Fb. In. Tw.

Mengenang Sitor Situmorang

Lelaki tua itu duduk beralaskan rumput. Matanya memandang ke tengah danau yang luas. Danau dengan air biru di hadapannya. Sesekali ia menghela napas. Perasaan bahagia tampak nyata dari tatap matanya. Lelaki itu tengah menikmati suasana tanah kelahirannya.

Lelaki itu dengan semangat menceritakan proses kelahiran puisi-puisinya. Alam, petani, hembusan angin, danau, padi, sawah adalah sedikit dari inspirasinya. Inspirasi yang melahirkan puisi-puisinya. Puisi-puisi yang dekat dengan keseharian.

Dalam adegan lain, lelaki tua itu berujar bahwa waktu kelas 2 setingkat SMP ia membaca dan senang pada novel Max Havelaar karya Multatuli. Maka diterjemahkannya Sajak Saijah untuk Adinda ke bahasa Batak.

Lelaki dalam adegan di film dokumenter yang dibuat Yayasan Lontar itu tak lain, Penyair Danau Toba: Sitor Situmorang.

Sitor Situmorang merupakan salah satu dari Angkatan 45 yang dipelopiri Chairil Anwar. Angkatan 45 dalam salah satu pernyataannya menegaskan, bahwa mereka merupakan ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa sastra Indonesia merupakan bagian dari modernisme sastra dunia.

Sitor Situmorang merupakan sastrawan yang mendunia. Sitor berhasil meresapi semangat kesusastraannya. Sitor mampu menerjemahkan kehidupan ke dalam karya-karyanya.

Karya-karya Sitor sebagian bercerita tentang kampung halaman. Karya-karya Sitor telah memperkaya dunia kampung halamannya dengan sastra yang mendunia. Bahkan membawa kampung halamannya ke pentas dunia. Seperti raganya yang pernah singgah di beberapa kota dunia: Singapura (1942), Amsterdam (1950-1951), Paris (1952-1953). Sejak 1984 Sitor tinggal di Leiden dan Den Haag, Belanda.

Demikianlah Sitor, penyair yang mulai menulis sajak pada tahun 1948 dengan puisi pertamanya “Kaliurang” yang dimuat Majalah Siasat.

Pada masa kemerdekaan, Sitor pernah menjadi wartawan Suara Nasional (1945), Waspada (1947), Berita Nasional, dan Warta Dunia. Menulis sejak SMA. Sitor menulis puisi modern dengan mengambil bentuk-bentuk tradisional. Sitor kembali kepada bentuk syair, pantun, dan soneta.

Lagu Gadis Itali

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati

Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur

1955

Puisi tersebut mengambil bentuk seperti pantun. Sitor mencetuskan bentuk pantun baru. Aturan-aturan pantun menjadi jungkir balik di tangan Sitor. Kita juga dapat merasakan hal yang sama pada puisi berikut.

The Tale of Two Continents

Satu rasa dua kematian
Satu kasih dua kesetiaan
Antara benua dan benua
Tertunggu rindu samudra

Dua kota satu kekosongan
Dua alamat satu kehilangan
Antara nyiur dan salju
Merentang ketidakpedulian tuju

Semoga kasih tahu jalan kembali
Pada pintu yang membuka dinihari
Ke mana angin membawa diri

Kekasih, semoga kau
Dapat kepenuhan cinta dalam aku tiada
Terpecah dua benua, suatu kelupaan di sisik samudra.

1953

Penyair “Malam Lebaran” itu seolah ingin menegaskan bahwa sastrawan tidak harus terjebak kepada semangat pembaruan yang tidak perlu. Ia telah mencontohkannya dengan kembali ke bentuk lama: Pantun. Penyair kelahiran Harianboho, Samosir, Tapanuli Utara, Sumatra Utara, 2 Oktober 1924 itu menunjukkan bahwa sastrawan dapat bergerak leluasa ke belakang, ke masa sastra Melayu klasik. Sitor telah mengolahnya menjadi bentuk baru.

Pantun, syair, dan soneta sudah ada dalam pelbagai khazanah Nusantara. Sitor menggunakan bentuk-bentuk tersebut. Sitor seolah ingin mengatakan bahwa ia seorang sastrawan yang mempunyai asal usul. Seseorang yang memiliki kampung halaman. Sitor tidak hanya memiliki akar tempatnya kembali, namun ia berhasil mengembangkannya.

Sitor penyair yang dekat dengan Soekarno. Ia aktif di gerakan politik. Pernah menjadi ketua Lembaga Kebudayaan Nasional/LKN (1959-1965), anggota Dewan Nasional, anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, dan anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (1961-1962). Lebih dari 200 sajak telah dihasilkannya.

Bukunya yang sudah terbit: Pertempuran dan Salju di Paris (1956) kumpulan cerita pendek; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk prosa yang terbit tahun 1955-1956. Peta Perjalanan (1976) kumpulan sajak; mendapat Hadiah Puisi DKJ tahun 1978 untuk buku puisi yang terbit tahun 1976-1977.

Sastrawan yang pada 2010 menolak Penghargaan Achmad Bakrie dan hadiah uang tunai Rp 250 juta itu, juga menulis esai, lakon, dan menerjemahkan beberapa karya sastra asing. Dia pun menulis puisi dalam bahasa asing.

Bukunya yang lain: Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1956), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Angin Danau (1982), Jalan Mutiara (1954), Pangeran (1963), Sastra Revolusioner (1965), dan Sitor Situmorang Seorang Sastrawan ’45 Penyair Danau Toba (1982).

Pagi ini, Ahad, 21 Desember 2014 kabar duka tiba. Sastrawan Sitor Situmorang berpulang. Sitor meninggal di kediamannya di Apeldoorn, Belanda. Selamat jalan, Bung Sitor! Salam untuk Multatuli, ya.[] Depok, 21 Desember 2014

Sumber foto: idwriter.com

KOMENTAR

Kontributor tetap buruan.co. Guru SMPN Satap 3 Sobang dan Pemandu Reading Group "Max Havelaar" di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.

You don't have permission to register