
Mengawal Internasionalisasi Bahasa Indonesia
Seminar Politik Bahasa yang diselenggarakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) pada hari kedua, Jumat (5/6/2015), menyajikan tiga sesi seminar dan satu sesi diskusi panel.
Judul catatan saya kemarin “Mengawal Bahasa Indonesia Menuju Dunia Internasional” dipikir-dipikir kurang pas. Oleh karena itu, catatan hari kedua Seminar Politik Bahasa ini saya juduli “Mengawal Internasionalisasi Bahasa Indonesia”, dengan harapan supaya dapat lebih mewakili kegiatan yang sedang saya ikuti.
Pada hari kedua, kertas kerja yang disajikan berkisar pada unsur-unsur pendukung internasionalisasi bahasa Indonesia. Mulai dari bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia, unsur humor sebagai gejala kebahasaan, hingga beragamnya bahasa yang terdapat di Indonesia wilayah timur.
Tampil sebagai penyaji pada sesi pertama di hari kedua, atau kelima secara keseluruhan, adalah Prof. Dr. Syafsir Akhlus, M. Sc., yang disebut Prof. Dr. Rusdi sebagai Noam Chomsky-nya Indonesia karena ia merupakan pakar di bidang ilmu kimia. Pada penyajian yang dimulai pukul 08.30 WIB dan dipandu oleh sastrawan Abdul Hadi WM ini, ia menyampaikan kertas kerja “Bahasa Melayu sebagai Pendukung Internasionalisasi Bahasa Indonesia.”

Prof. Dr. Syafsir Akhlus, M. Sc. saat menyajikan kertas kerjanya, Jumat (5/6/2015). (Foto: Yopi Setia Umbara)
Seperti telah kita ketahui, bahwa bahasa Melayu diusulkan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai bahasa nasional Indonesia pada tahun 1916. Sepuluh tahun kemudian, M. Tabrani mengusulkan penggunaan nama baru untuk bahasa nasional Indonesia, yaitu bahasa Indonesia, yang kemudian disetujui pada Kongres Pemuda Indonesia, 2 Mei 1926.
Terlepas dari hasil kongres bersejarah itu, sehubungan dengan upaya internasionalisasi bahasa Indonesia, Prof. Dr. Syafsir Akhlus, M. Sc. menyatakan, “Sebagai bahasa modern dengan penutur tak kurang dari 300 juta, bahasa Indonesia sangat potensial menjadi bahasa internasional.”
Apalagi jika mengingat, “Bahasa Melayu telah lama dikenal dan memainkan peran istimewanya sebagai bahasa internasional. Keistimewaannya itu disebabkan oleh persebarannya yang luas di Asia,” seperti ditulis pada kertas kerja Guru Besar Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Kepulauan Riau ini.
Setelah itu dilanjutkan sesi keenam dengan penyajian kertas kerja “Identifikasi Konflik dan Ancaman Disintegrasi Melalui Gejala Kebahasaan: Studi Kasus Humor di Indonesia” oleh Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), yang dimulai pukul 09.45 WIB. Sesi ini dipandu oleh Dra. Yeyen Maryani, M.Hum. dari Badan Bahasa.

Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana (kiri) saat menyajikan kertas kerjanya, Jumat (5/6/2015). (Foto: Yopi Setia Umbara)
Dalam penyajiannya, Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana mengupas sejumlah humor etnis yang berkembang di masyarakat Indonesia. Sejumlah humor etnis itu digolongkannya ke dalam dua jenis, yakni humor distorsi bahasa dan humor gagasan.
Humor distorsi bahasa berangkat dari perbedaan performa linguistik yang ditunjukkan masing-masing bahasa. Sedangkan pada humor gagasan, terlihat stereotipe atau kebiasaan etnis minoritas yang dianggap negatif bagi etnis kebanyakan.
Atas penelitiannya terhadap kasus humor di Indonesia itulah ia mengungkapkan, “perbedaan bahasa (daerah, red.) di masyarakat jika tidak dikelola dapat menimbulkan konflik.” Namun begitu, “di balik performa linguistik yang terdapat pada humor gagasan tersimpan nilai kearifan lokal suatu daerah,” lanjutnya. Ia pun menegaskan, “Jika ingin membina bangsa lewat bahasa, perlu dipelajari teks-teks humor di masyarakat. Bahasa dan sastra adalah alat paling jitu untuk mendeteksi perubahan-perubahan di masyarakat.”
Penyajian dari Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana yang dibumbui humor etnis ini berakhir pada pukul 11.25. Peserta kemudian istirahat untuk makan siang, dan shalat jumat.
Setelah istirahat, pada pukul 13.15 dilanjutkan sesi ketujuh dengan penyajian “Bahasa-Bahasa di Indonesia Wilayah Timur sebagai Penopang Internasionalisasi Bahasa Indonesia” dari Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, Guru Besar Universitas Khairun. Sesi ini dipandu oleh Drs. M. Muhadjir, M.A. yang tampil penuh semangat.

Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim saat menyajikan kertas kerjanya, Jumat (5/6/2015). (Foto: Yopi Setia Umbara)
Pada penyajiannya Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim lebih menyoroti fakta sosiolinguistik di wilayah timur Indonesia. Pertama, tingkat diversitas bahasa di wilayah timur indonesia sangat tinggi. Kedua, bahasa Melayu Lokal menjadi lingua franca. Dan, ketiga, lebih dari separuh bahasa di Indonesia tersebar di timur.
Sementara itu dalam upaya menopang internasionalisasi bahasa Indonesia ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemetaan ulang vitalitas bahasa etnis berdasar sebaran, daya hidup, dan tingkat diversitas. Kedua, pemetaan luasan dan cakupan penggunaan kolokuial Jakarta dan Melayu Lokal. Dan, ketiga, Upaya internasionalisasi bahasa Indonesia.
Seperti di hari pertama, setiap selesai pemaparan kertas kerja dari penyaji, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan dua metode. Pertama, cara umum, yaitu peserta bertanya secara langsung. Dan, melalui layanan pesan pendek dan aplikasi Whatsapp yang dikirimkan ke nomor telepon panitia.
Agenda hari kedua ditutup dengan Diskusi Panel Reformulasi Politik Bahasa Indonesia. Berperan sebagai panelis diskusi panel ini adalah Dr. Sugiyono, Kepala Perlindungan dan Pembinaan Badan Bahasa. Pada diskusi panel ini peserta diajak menyumbangkan saran dan gagasan untuk membuat kebijakan nasional kebahasaan Indonesia.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
MSH
Terima kasih buruan.co.
lukman
terima kasih laporanmu, bung Buruan. Informatif bgt, membuat saya terbelalak.haha
dhani rohimat
Ini merupakan wacana yg harus terus disebarluaskan, jgn bhenti pada diskusi saja, harus scra sporadis di kumandangkan dlm berbgai dlm berbgai spectrum kehidupan di ind