Mengolah Dunia
Hampir semua orang mengenal Haji Saleh dan Kakek dalam kisah “Robohnya Surau Kami” karya AA Navis. Kedua tokoh itu menjadi model bagaimana ketakwaan “tidak (terlalu) bernilai” di hadapan Tuhan. Hal yang sama juga terjadi pada Kawit dalam kisah “Malaikat Tak Datang Malam Hari” karya Joni Ariadinata. Amal-amalan akan gugur ketika kemanusian tidak diberi pupuk dan disiram.
Kedua kisah itu menjadi contoh bahwa beribadah bukan jalan tunggal menuju Tuhan. Ada hal yang sama pentingnya. Ada hal harus juga berjalan beriringan dengan keimanan. Seorang manusia tidak bisa mengolah yang sakral dalam hidupnya. Ia perlu ingat bahwa manusia didaulat sebagai khalifah di muka bumi dan perlu juga untuk mengolah hal-hal yang profan, yang duniawi.
Sejurus dengan itu pula, rasanya menarik melihat apa yang dikutip Mangunwijaya dari ajaran Zen. Ia menjelaskan konsep ajaran Zen yang memperlihatkan kaitan antara yang profan dan yang sakral dan fase-fase perkembangan kesadaran penyempurnaan diri.
Bagini: pertama-tama seseorang mencari sapi; ia menemukan jejak sapi itu; kemudian menemukannya sendiri; menangkapnya. Sapi itu dibawa pulang sambil berjalan di sampingnya, kemudia ia tunggangi sapi itu sambil berdendang-seruling.
Seseorang itu begitu bahagia sehingga sapi itu ia lupakan, lupa sama sekali, lupa pula pada segala-galanya. Seseorang itu pulang ke sumber-sumber air dan kemudian ia masuk dan berada di tengah-tengah masyarakat untuk menolong orang lain.
Dalam ilustrasi itu kita dapat melihat bahwa seseorang itu mula-mula mencari agamanya dan kemudian ia menemukannya. Setelah ia menemukannya, ia asyik dengan Tuhannya, semacam jatuh cinta tapi sebenarnya lebih dari itu.
Ketika ia mencapai taraf spiritualitas yang tinggi, ia tidak lantas berdiam diri di gunung yang tinggi, menikmati Tuhannya sendiri. Tidak. Ia turun ke lembah-lembah, ke kampung-kampung, dan kota-kota. Tak ada yang lain, selain menyebarkan kebaikan.
Sebagaimana ajaran Zen, “(seseorang) tidak di pengasingan diri dalam pertapaan ataupun tempat sunyi, tetapi justru di tengah dunia, di antara masyarakat ramai selaku penolong sesama”.
Tentu saja, setiap agama kiranya menghendaki hal yang demikian. Lihat saja Ar-Rad ayat 12 dan Kitab Kejadian 1:28. Sekurang-kurangnya ayat dan pasal itu menghendaki seorang manusia mengelolah dunia untuk dirinya dan sesamanya. Mungkin begitulah idealnya seseorang yang beragama, seseorang yang memiliki spiritualitas.
Mungkin, hanya kemungkinan, apabila segalanya dipandang dengan kepentingan yang-sakral, (mungkin, hanya kemungkinan) kekerasan atas dalil agama dihalalkan dan kemanusiaan malahan dipinggirkan.
Jika seperti itu, (mungkin, hanya kemungkinan) kekerasan adalah ibadah, dan menghormati sesama manusia bukanlah sebuah amal. Mungkin itulah yang terjadi sekarang-sekarang ini.
Terakhir izinkan saya mengutip sebuah ayat Al Quran yang kiranya berkaitan pula dengan pembicaraan kita ini: “Hai orang-orang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan salat Jumat, (padahal engkau dalam keadaan sibuk mengurus urusan dunia) maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Al-Jumu’ah ayat 9-10).[]
Ilustrasi: news.discovery.com