Menjaring Bulan: Eksplorasi Penciptaan Site-Spesifik Performance
Menonton seni pertunjukan bagi saya selalu memberikan pengalaman baru. Terutama jika pertunjukan tersebut menawarkan eksplorasi dan eksperimen dalam penciptaan karyanya. Seringkali banyak ide-ide dan imajinasi tak terduga yang bisa direnungi kembali. Itu pula yang terjadi ketika menonton pertunjukan Menjaring Bulan bergenre site-spesifik di NuArt Sculpture Park, Bandung (28/7/2015).
Menjaring Bulan merupakan sebuah karya kolaborasi seniman-seniman muda hasil workshop intensif selama lima hari yang digagas oleh Bengkel Tari Ayu Bulan. Sebanyak 26 seniman pertunjukan mewakili 12 kota di Indonesia serta 3 negara ASEAN, telah terpilih mengikuti program bertajuk Sasikirana Dance Camp ini.
Sejumlah mentor yang mumpuni dari latar belakang seni tari, seni rupa pertunjukan, dan teater turut andil membekali materi, konsep, dan referensi terkait pertunjukan bergenre site-spesifik performance ini. Mereka di antaranya: Eko Supriyanto, Jecko Siompo, Melati Suryadarmo dan Wawan Sofwan.
Pertunjukan ini digelar di ruang terbuka. Koridor, taman, ampiteater, dan instalasi-instalasi menjadi ruang pertunjukan. Sejumlah situs coba dibaca oleh pemain dengan wacana maupun sejarah yang terkait dengan situs itu; ada yang menyatakan, merayakan, mengacaukan, mengkritik lokasi, fungsi sejarah dan arsitektur. Sehingga karakteristik arsitektur tidak lagi menampilkan dirinya, melainkan ada konotasi baru yang hadir di sana.
Setiap pemain berusaha menampilkan tontonan yang menitikberatkan pada eksplorasi dan eksperimen, terutama dalam pengolahan situs lewat kerja koreografi. Situs serta koreografi pemain bersaing menarik perhatian penonton, sehingga semua yang terjadi berpotensi bermakna. Penonton pun diajak bergerak dari satu situs ke situs lain.
Dimulai di sebuah situs koridor. Tampak seorang perempuan bergaun gelap menjuntai sebatas paha, berdiri dengan wajah datar. Di sekitar kakinya, tergeletak cermin seukuran jendela. Gesturnya bergerak perlahan, seperti memendam gejolak perasaan. Pada momen tertentu cerminnya retak terinjak. Tatapannya tajam tertuju pada cermin itu.
Berlanjut ke situs koridor bagian atas, perempuan lain disorot cahaya. Rentetan lampu gantung mencipta suasana berbeda. Tidak murung seperti sebelumnya. Gerak-gerik tubuhnya lebih terbuka, penguasaan ruang pun lebih leluasa. Ketika ia berjalan menuju ujung koridor, menyeruak bunyi koak-koak. Kesadaran penonton terhentak. Seketika gerombolan muncul dengan bermacam-macam ikonis gestur binatang. Mereka bergerak cepat, menuju ruang lain.
Rupanya, selain mencipta peristiwa. Gerombolan binatang ini berfungsi untuk menggiring penonton ke situs lain. Strategi instruksi pada penonton itu cukup cerdik. Penonton bergerak secara organik, dituntun oleh peristiwa, bukan instruksi verbal. Ketika peristiwa mampu berkomunikasi dengan sublim, instruksi didaktis dari pertunjukan menjadi bersifat laten. Sehingga tanpa disadari, penonton berhasil ‘didisiplinkan’. Dalam hal ini, sebenarnya peristiwa bisa menguasai penonton secara penuh.
Namun, strategi serupa itu tidak cukup konsisten. Di beberapa bagian, penonton banyak dikontrol oleh elemen di luar peristiwa. Penonton banyak dibatasi ruang geraknya oleh para kru yang bersiaga. Sehingga penonton tidak leluasa memilih sudut pandang yang diinginkan.
Alur peristiwa terus bergerak, kini menuju situs ampiteater. Di sana, terdengar musik yang mencerminkan rasa budaya suatu masyarakat. Bunyi auditifnya cukup akrab, menuntun pada kesadaran geografis. Di panggung berbentuk lingkaran, tampak perempuan menari Saman. Di bibir panggung, seorang laki-laki mengintai dan mendekati dengan koreografi modern. Musik berubah. Nuansa tradisi dan modern berbaur.
Bersamaan dengan itu, di ruang lain. Tampak lelaki menari salsa lengkap dengan kostumnya. Namun ada yang berbeda, kali ini tarian salsa menggunakan properti golok di tangan kanan dan kirinya. Gerakan salsa yang berkonotasi lembut dibenturkan dengan penanda kekerasan.
Benturan dualistik kultural dalam beberapa peristiwa sangat terasa. Benturan suasana, bentuk ungkap, wacana, budaya, dan penggunaan simbol-simbol ditampilkan dengan beragam cara.
Pengolahan situs berakhir di instalasi bambu karya Joko Dwi Avianto. Instalasi tersebut menyembulkan imaji bulan sabit, dalam sudut tertentu seperti keranjang besar. Situs dan koreografi berinteraksi dengan intensitas tinggi lewat komposisi individu maupun grouping. Interaksi di antara keduanya mengafirmasi bahwa sebenarnya seni rupa dan tari bisa saling bersinergi. Saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain.
Beberapa peristiwa di atas hanya bagian kecil dari seluruh pertunjukan. Masih banyak peristiwa lain yang hadir. Berceceran di mana-mana. Cenderung berdiri sendiri. Seolah tidak membangun kesatuan yang utuh antar peristiwa.
Penciptaan site-spesifik performance merupakan eksplorasi mendalam dari sebuah situs agar penonton bisa turut memahami dan menafsirkan situs tersebut dengan konotasi baru. Saya berharap bisa mendapat imaji dan fokus kuat dari semua rangkaian peristiwa. Tetapi larangan penonton untuk bergerak leluasa membiaskan tujuan pertunjukan, kecuali hanya menunjukan pengekangan.
Pengekangan terhadap ruang penonton dapat mengganggu dalam menangkap keutuhan hubungan asosiasi, imajinasi atau aktualisasi pemain atas situs yang dijadikan ruang peristiwa. Serba dibatasi. Penonton, setidaknya saya, kesulitan menjadi arkeolog situs dan peristiwa yang berlangsung.
Sebagai sebuah eksplorasi. Pertunjukan Menjaring Bulan sudah berupaya mengaktifkan atau melibatkan narasi situs. Meskipun belum bergerak jauh. Misalnya, memikirkan strategi bagaimana caranya mengaktifkan penonton berinteraksi dengan situs dan peristiwa yang tersaji. Sehingga tidak terjebak pada umumnya pertunjukan di dalam auditorium yang cenderung pasif.
Ruang atau situs tidak hanya cukup dikepung atau dijarah secara eksotis dengan bangunan peristiwa yang khas. Jika peristiwa hanya sekedar pamer akrobatik koreografi, maka kemungkinan situs tersebut hanya menjadi topeng. Pertunjukan bisa terseret pada sebuah ajang penjajahan situs oleh paket estetika tertentu.
Penciptaan site-spesifik performance memang menuntut kerja yang kompleks. Ini tahap yang tepat bagi seniman-seniman muda dalam mengeksplorasi hubungan antara unsur-unsur seni dengan wacana, budaya dan sejarah yang terkadang diabaikan. Saya kira ini patut diapresiasi. []