Menghadapi Keseriusan dengan Santai
Pengantar diskusi PERSENTRASE #5 26 Oktober 2017
Pertama kali membaca judul buku ini, mungkin akan timbul berbagai macam pertanyaan, seperti belajar lucu dengan serius itu seperti apa? Apakah belajar menjadi orang lucu dengan teori yang serius? Atau, belajar lucu dengan sungguh-sungguh?
Setelah membaca isi buku ini, rupanya lucu itu sesuatu yang bisa meredam hal-hal serius. Serius tidak perlu selalu membuat dahi berkerut. Hal serius jika dikemas dengan lucu akan lebih santai. Namun, tetap serius menyikapinya.
Sama halnya ketika saya membaca buku ini. Beberapa kali saya tergelitik dengan puisi yang ada dalam buku Belajar Lucu dengan Serius (Gramedia, 2017). Dari judul saja bisa membuat pembaca tersenyum-senyum. Judul-judul puisi yang dihadirkan, beberapa menggunakan bahasa yang tidak asing didengar saat ini, sehingga terkesan lucu. Seperti Tongsis, Selfie, Baper, LDR, Sesuatu Banget, Lebay, dan Rempong.
Penyair mencoba menyampaikan fenomena dan permasalahan yang terjadi saat ini melalui bahasa yang kekinian, dibumbui dengan candaan-candaan di dalamnya. Hal itu membuat pesan yang ingin disampaikan oleh penyair bisa lebih menyenangkan ketika dibaca. Bisa dilihat dari penggunaan bahasa, puisi tersebut menggunakan bahasa yang ringan dan tidak asing didengar oleh masyarakat saat ini. Misalnya dalam puisi berjudul Di Toko Peti.
DI TOKO PETI
“berapa harga peti ini, Cik?”
Tacik pemilik toko yang bulu matanya
Lentik menyebut harga dan menjelaskan
Bahwa petinya dari kayu terbaik, dilengkapi
Tivi, Kamar mandi dalam, AC, dan kopi
Pembeli dijamin senang nan tenang
Oh, murah sekali, batinnya
“beli satu saja. Untuk saya sendiri nanti
Saya bayar dengan seluruh kekayaan saya.”
Seusai kesepakatan, peti dibawanya pulang
Dipanggul sendiri di atas bahu kiri
Terbayang suatu hari kelak jika tiba saatnya
Ia akan masuk kedalamnya. Masuk sendiri
Dan akan keluar-masuk semaunnya sambil
Tersenyum bahagia
Pada bait kedua terdapat paradoks, di mana puisi tersebut menggambarkan seorang yang memesan kematian dengan fasilitas lengkap dan nyaman baginya. Dan, dibelinya dengan seluruh kekayaan yang dipunyainya. Kita tahu bahwa kematian tidak bisa dibeli dengan apa pun, bahkan dengan kekayaan yang dipunyai. Selain itu, puisi tersebut mengahadirkan pesan bahwa kematian itu akan tiba kapan saja, maka kita harus mempersiapkan kematian dengan baik. Seperti pada puisi diatas, di mana si aku lirik mepersiapkan kematiannya dengan membeli peti yang difasilitasi lengkap. Lalu aku lirik membawa petinya sebagai pengingat bahwa kematian akan tiba kapan saja, sehingga aku lirik di dalam puisi tersebut akan masuk ke peti dengan sendirinya saat waktunya telah tiba.
Selain puisi di atas, ada satu puisi lagi yang menarik bagi saya, yaitu puisi Di Depan Mural Bergabar Bung Penyair.
DI DEPAN MURAL BERGABAR BUNG PENYAIR
Selamat pagi Jogja kata
Kota ibu kota kata-kata
Pada masa pembangunan ini
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Sebab kesadaran adalah pelaksanaan kata-kata
Selamat pagi, Jogja kata
Apakah kau ingin hidup seribu tahun lagi?
Jika iya, hanya ada satu kata: Lawan!
Yang menarik dari puisi ini, penyair mengahadirkan kalimat-kalimat yang berasal dari penyair-penyair besar dan puisi yang diambil pun sudah banyak dikenal orang. Dari sekian banyak puisi yang ada, penyair bisa menyatukan puisi-puisi tersebut sehingga menjadi satu puisi. Puisi di atas bisa dirasakan seakan-akan aku lirik ingin berbicara dan menyampaikan kepada penyair-penyair, hari ini nama-nama penyair hebat ini masih hidup.
Puisi-puisi dalam buku ini mebuat hal-hal yang sulit bisa disajikan dengan mudah dan dengan pembawaan yang santai. Buku ini mengajarkan bagaimana kita menyikapi permasalah yang ada dengan ringan. Tidak perlu menambah masalah dengan berkerut-kerut dahi. Dengan pikiran yang tenang dan ringan memudahkan menyelesaikan masalah.[]