Menyapa Berau yang Sebenarnya
Mendapat kesempatan untuk pergi ke Berau, Kalimantan Timur, dalam program Dikti: Menyapa Negeriku (1-6 Desember 2015), tentunya menjadi nikmat yang luar biasa berharga bagi saya. Siapa yang tidak kenal Berau, sebuah kabupaten dengan kekayaan darat dan laut yang fantastis, dengan luas sekira Provinsi Jawa Timur ditambah setengah Provinsi Jawa Tengah. Berau yang kini beberapa pulaunya (Derawan, Kakaban, Sangalaki, dan Maratua) menjadi destinasi wisata dunia setelah Raja Ampat, Papua Barat, juga turut menjadi sorotan publik akan kandungan batu bara yang melimpah.
Berau memiliki banyak potensi yang tak dimiliki oleh kabupaten lain, dan itu cukup mampu menjadikan kabupaten dengan jumlah penduduk lebih kurang 2.000 jiwa ini, menjadi kabupaten termaju di Indonesia. Namun, nahas, di tengah hingar-bingar pujian publik tentang kekayaan yang dimiliki, pada 2014 Dikti malah mengirimkan beberapa Guru program SM3T (Sarjana Mengajar, Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) untuk ditempatkan di beberapa sekolah di kabupaten tersebut. Ini berarti pendidikan di Berau masuk dalam kategori 3T. Dan salah satu lokasi penempatan SM3T itu sendiri adalah di SMPN 6 Berau, Tanjung Batu Kecamatan Derawan dan SDN 04 Teluk Alulu Kecamatan Maratua.
Tanjung Batu sendiri adalah kampung yang romantis, pusat lalu-lalang orang yang akan pergi ke pulau-pulau lain. Terdapat dermaga sekaligus pusat kegiatan pelatihan layar, siapapun yang berdiri di sana pastilah mendadak melankolis, tersihir pesona laut dan matahari sore. Mirip dengan apa yang digambarkan Chairil dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”. Sementara itu Maratua termasuk pulau dalam daftar pulau terluar NKRI, berbatasan langsung dengan laut Filipina. Pulau yang bila dilihat dari atas berbentuk huruf U atau tapal kuda dan sangat kaya akan persebaran kepiting dan kima. Sebuah tempat eksotis yang pas untuk relaksasi jiwa. Dua lokasi inilah yang menjadi tujuan dari perjalanan Tim Menyapa Negeriku penempatan Kabupaten Berau. Dua tempat eksotis yang menyilaukan pandangan kita dari kondisi sebenarnya tentang tingkat percaya diri masyarakat di sana.
Bagi saya, program ini sendiri sebetulnya bukan sebuah ajang menginspirasi, seperti yang diminta panitia. Tetapi, ini adalah kesempatan luar biasa bagi saya untuk belajar tentang perjuangan, harapan, dan rasa saling percaya pada sesama.
Mulanya, pada perjalanan ke sana, saya ingin sekali mengajak anak-anak belajar bersama dengan cara reading group (sebuah kelompok baca dengan guru sebagai pusat perhatian). Tetapi, ketika sampai di sana terutama setelah melihat alam, kondisi sosial, dan berbagai aspek lainnya, akhirnya pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana membuat suatu hal yang biasa menurut mereka, tetapi luar biasa menurut orang lain. Intinya adalah bagaimana agar mereka mampu mengungkapkan suatu hal yang selama ini terus terpendam. Materi pembelajaran akhirnya jatuh pada bagaimana cara membuat sebuah puisi, skrip dan gambar pada komikstrip, berdasarkan pada harapan tentang anak-anak dan kondisi di sekitarnya.
Masalah utama yang saya dapatkan adalah jelas, rasa percaya diri. Anak-anak di lokasi cenderung tidak percaya diri pada kemampuan diri sendiri. Di SMPN 6 Berau misalnya, anak-anak menjadi sangat antusias ketika diminta untuk membuat sebuah komikstrip, justru ketika diarahkan pada fase proses penciptaan. Mulai dari yang jelek hingga baik. Padahal dari kesemuanya tidak ada satupun sebelumnya yang pandai menggambar apalagi sering membaca komik.
Antusiasme anak-anak mendadak menjadi tinggi, terlebih ketika dibiarkan untuk melakukan apapun yang ada dalam pikiran mereka dengan tangan. Kebebasan ada pada mereka, selama itu memang mungkin untuk dilakukan. Setelah tangan dan pikiran selesai beromantisme, setiap siswa dipersilakan untuk mengutarakan harapan. Setelah semua kukuh dengan harapan masing-masing, kemudian mereka dipersilakan menengok kebutuhan yang ada sebagai penunjang untuk mencapai semua harapan–terutama fasilitas yang dimiliki sekolah dan kampung mereka tinggal.
Persoalan dalam diri ternyata timbul saat mereka harus melihat kenyataan yang sebenarnya. Hasilnya, komik yang mulanya diarahkan agar mereka mampu menciptakan suatu hal yang bersifat membangun, malah justru berakhir pada persoalan klasik masyarakat di daerah tertinggal, yaitu menuntut pemerintah pusat untuk bergerak mengulurkan bantuan. Melalui komik, anak-anak SMPN 6 Berau meminta pada presiden dan menteri untuk turut membantu meredakan persoalan yang sejak dahulu menghantui mereka. Seperti kebutuhan pasokan aliran listrik, buku-buku bacaan, kelas dan fasilitas sekolah yang layak, dan guru-guru penyayang. Persoalan yang sebetulnya sudah sangat sukar ditemukan di kota, ternyata di Berau, tempat dengan kekayaan alam yang melimpah, sangat mudah ditemukan. Hasilnya, komik-komik anak banyak memuat sebuah cerita tentang keluhan-keluhan dan permintaan.
Berbeda dengan SMPN 6 Berau, anak-anak SD 04 Maratua yang sama-sama diminta bercerita tentang kondisi di sekolah, tetapi dalam bentuk puisi, tidak banyak yang menulis tentang sekolah dan cita-cita, kecuali tentang guru. Puisi yang ditulis kesemuanya tentang guru. Bahwa guru adalah pahlawan. Bahwa guru adalah tempat mengadu suka dan duka. Bahwa guru segalanya.
Dari puisi yang ditulis, dapat saya terka bahwa memang keberadaan guru (yang penyayang) di pulau terluar tersebut menjadi sangat urgent. Meskipun sebetulnya ada banyak guru di sana–di antaranya hanya berbekal ijazah SMA–tetapi sulit sekali menemukan sosok guru yang penyayang dan mau mengabdi di pulau terluar, jauh dari hiruk-pikuk arus informasi. Kecuali mungkin para Guru SM3T. Dan itupun, satu tahun pengabdian bagi mereka, sebetulnya sama sekali tak cukup untuk mampu menciptakan generasi yang baik. Tetapi berbagi dan mengabdi setahun tentunya lebih baik daripada tidak sama sekali. Meskipun Kebutuhan akan guru, fasilitas, dan metode belajar yang menyenangkan, serta keberanian untuk memberikan kepercayaan pada siswa dalam melakukan berbagai hal, menjadi kebutuhan jangka panjang.
Pada proses pembelajaran, agaknya saran yang diberikan AS Laksana dalam materi Creative Writing dan fokus pada penciptaan tepat apabila diterapkan pada anak-anak dengan tingkat percaya diri kurang baik. Bahwa dalam penciptaan karya, jelek bukan lagi soal. Sebab jelek adalah langkah awal untuk pembiasaan diri menuju yang lebih baik. Singkatnya, jelek masih bisa diperbaiki untuk lantas kemudian menjadi baik. Sementara itu akan menjadi persoalan apabila anak-anak tidak punya keberanian untuk menciptakan. Sebab sesuatu hal yang tidak pernah ada, tidak akan mungkin bisa diperbaiki. Dan menjadi jelek sebagai langkah untuk menjadi baik, lantas tiba-tiba menjadi pilihan anak-anak, setelah diberikan stimulus tentang bagaimana menciptakan suatu karya. Rasa-rasa yang telah lama terpendam, akhirnya muncul juga. Harapan tentang apapun yang mereka rasakan.
Anak-anak di SMPN 6 Berau dan SDN 04 Maratua Kabupaten Berau, saya pikir sudah mampu menyimpan diri mereka pada posisi pas, dalam proses penciptaan, terutama setelah diberikan rangsangan. Karya-karya yang hadir dari dalam diri mereka, merupakan endapan dari kegelisahan yang tidak mampu diungkapkan. Sehingga ketika anak-anak telah diberikan stimulus untuk merangsang imajinasi, malah yang muncul adalah emosi. Emosi tentang keadaan yang telah bertahun-tahun mereka rasakan tanpa tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Mereka sadar, bahwa mereka pandai berteriak, tetapi teriakan mereka tidak mampu melewati laut, gunung, dan menembus angin. Untuk itu mereka memilih diam, hingga akhirnya, begitu ada kesempatan, semua kegelisahan lantas dicurahkan dalam bentuk puisi dan komik, tanpa ampun, tanpa terkendali.
Gairah rasa percaya diri anak-anak di dua lokasi di Kabupaten Berau hanya perlu disapa. Entah dari sisi gelap ataupun terang. Karena mereka sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang keindahan yang menyilaukan mereka untuk lantas akhirnya mau dan berani menciptakan sesuatu. Setidaknya berharap menjadi sesuatu.[]
Penulis adalah peserta program Menyapa Negeriku penempatan Kabupaten Berau.