Fb. In. Tw.

Mengapa Kita harus Mudik

Sekali saja saya pernah mengalami lebaran jauh dari kota kelahiran. Saat itu saya teramat penasaran. Bagaimana rasanya berjarak dengan suasana hari raya di kampung halaman, yang kadang begitu-begitu saja, yang sesekali disergap bosan. Saya ingin menerbitkan rasa kangen itu. Sekaligus membuktikan apakah benar berlebaran di kampung orang begitu dihindari karena hanya menyisakan kesedihan.

Tentu keluarga keberatan dengan keputusan saya itu. Momen hari raya Idul Fitri dianggap bukan momen percobaan. Keluarga gigih berseru bahwa di luar sana, orang-orang rela berdesak-desakan, tidur di terminal, mengeluarkan ongkos lebih, serta bermacet-macetan menempuh perjalanan panjang hanya untuk pulang berlebaran. Namun saya bersikukuh. Untuk meyakinkan dan menenangkan saya berjanji akan pulang sehari setelah lebaran.

Dua hari sebelum lebaran. Saya masih baik-baik saja. Menjalankan rutinitas seperti biasa. Perasaan saya masih biasa-biasa saja. Keinginan untuk mengubah keputusan masih pada batas enggan. Meski dari kawan-kawan dekat di kampung mulai menanyakan kapan saya pulang. Meski setiap membuka media sosial didominasi oleh serba-serbi mudiknya kawan-kawan. Saya tetap bergeming.

Bukan saya tidak ingin bertemu dengan Ibu atau saudara-saudara. Bukan tidak terbersit bahwa masakan di rumah adalah masakan terbaik hari raya lengkap dengan suasana yang ceria dan bahagia. Tentu diam-diam bayangan semacam itu menyelusup timbul tenggelam.

Sehari sebelum lebaran kampung rantau mulai hiruk. Orang-orang hilir mudik mengantar makanan dari tetangga ke tetangga, dari kerabat hingga kerabat jauh. Benar-benar ramai. Orang-yang bekerja di luar pulau, di ibukota, di kota-kota besar mulai berdatangan. Wajah- wajah yang sebelumnya tidak saya kenal mulai menyapa, memperkenalkan diri. Sanak saudara keluarga yang saya tinggali di perantauan mulai bertanya mengapa saya memilih tidak pulang.

Pada titik itu diam-diam saya menyesal.

Saya yang terbiasa jauh dari rumah. Jarang pulang. Jarang bertemu sanak saudara yang tak terhitung jumlahnya, telah luput dan lupa. Bahwa hanya pada momen lebaran semua sanak saudara yang jarang bertemu itu akan berkumpul bertukar kabar. Pada hari yang hanya setahun sekali itu tali silaturahim akan terus terikat, setidak-tidaknya bagi saya yang kurang gaul ini.

Ketika suara takbiran berkumandang dengan lantang, saya sepenuhnya sadar telah keliru dalam mengambil keputusan. Sungguh terlambat. Sungguh malam itu adalah malam lebaran paling panjang, malam lebaran paling tidak menyenangkan. Meski saya dikepung oleh suasana bahagia keluarga tempat saya tinggal. Saya malah merasa terasing. Saya dilingkupi perasaan aneh dan ingin segera meluncur pulang.

Di perjalanan saya begitu riang. Ada pesona yang menunggu dan ingin segera saya temui. Di atas sepeda motor saya tak henti bernyanyi. Sedikit tak sabar tapi bahagia. Sambil membayangkan punggung tangan Ibu, peluk hangat kakak perempuan, rajukan -minta uang- ponakan, serta rumah yang terbuka penuh tetangga dan sanak saudara.

Sambil terus melajukan sepeda motor saya melempar senyum pada siapa saja. Meski saya dan Anda tahu, suasana jalanan ketika mudik begitu kental dengan aroma perang yang terkadang dekat dengan kehilangan; panas, penuh polusi, macet tak berkesudahan, ingin berkendara cepet-cepetan. Perang yang akan berakhir dengan sebuah kemenangan. Berlebaran di kampung halaman.

Selamat Mudik Tuan dan Puan. Utamakan keselamatan. Tetap tenang mengukur jalan.[]

KOMENTAR
Post tags:

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

Comments
  • lukman a sya

    saya suka membaca. sialny saya suka tak pedulikan waktu. pertanyaan saya mengapakita harus bertanya mengapa kita harus mudik? aya aya wae. Tapi ya menulis itu obat darting juga.

    10 Februari 2017

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register