Fb. In. Tw.

“Mengasah Lidah” di Pesantren Al-Fatah

Sehabis isya. Tetabuhan marawis dari atas panggung yang dirias oleh pot-pot kembang tetangga, background bekas kegiatan entah kapan yang masih terlihat sisanya. Tetabuhan yang membuka malam itu menjadi riuh, sorak-sorai kegembiraan dari seisi ruangan memecah mula malam di ruang yang sederhana.

Al-Fatah5

Tapi, keriuhan itu berhenti sejenak ketika suara seorang hawa tiba-tiba melengking di tengah hening “sholaatun bissalaamil mubiin… linuqthotit ta’yiini…  yaa ghoroomi,” Ah, saya tidak bisa membayangkan indahnya suara perempuan itu. Beberapa detik kemudian apresiator yang berkopiah serta berjilbab rapi di seberang panggung pun mengikuti suara hawa itu, lebih dari lima puluh kepala ikut melagukannya, mengikuti lengking elok itu, “sholaatun bissalaamil mubiin… linuqthotit ta’yiini…  yaa ghoroomii,” seperti suara ketulusan yang dititipkan Tuhan bagi siapa saja yang mendengarnya. Begitu khusuk sampai bulu kuduk tak mampu merunduk, begitu riuh membuat malam jadi teduh di tengah hujan yang gaduh.

Kemudian MC yang bercelana sarung, berbaju koko, disertai sorban di kepala itu, riang gembira memulai pembacaan acara, tapi ada yang heran dengan pembukaannya, bukan bahasa Sunda atau Indonesia yang ia katakan, melainkan bahasa Arab dan bahasa Inggris, yang pasti menurut ketua pembina acara tersebut, Ustadz Arif, menyebutkan bahwa acara yang dilaksanakan pada Rabu, 18 Maret 2015, itu bernama “Musabaqah Khitabah Al-Mimbariah” sebuah perlombaan “mengasah lidah” alias pidato dengan bahasa asing yang diadakan setiap enam bulan sekali di Pesantren Al-Fatah, sebuah pesantren nun jauh di ujung Kabupaten Bandung, tepatnya di Kecamatan Kertasari, Desa Cikembang.

Al-Fatah4

Barangkali untuk pesantren modern semisal Darussalam Gontor, Daar El-Qolam, atau Darunnajah, pemakaian bahasa asing tersebut sudah sangat biasa. Dengan konsep salafi yang diterapkan di Pesantren Al-Fatah, rasa-rasanya perlombaan yang diikuti 30 peserta tersebut menjadi unik. Barangkali inilah yang disebut Pesantren Posmodern, sebagaimana Focault (1977) bilang bahwa, “Power and knowledge are mutually supportive; they directly imply one another”. Keterkaitan antara kekuasaan (dalam hal ini bahasa asing) menjadi pengikat dalam pengembangan ilmu pengetahuan kepesantrenan.

Ada percampuran yang sifatnya historis-tradisional dengan kekuasaan bahasa. Tetapi itu bukan berarti buruk dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terlebih dalam ilmu agama. Ketika pesantren-pesantren salaf lebih kuat sisi bahasa daerahnya, Pesantren Al-Fatah mencoba melabrak itu semua dengan percobaan-percobaan yang memungkinkan bisa memasuki dunia hari ini (dunia yang asing) dengan bahasa asing bagi santri walsantriyah-nya. Minimal melabraknya di daerah sendiri, toh Pesantren Bata-bata Pamekasan,  Al-Khoirot Malang,  Krapyak Yogyakarta,  Pesantren Buntet,  juga sudah melakukannya sejak dulu.

Menurut salah satu dewan Juri, Ustadz Ucu, “Perlombaan ieu téh kanggé bekel sareng eunteung maranéhna ka payun, boh di masyarakat atanapi dirina sorangan (Perlombaan ini untuk bekal dan cermin mereka ke depan, baik di masyarakat atau dirinya sendiri),kelakarnya.

Ya, bahasa akan menjadi penting kapan dan di manapun. Tanpa bahasa, manusia tidak akan tahu sejauh mana dia bisa mengenali orang lain. Terlebih dengan lebih mendalami bahasa asing akan sangat berguna dalam perkembangan keilmuan seseorang baik disadari ataupun tidak. Dengan perkembangan keilmuan yang selalu berpegang pada dunia barat, jelas bahasa asing akan sangat berpengaruh. Dan tidak ada salahnya menggunakan bahasa asing itu untuk belajar public speaking syariah.

Di sela-sela perlombaan, sesepuh pesantren, Kiai Ubu, juga mengatakan harapannya, “Semoga setelah keluar dari pesantren santri-santri bisa membawa manfaat untuk masyarakat, dengan dibiasakannya berdakwah, berlomba, maka persaingan pun tidak akan takut untuk dihadapi oleh santri semua.”

Al-Fatah2

Malam kian riang dengan berbagai macam penampilan dari peserta yang berusia Tsanawiyah, Aliyah, dan Umum itu. Ada peserta yang memohon kepada juri untuk membawa teks yang dititip kepada temannya karena lupa. Ada juga peserta yang berduet dan ketika salah satu temannya beraksi, yang satu lagi malah mengganggu. Justru di situlah letak belajar yang menggembirakan bagi para peserta. Ketika grogi telah hilang di hadapan banyak orang, seseorang sangat mungkin untuk bisa menjadi pembicara yang handal. Persiapan yang tidak lebih dari sebulan, bahkan ada yang dua hari bukan halangan untuk berani.

Demi mengasah keberanian pula mereka rela untuk malu. Kegiatan ini memang tidak seistimewa eventevent lomba apapun yang berskala besar seperti di kota-kota. Tidak ada panggung yang besar dengan konsep lighting warna-warni, cukup karpet yang dipinjam dari gudang masjid dan bangku sekolah yang dijejerkan.

Barangkali ini hanya bagian kecil dari sekian banyak kegiatan yang luput terperhatikan di daerah-daerah terpencil di negeri ini, di mana sebuah peradaban telah dibangun oleh orang-orang yang tidak tahu-menahu kabar riuh kota-kota besar beserta gemerlap gedung dan mallnya. Mereka hanya berbuat untuk menggali dan mengembangkan diri dengan kesederhanaan dan kemauan yang dimiliki.

Wassalam[]

Foto:  M. Romyan Fauzan              

KOMENTAR

Penyair, aktor, dan fotografer partikelir. Pengelola Perpustakaan Rubaiyat di Cikembang, Kertasari, Kabupaten Bandung.