Menulis Tidak Ada Bedanya dengan Bermain (2)
Sambungan dari Menulis Tidak Ada Bedanya dengan Bermain
Pengalaman Pertama Menerbitkan Buku
Di usia dua puluhan aku tidak memiliki teman dalam kancah kesusastraan. Aku tidak terlibat dalam kelompok sastra mana pun di Istanbul. Satu-satunya agar karya pertamaku bisa diterbitkan adalah dengan cara mengikuti sayembara sastra khusus naskah yang belum pernah diterbitkan. Aku mengikuti sebuah sayembara sastra dan aku keluar sebagai juara. Sebagai pemenang, karyaku akan diterbitkan oleh penerbit ternama. Namun saat itu keadaan ekonomi Turki terpuruk. Pihak penerbit mengontrak novel pertamaku namun mereka menunda penerbitannya.
Tentang Membicarakan Novel yang Sedang Dalam Proses Pengerjaan
Aku tidak pernah menceritakan novel yang tengah kukerjakan. Dalam acara formal, ketika seseorang bertanya tentang apa yang tengah aku tulis. Aku memiliki jawaban andalan, “Novel yang sedang kutulis mengambil latar Turki kontemporer.”
Realisme Sosialis Vs Eskperimentalis
Para pengarang yang merasa memiliki tanggung jawab sosial, para pengarang yang beranggapan bahwa sastra harus mengabdi kepada moralitas dan politik, bagiku mereka terlalu datar, tidak eksperimental. Pengarang-pengarang yang berpandangan semacam ini biasanya tinggal di negara berkembang, mereka menyia-nyiakan bakat yang mereka punya hanya untuk melayani tanah air mereka. Aku tidak ingin menjadi pengarang semacam itu. Ini disebabkan oleh bacaanku sewaktu muda. Aku menikmati karya-karya Faulkner, Woolf, Proust—aku tidak pernah berharap menjadi seorang penulis realisme sosialis seperti Steinbeck dan Gorky. Karya sastra yang dihasilkan pada dekade 60 dan 70 sudah ketinggalan jaman. Aku hadir sebagai generasi baru.
Novelis adalah…
Seorang Novelis sejatinya adalah seorang yang menempuh jarak dengan penuh kesabaran, begitu sabar, begitu perlahan, seperti semut. Seorang novelis memberikan kesan mendalam kepada pembaca bukan dengan visi romantik bukan pula dengan visi-visi gaib, ia menanamkan kesan mendalam itu dengan kesabarannya.
Teknis Menulis Novel Ala Pamuk
Membagi sebuah novel ke dalam beberapa bab sangat penting bagiku. Ketika tengah menggarap sebuah novel dan aku mengetahui garis cerita secara keseluruhan, aku akan membaginya ke dalam beberapa bab, lalu aku memikirkan detail-detail yang harus aku kerjakan dalam tiap bab tersebut. Aku tidak selalu menulis novelku secara runut. Ketika buntu, ketika tak ada lagi sesuatu yang bisa kutuliskan, aku akan menulis semauku, menuliskan apa saja yang terlintas dalam benakku. Adakalanya aku menulis novel secara berurutan dari bab satu hingga bab lima dan ketika aku mulai jenuh aku langsung melompat ke bab lima belas.
Keluarga
Ibuku khawatir dengan keputusanku untuk menjadi penulis. Namun ayahku mentolerir keputusanku. Sebab pada masa mudanya ia bercita-cita menjadi seorang penyair, ia menerjemahkan puisi-puisi Valery ke bahasa turki, namun ia menanggalkan cita-citanya karena diejek oleh kawan-kawannya, orang-orang kelas menengah atas.
Keluargaku tidak menerima keputusanku menjadi novelis, namun menerima keputusanku menjadi seorang pelukis. sebab mereka berpikir bahwa aku tidak mungkin menjadi pelukis penuh waktu. Sebagian besar keluargaku adalah insinyur. Kakekku adalah insiyur, ia kaya karena membangun jalan raya. Paman dan ayahku tidak seberuntung kakekku, namun mereka pun mengenyam pendidikan di jurusan teknik, di Universitas teknik Istanbul. Mereka pun berharap aku kuliah di jurusan teknik, dan aku mengiyakan keinginan mereka. Namun semenjak aku menunjukan bakat seniku, mereka berpikir bahwa aku lebih cocok untuk mejadi arsitek. Ini menjadi solusi yang memuaskan semua pihak. Kemudian aku kuliah di jurursan arsitektur, namun dipertengahan kuliah arsitek aku berhenti melukis dan memutuskan untuk menulis novel.[]
Sumber: The Paris Review
Sumber foto: www.aksam.com.tr