Menjelang Senja di Toko Buku Merpati
Bau kertas berpadu aroma kayu menyambut setelah saya melewati pintu kayu yang cukup lebar. Memasuki ruangan, sepi menyergap. Sore di toko buku buhun itu begitu sepi. Kontras dengan suasana di luar yang merupakan salah satu kawasan niaga di Garut itu.
Saat menghampiri etalase buku, Ibu Asih menghampiri saya. Ia lantas menyapa dengan santun sekaligus mengembalikan kesadaran saya dari suasana sepi yang tiba-tiba sempat menyergap, “Peryogi buku naon, Cép?”.
Ibu Asih Setiasih nama lengkapnya. Perempuan yang kini telah berusia 56 tahun itu adalah pemilik sekaligus pengelola Toko Buku Merpati. Ia mewarisi toko buku tersebut dari Bapak Sapingi dan Ibu Enung, yang tidak lain merupakan kedua orangtuanya sendiri.
Saya pun kemudian menyampaikan maksud kedatangan ke toko buku miliknya itu. Bahwa, kedatangan saya pada hari itu (18/9/2015) adalah untuk mengajaknya berbincang tentang toko buku miliknya. Gayung bersambut, Ibu Asih cukup antusias.
Kedatangan saya ke Toko Buku Merpati bukan pertama kali. Seperti pada kunjungan saya sebelumnya, selama kurang lebih setengah jam berada di toko buku, saya dan istri saya saja pengunjung yang melihat-lihat buku. Tak ada lagi pengunjung lain yang masuk ke toko buku.
Satu-persatu saya amati buku-buku yang ditata rapi di etalase. Hampir semua buku yang terdapat di etalase merupakan buku-buku fiksi dan nonfiksi berbahasa Sunda. Dan, buku-buku fiksi yang terpajang di etalase itu bukan karya sembarangan, melainkan karya penulis kahot sastra Sunda, seperti D.K. Ardiwinata, Ahmad Bakri, Samsoedi, hingga Aan Merdeka Permana.
Ada sebuah meja lengkap dengan empat kursi bambu di ruangan tengah toko buku tersebut. Ia lantas mempersilakan saya duduk di sana. Saat kami telah duduk, Ibu Asih mulai menceritakan Toko Buku Merpati dalam bahasa Sunda, “Merpati mah tos aya ti tahun 1960an. Dikawitan ku Bapak sareng Ibu. Bapak Sapingi sareng Ibu Enung. Mung kapungkur mah seueurna buku pelajaran.”
Menurut Ibu Asih, baru lima belas tahun terakhir buku-buku fiksi mulai dipajang di Toko Buku Merpati. Buku-buku yang dipajang itu kebanyakan merupakan titipan dari penerbit dan penulis yang menerbitkan karyanya sendiri (self publishing).
Keberadaan Toko Buku Merpati didasari oleh kecintaan keluarga Ibu Asih pada buku. Bukan sekadar untuk mencari keuntungan dari penjualan buku-buku. “Kaleresan wargi-wargi seneng kana ieu (buku, penulis),” tutur Ibu Asih, yang ternyata merupakan keponakan alm. penyair Wing Kardjo ini.
Tergugah oleh suasana sepi, dan mengingat buku yang terpajang di etalase kebanyakan ditulis dalam bahasa Sunda, saya pun menanyakan siapa yang biasanya membeli buku di toko buku tersebut. Ibu Asih tersenyum tersipu mendengar pertanyaan tersebut.
“Seueurna mah wargi sareng guru basa Sunda. Teras murangkalih sakola. Ari ditaros ku Ibu, seneng buku basa Sunda? Kanggo remedial, saurna. Teu ngartos da basa Sundana ge, walerna téh,” spontan kami pun seuri konéng.
“Upami lebaran raména mah. Biasana anu aruih ti luar pulo sok ngagaraleuh buku, kanggo oleh-oleh, cénah,” lanjut Bu Asih.
Selain buku-buku berbahasa Sunda, di Toko Buku Merpati juga saya menemukan susunan koran dan majalah. Di sini majalah mingguan berbahasa Sunda Manglé dapat kita temukan. “Kapungkur mah salain Manglé aya oge Sunda Midang sareng majalah Cakakak. Mung tos teu terbit deui. Majalah Cakakak ge mung kiat dugi ka dua belas edisi,” jelas Ibu Asih.
Sorot matahari menjelang senja menyusup kaca jendela besar yang bertuliskan nama toko buku. Cahayanya yang menembus kaca mempertegas suasana sepi Toko Buku Merpati.
Kami pun mengakhiri obrolan di dalam bangunan yang telah berdiri di Jalan Ciledug No. 51, sejak akhir tahun 1950an itu.
Saat mengakhiri catatan ini, saya membayangkan sedang duduk di ruangan tengah Toko Buku Merpati menjelang senja, membaca buku kumpulan carpon (carita pondok) Ahmad Bakri sambil menikmati secangkir kopi Garut.[]