Mengenang 40 Hari Denny Sakrie
Pada 3 Januari 2015, dunia musik Indonesia dikejutkan dengan meninggalkan Denny Sakrie, penulis dan pengamat musik. Kepergiannya banyak meninggalkan cerita, khususnya buku “100 Tahun Musik Indonesia” yang tidak jadi diterbitkan.
Kiprah alm. Denny Sakrie atau yang akrab dipanggil Densak bermula ketika ia masih duduk di bangku SMP, ketika itu ia menulis beberapa catatan musiknya yang dimuat pertama kali di media Makassar, Sulawesi Selatan.
Karir Densak di dunia musik patut kita apresiasi. Sebagai penulis musik, ia pernah bekerja sebagai kontributor tetap Kompas, majalah Tempo dan majalah Rolling Stone. Beberapa tulisannya juga kerap terbit di Suara Pembaruan, Republika dan lain-lain.
Sebelum meninggal,Densak sempat mengucapkan selamat ulang tahun kepada sahabatnya Fariz RM.
Uniknya, sebagai seorang pengamat musik ia justru tidak mahir dalam bermain musik. Kalau kita lihat dalam dunia sepakbola, mungkin kita sudah tidak asing dengan coach Jose Mourinho. Pelatih “The Blues” Chelsea sekarang yang mahir merumuskan strategi, tapi tidak bisa bermain sepakbola.
Menginjak hari ke-40 meninggalnya Densak, Askomik (Asosiasi Komunitas Musik Indie Kreatif) dan beberapa media partner seperti KOIN (Kepedulian Orang Indonesia), komunitas Kamar Musik Nusantara menggelar acara untuk mengenang “Sang Kamus Musik Berjalan Indonesia” yang bertajuk “Mengenang Denny Sakrie” di cafe Qi Lounge, Jakarta (20/2).
Acara dimulai pada pukul 14.00 dengan sesi diskusi. Dalam diskusi tersebut, Gatut Suryo mengatakan bahwa tak ada lagi selain DenSak yang bisa mengkritisi dengan pedas dunia musik Indonesia, bahkan kritikan Densak menuai ketidakterimaan beberapa musisi.
Untuk menciptakan sosok seperti DenSak, Gatut Suryo selaku ketua Askomik menekankan bahwa perlu kerjasama pemerintah dalam hal pencapaian bagi musisi Indonesia. Pencapaian tersebut di antaranya mengenai royalti, kesejahteraan musisi, payung hukum dan juga penghargaan terhadap musisi legenda.
“Seorang Chrisye, musisi besar dengan seabrek karyanya dan penghargaan, masih banyak yang mengabaikannya. Dari mana biaya Chrisye sejak dia masih sakit sampai dia meninggal? Itulah yang ingin kami kerjakan ke depannya,” tutur Gatut sambil mengisap rokok dan melepaskan kancing bajunya.
Selain itu, menurut Gatut, dengan adanya komunitas musik seperti Kamar Musik Nusantara dan komunitas lain di Indonesia sudah merupakan bentuk apresiasi atau gerakan bagi musik Indonesia dengan menggelar event serta diskusi yang mereka adakan.
“Tidak ada lagi musisi yang punya nama besar, berjasa pada negara, kemudian hidupnya berakhir dengan kehilangan hak yang semestinya didapatkan sesuai UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, pasal 87.” tegas Gatut.
Setelah sesi diskusi berakhir, beberapa penampilan band indie sebagai tribut kepada almarhum Densak diantaranya Juwita, Zi Factor, Van Java, Eletric Cadilac, Abracadabra, The Disco, Cinta Ramlan dan lain-lain.
Adapun penampilan yang ditunggu penonton adalah aksi dari duo gitaris ternama Indonesia, yaitu Dewa Budjana dan Tohpati, yang baru tampil selepas Isya. Penampilan mereka serasa menghipnotis sejumlah pengunjung Qi Lounge Cafe dengan jari-jarinya yang piawai memainkan alat musik gitar.
Dewa Budjana dengan gitar Parker Play yang dibalut ukiran Saraswati pada bagian badan gitar sebagai gitar andalannya, sedangkan Tohpati membawa gitar akustiknya. Mereka membawakan dua lagu instrumen. Cocok untuk dibawakan pada malam hari untuk mengenang Densak dengan melodi yang dibawakan sangat harmonis dengan suasana cafe.
Acara baru selesai setelah sesi talkshow yang diisi oleh Triawan Munaf, Bens Leo, Aldo Sianturi, Andre Opa, Adib Hidayat, Yudhi Buster, David Karto dengan pemandu acara yang dibawakan Buluk Superglad dan Uga Tatto.[]
*Penulis, wartawan kini tinggal di Jakarta
Sumber foto: Usman Nurdiansyah
RALAT:
– Buku karya alm. Denny Sakrie jadi diterbitkan dan telah siap diluncurkan.
– Alm. Denny Sakrie juga mampu memainkan hampir semua alat musik.
(Sumber: Mike Hendrawati, istri alm. Denny Sakrie)