Menunggu
Bulan April ini khalayak antusias menantikan Cinta. Cinta ditunggu dan diinginkan dalam setiap benak penggemar film, dilengkapi adegan-adegan serta alur cerita yang direka-reka. Kenangan saling susul dengan nostalgia, dengan cerita-cerita di masa lalu. Ketika Cinta begitu muda dan kita tersenyum simpul mengingatnya. Mengingat bando Bandananya. Mengingat puisi yang dibacakannya. Mengingat adegan menoleh di antara emperan buku di Kwitang berharap Rangga datang menyusulnya. Mengingat hal-hal itu, menunggu menjadi terasa begitu mengasyikan.
Cinta hanya tokoh rekaan dalam sebuah film. Boleh jadi penantian itu hanya milik anak-anak muda tahun 2000-an yang kini sudah beranak dua. Atau penantian itu kini milik anak-anak muda baru. Yang kadung diganggu oleh trailer film lewat ragam promosi yang merasuk. Sehingga proses menunggu kini telah menghampiri setiap orang dengan atau tanpa kenangan yang menyertainya. Sebagai akibat dari waktu yang terus bergerak. Dari sebuah proses yang belum menemukan momentumnya.
Menunggu bukan hanya milik Anda yang mungkin akan bersuka cita bertemu Cinta. Menunggu juga milik mereka untuk mendapatkan kepastian suka maupun duka. Keluarga korban penculikan Anak Buah Kapal (ABK) di Filipina adalah bagian dari orang yang ingin mendapatkan kepastian itu. Menunggu membuka jalan lempang nan panjang yang menyiksa. Kecemasan dan kekalutan menghantui malam-malam istirah mereka dalam menunggu. Harapan dan sikap pasrah, silih berganti mengisi relung terdalam pikiran dan perasaan yang berkecamuk.
Menunggu juga jadi milik orang-orang yang ingin mendapatkan keadilan. Keluarga korban kejahatan HAM ’98 yang selalu berdiri di depan Istana Negara setiap hari Kamis adalah orang-orang yang menunggu. Penjelasan serta proses keadilan terus dituntut untuk mengetahui dan mendapatkan penyelesaian atas kejahatan HAM di tahun-tahun kelam itu. Menunggu telah menjadi rutinitas yang membuat keluarga korban tegar dan bersemangat selama bertahun-tahun. Sebuah kekuatan yang terus menaungi mereka untuk terus menagih keadilan meski penantian tidak kunjung menemukan kepastian.
Waktu memang mengikat apa dan siapa saja yang hidup di bumi ini. Entitas waktu bukan hanya berupa jam atau hari atau tahun. Tetapi juga berupa kejadian-kejadian, kebahagiaan, kesedihan, kelokan-kelokan yang memaksa apa dan siapa saja tunduk dan pasrah melewatinya. Waktu bukanlah sesuatu yang menjalar di luar tubuh kita. Waktu telah menjadi darah dan urat nadi yang akan terus setia menemani kita.
Maka seyogyanya tidak ada kata benci atau suka dalam menunggu. Menunggu tidak hanya menguji puncak kesabaran siapa saja. Atau menghasilkan kesetiaan serta sangka positif hingga lambat laun tumbuh sebagai harapan. Menunggu tidak tumbuh di luar batas dan jangkauan kita. Menunggu hanya bagian dari kejadian-kejadian yang setiap saat kita alami. Penghubung antara kesedihan dan kebahagiaan. Jeda yang tidak pernah menjadi jeda. Jeda yang tidak disadari sebagai bagian dari suka maupun duka itu sendiri.
Selamat menunggu kedatangan Cinta. Selamat menunggu hadirnya kebahagiaan bagi keluarga korban penculikan ABK di Filipina. Selamat menunggu kepastian hukum bagi keluarga korban kejahatan HAM ’98. Sebab ketika momentum itu tiba di hadapan kita, ketika periode penantian digerus waktu dan berlalu, menunggu akan berubah menjadi abu, perasaan menunggu hanya akan menyisakan bayang-bayang semu.[]