuk belajar sembahyang dan mengaji. Konon begitu pula yang dikerjakan Kakek buyutnya. Terentang dari Ayah sang Kakek buyut hingga sejauh silsilah yang ia sudah tak bisa lihat ujungnya.
Melalui dua gesekan kutub “kelakuan bocah” itu, Eka Kurniawan mengajak kita menelaah kembali perjalanan spiritual tiap individu. Apakah kita yang ‘beragama’ berakar dari penemuan personal, ataukah sebatas warisan pembiasaan. Dalam diskusi, Eka pun masih bertanya pada dirinya.
Setelah hari Sato Reang diminta menjadi anak saleh, ia masih seorang bocah yang senang berburu tanah kosong demi tanah kosong. Menggali cekungan tanah bersama kawan-kawannya, lantas mengadu jangkrik. Ia dan kawan-kawannya juga pergi ke masjid untuk sembahyang bersama orang-orang dewasa dan berusaha meneriakan “amin” paling keras dan lantang hingga sarang laba-laba di sudut tembok berayun-ayun. Juga sesekali mencari kesempatan jitu untuk menarik sarung salah seorang kawan di barisan terdekat. Dengan pergi ke masjid, Sato Reang berpikir, paling tidak ia memang anak yang saleh. Hingga pada satu waktu, peristiwa pamungkas terjadi antara Sato Reang dan Ayahnya yang membuat Sato Reang merasa ada tali tak kasat mata menjerat antara lehernya dan genggaman sang Ayah hingga membuatnya bersumpah tidak ingin menjadi anak saleh.
Sepanjang kisah buku cerita tipis ini, kita diminta menyusuri sekelumit lapisan isi kepala Sato Reang yang berporos pada relasi antara agama dan otoritas. Kisah nyeleneh dan padat Sato Reang dengan kehadiran kontras di ujung alur pun dapat kita nikmati berkat gebrakan Eka Kurniawan dalam menitikberatkan bobot cerita dengan gaya penulisan yang lebih sederhana dibanding novel-novel pendahulunya. Menarik juga. Mengenai gaya penulisan tersebut, Eka merasa bahwa ada hal-hal penting yang perlu diceritakan dengan cara sesederhana mungkin.
Dalam “Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong,” Eka tampak ingin orang-orang terganggu dengan pertanyaan semacam apakah kita membutuhkan figur otoritatif dalam mewujudkan ketaatan pada-Nya? Atau versi yang lebih universal di masyarakat, apakah kita memakan nasi karena secara sadar menginginkan nasi ataukah hanya makanan itu yang kita ketahui?
Lalu semisal kita berandai-andai menjelma Sato Reang yang selalu memimpikan kebebasan dari jalan hidup yang sejak awal dibentangkan sang Ayah, apakah kita bisa lantas yakin dalam menentukan pilihan tanpa merasa kehilangan identitas? Ataukah, otoritas tidak terasa hilang bahkan oleh kematian?
Menyitir judul lagu dari Silampukau, “Malam Jatuh di Surabaya”, selepas diskusi hangat berdurasi satu jam itu, malam dan gerimis jatuh bersamaan. Juga sisa-sisa luruhan pertanyaan Sato Reang yang Eka Kurniawan benar-benar tidak ingin seorang diri memusingkan hipotesa semua jawabannya.