Fb. In. Tw.

Menyepi di Curug Kembar

Pasar Cisaat tampak ramai selepas shalat Jumat bubaran. Antrian kendaraan yang padat hingga di depan Polsek Cisaat dan orang-orang tak sedikit pun surut hilir mudik keluar-masuk pasar. Cuaca cukup cerah kala itu. Sehingga tanpa banyak interupsi, kami (Saya, Ajeng, dan Farhan) memutuskan untuk melakukan perjalanan di hari itu juga.

Sebelum menyandarkan tas di tempat peristirahatan kami untuk beberapa hari ke depan, Farhan membawa saya ke homestay milik temannya. Obrolan ringan pun dibuka dengan menyantap teh hangat dan buah mangga. Beruntung sekali kami mampir sejenak, selain homestay-nya yang sangat nyaman, pemilk homestay tak sungkan berbagi pengalaman beberapa perjalananan yang dilakukannya dalam waktu beberapa minggu terakhir ini. Salah satunya perjalanannya ke Curug Kembar.

Seperti biasanya obrolan para pelancong, pengalaman baik dan buruk saat berkunjung ke suatu tempat didedahkan tanpa sedikit pun rambu-rambu. Curug Kembar diceritakannya dengan bersemangat. Namun tiba-tiba saja rasa was-was menggunung di kepala tatkala Dery, pemilik homestay, sempat melihat mencek (rusa hutan) yang berkeliaran di kawasan Curug Kembar. Menurut teori rantai makanan, hal itu berarti jauh di atasnya terdapat kelompok pemangsa lain. Namun, dengan cara tutur yang nyaris naif, ia meyakinkan bahwa perjalanan menuju Curug Kembar akan baik-baik saja. Dengan pikiran yang terasa mengganjal, kami pun saling menatap dan sesekali mengunyah buah mangga yang belum matang benar.

Di tengah obrolan yang sangat masyuk itu, tiba-tiba saja hujan turun deras. Kami agak panik dan rencana awal pun terancam gagal. Benar saja, hingga sore hari hujan tak henti mengguyur Cisaat. Di tengah rasa kecewa seperti itu, kami berbisik-bisik dan merencanakan perjalanan dimulai esok hari. Setelah hujan reda, kami pun bergegas mengemasi barang bawaan.

Kami disambut hangat oleh ayah dan ibu Farhan di pelataran rumah. Tepat di samping rumahnya, empang luas membentang bak kolam renang Karangsetra. Suasana kampung pun cepat terasa akrab bagi saya. Tak terlalu lama berdiam diri di rumah Farhan, setelah beres mandi, kami berjalan-jalan ke Kota Sukabumi. Kami sempat ngopi di jalan R. Syamsudin dan membeli mochi di Jalan Bayangkhara.

Meski tubuh sudah hampir rubuh, ajakan Dery untuk makan malam dengan sajian ikan bakar Ciletuh, sulit untuk ditolak begitu saja. Di tengah rintik hujan yang merecoki atap homestay-nya, kepulan asap berseteru dengan hentakan kartu gapleh yang dilempar pada lantai kayu. Kami pun ramai-ramai menyantap ikan bakar hingga larut malam. Kenyang dengan ikan bakar dan tak tahan berlama-lama dengan bau anyir yang menempel di tangan, kami segera pulang ke rumah Farhan dan mencucinya dengan sabun cuci piring. Malam itu kami sangat lelah. Tanpa banyak bercakap-cakap, kami lekas merebahkan badan di kasur.

Pukul 4.30 pagi saya terbangun oleh suara adzan yang bergema di seluruh penjuru Cisaat. Saya lekas membangunkan Farhan dan Ajeng untuk mengambil air wudhu. Beres sholat, kami gesit mengumpulkan perbekalan dan mengatur durasi yang akan dihabiskan pulang pergi ke Curug Kembar.

Matahari mulai tumbuh di langit sebelah timur, kami menyambangi Pasar Cisaat terlebih dahulu untuk membeli beberapa kebutuhan tambahan sebagai asupan selama perjalanan menuju Curug Kembar. Setelah dirasa cukup, perjalanan pun dimulai. Dengan menumpang angkot merah no. 41, kami meluncur menuju pintu masuk Curug Kembar di dekat kawasan Situ Gunung. Jalur masuk Curug Kembar didominasi oleh perkampungan warga. Di sisi kirinya aliran sungai jernih mengalir deras. Untuk sampai ke Curug Kembar, kami hanya tinggal mengikuti aliran sungai tersebut ke arah hulu.

Curug Kembar masuk pada kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Namun, namanya tak setenar Curug Sawer atau Situ Gunung yang telah dikelola dengan baik. Bisa dikatakan, Curug Kembar adalah alternatif tujuan pelesir cuma-cuma yang bisa diakses kapan saja selagi keadaan memungkinkan.

Pengunjung berpose di Curug kembar. (Foto: Edi Su)

Pengunjung berpose di Curug kembar. (Foto: Edi Su)

Pemukiman warga luput, setelah itu camping ground dan pemondokan kami jejak. Setelah melewati sebuah papan penunjuk jalan, kami jalan mengikuti vegetasi yang lebih lebat. Melalui jalur awal menuju Curug Kembar, kami langsung disuguhi jalan menanjak, tapi tingkat kemiringannya tidak terlalu curam. Tanjakan ini cukup untuk mengeluarkan keringat. Perjalanan kami lakukan dengan pelan. Karena melancong kali ini kami niatkan sebagai temu kangen, maka tak ada ambisi terburu-buru menjejak tanah curug segera.

Di sebuah persimpangan dengan jalur tanjakan paling menantang, kami beristirahat sejenak di sebuah warung untuk membeli kopi dan menyantap gorengan. Tak lupa pula kami bercakap-cakap sebentar dengan pemilik warung menanyakan informasi para pengunjung yang datang hari itu. Nampaknya hari itu para pengunjung cukup minim, dan bisa jadi hanya kami bertiga saja. Setelah cukup untuk beristirahat, kami melanjutkan perjalanan melipir jalan di sisi warung. Benar saja, jalur itu cepat sekali menghubungkan kami dengan jalur utama menuju curug.

Jalur utama menuju curug didominasi oleh tanah basah berlumpur, di sisi kanan jalur mengalir sungai kecil jernih yang secara tak langsung menjadi penunjuk jalan menuju curug. Vegetasi jalur utama ini sangat rapat sekali, banyak tumbuhan yang menghalangi jalan dan beberapa di antaranya berduri. Jalan yang basah tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Selain lumpur yang menempel pada alas sepatu yang memperberat langkah, terdapat pula pacet yang siap menghisap darah  jika kita tak benar-benar awas melihat setiap dahan dan daun-daun yang menyerobot jalan. Meskipun seperti itu, jalur yang kami jejak terbilang landai, bahkan saya tidak menemui tanjakan satu pun.

Baru pada satu jalan sempit melingkar, saya merasa sesat sendiri. Farhan dan Ajeng tertinggal jauh di belakang. Saya pun meneriaki Farhan untuk meminta petunjuk jalan. Tak lama Farhan tiba dan menegaskan, jalur sisa yang harus kami lewati adalah akar pohon yang melintang turun dengan kemiringan yang cukup curam. Bahkan jika dilhat dengan seksama, jalur tersebut berbentuk vertikal tajam menukik. Jalurnya pun hanya cukup untuk dilalui satu orang pendaki. Saya yang pertama menuruni akar pohon tersebut, untuk selanjutnya diikuti oleh Farhan dan Ajeng. Tak jauh dari akar pohon tersebut, sekira 15 meter di bawahnya, suatu tebing curam menanti, didingnya yang berbatu rapuh, membuat nyali sedikit goyah, ada rasa was-was apabila dijejak, dinding tersebut akan ambrol. Tapi beruntunglah di sisi kiri dan kanan dinding tersebut terdapat tambang yang dapat dijadikan pegangan untuk menuruni dinding. Lagi-lagi saya yang turun duluan, dan selanjutnya disusul oleh Farhan dan Ajeng.

Pengunjung menuruni tebing curam menuju Curug Kembar. (Foto: Edi Su)

Pengunjung menuruni tebing curam menuju Curug Kembar. (Foto: Edi Su)

Setelah kami berhasil turun dari dinding tersebut, sebuah sungai dengan aliran deras memotong jalur menuju curug. Namun kami tak memiliki cukup waktu untuk menikmati kejernihan airnya, takut jika hujan turun dan aliran sungai sulit untuk dilalui. Dengan berpegangan pada batu, kami melewati aliran sungai tersebut dengan cepat. Tak terasa, seekor pacet dengan ganasnya menghisap darah di bagian paha. Bagi yang terkena hisapan pacet, tak usah terburu-buru untuk mencabutnya dari bagian tubuh yang dihisapnya, bubuhi saja dengan autan, dengan sendirinya pacet akan terjungkal. Jika dipaksakan dicabut, luka yang membekas dari sisa hisapannya akan menimbulkan gatal yang cukup lama.

Dari jarak sekitar 50 meter dari sungai, pada suatu lembah, gemuruh air nyaring terdengar. Percikannya terasa jauhnya, hingga baju kami cepat basah. Tak ada seorang pun di Curug Kembar, hanya desau angin dan gemuruh air yang bersahutan. Ada cerita mistik mengenai Curug Kembar ini. Konon, Curug Kembar menjadi tempat pembuangan mayat yang tidak diterima bumi. Suatu ketika terdapat gebog (batang pohon pisang ya biasa digunakan dalam ritual pemakaman mayat) terbujur di salah satu sudut curug. Cerita itu menyebar luas di kalangan para pelancong yang tiba ke Curug Kembar. Dan mungkin keangkeran Curug Kembar ada benarnya juga. Curug Kembar pernah memakan korban ketika salah seorang mahasiswa yang sedang meneliti bunga, jatuh menghantam dasar curug dan meninggal seketika di tempat tersebut. Jauh di atas Curug Kembar terdapat beberapa curug lainnya yang patut disambangi, di antaranya Curug Bengkok, Curug Cadas Bilik, dan beberapa lainnya.

Curug Kembar memiliki tinggi kurang lebih 30 meter. Menurut penuturan warga sekitar, tahun 2015 ini Curug Kembar akan dibangun infrastrukturnya untuk memudahkan para pelancong mengkasesnya. Bagi yang ingin mencoba dari jalur pendakian Gunung Gede-Pangrango, Curug Kembar dapat diakses selama 7 jam.  Curug Kembar masih jarang didatangi pelancong. Maka sangat cocok sekali menjadi tempat menyepi bagi siapa saja yang jengah dengan keruwetan kehidupan kota.

Tidak lama waktu yang kami habiskan di Curug Kembar, setelah mengambil poto, kami pun bergegas memutar balik badan. Di tepian sungai yang kami lalui sebelumnya, berjejer rombongan besar yang akan menuju Curug Kembar. Kami bertegur sapa dahulu, dan kembali menaiki dinding berbatu dan akar melintang. Perlahan rintik hujan menerpa tubuh kami. Di tengah hutan yang lembab, kami membuka perbekalan. Bercerita beberapa lamanya mengenang masa-masa berkuliah diselingi derai tawa yang menggema. Hari itu, seperti kami saja orang-orang yang sisa di hutan itu. Rasanya malas untuk pulang ke rumah dalam waktu dekat ini. Kenyang dengan santapan perbekalan, perjalanan pun dilanjutkan kembali. Hujan seperti tertahan sejenak di embun-embun langit. Baru setelah sampai di pemukiman warga, hujan deras menghujam bumi. Kami berleha-leha sejenak, kembali membuka perbekalan. Makan kembali. Meminum teh panas yang dimasak di tungku sederhana dapur warga. Jauh di belakang sana, gemuruh Curug Kembar tak terdengar lagi, tertahan deretan rapat pepohonan hutan. Hanya sepi, dan perlahan kabut tipis turun.

Selamat Ulang Tahun NS. Salam. Makin Keren, ya. 🙂[] Sukabumi, 3 Januari 2015

Sumber foto: Edi Su

KOMENTAR

Penulis lepas. Tertarik pada kajian musik, seni, dan perkotaan. Tinggal di Bandung.

You don't have permission to register