Mendengarkan Pink Floyd Hari Ini
Semua bermula dari kemuakkan anggota band terhadap penonton di In the Flesh Tour 1977, terutama di Montreal Olympic Stadium ketika Roger Waters (basis) meludahi penonton yang terlalu berisik di dekat panggung. Malam harinya Roger berbicara dengan produser Bob Ezrin dan teman psikiatrinya mengenai kecemasan dan keinginan untuk mengisolasi diri dari dunia luar dan itu terwujud dalam sebuah album konsep mewah berjudul The Wall.
Berisi duapuluh enam materi lagu, The Wall bagi saya adalah standar keren sebuah album musik. Dengan kompleksitas musik, eksplorasi tema, visual yang mengagumkan (dikerjakan Gerald Scarfe), sampai pertunjukan panggung yang rumit membuat saya seolah-olah sedang menonton opera klasik Cina atau drama klasik Yunani.
Pink sebagai tokoh imajiner dalam album ini adalah sebuah kegilaan. Ia merasa seakan-akan terlempar begitu saja di dunia—pada faktisitas-faktisitas yang terlampau pahit dan menyakitkan: kecil sebagai yatim karena ayahnya mati ketika Perang Dunia ke-2, ibu yang overprotective, sekolah keparat yang membuatnya semakin terasing, pernikahan yang gagal, kehampaan akibat ketenaran sebagai rockstar, sampai narkoba yang awalnya dikira bisa mengobati rasa sakit dan alienasi, malah membuatnya numbness—ditambah pemerintah dan masyarakat yang menjadikannya palu untuk membangun atau meruntuhkan tembok.
Distorsi realitas membuat individu Pink terpecah-belah dan ini berpengaruh pada fragmentasi psikologisnya. Otaknya mulai korslet, jiwanya sakit, dan akhirnya jatuh sinting.
Pendek kata, kesakitan fisik dan psikologis Pink adalah potongan batu bata sebagai bahan untuknya membuat tembok. Ia terpaksa memisahkan diri dari dunia yang kepalang brutal, dari berbagai macam relasi tidak sehat antara Pink dengan fenomena, negara, masyarakat, masa lalu, bahkan dengan dirinya sendiri yang kian menghilang—meninggalkan tubuh busuk dengan hati becek di antara tembok yang tinggi menjulang.
Lebih jauh lagi, sebagai sebuah album musik The Wall berusaha untuk menguji, atau katakanlah menantang ide kebebasan individu, yang sebenarnya hanya omong kosong karena selalu direduksi berbagai wacana. Pereduksian kebebasan individu dalam arti penghargaan terhadap pengalaman eksistensial, bisa dibilang kuat secara struktural maupun kultural.
Berdasarkan The Wall, setidaknya ada tiga pereduksian kebebasan individu yang saya temui: hubungan antar generasi (dalam simbol mother), pendidikan (dalam simbol teacher), dan negara (dalam salah-satu lirik Mother dan simbol hammer di akhir album).
Banyak kritikus musik beranggapan bahwa lagu “Mother” dalam The Wall hanya sebatas cinta tulus ibu kepada anaknya. Saya kira sebenarnya mereka hanya terbuai dongeng kanak-kanak sebelum tidur. Walaupun lirik lagu “Mother” adalah dialog antara ibu dan anak, ada hal lain yang bisa kita dapat dari lagu tersebut.
Apa yang saya pahami dalam “Mother” adalah sosok ibu yang overprotective terhadap anaknya. Ini terlihat jelas dalam setiap lirik yang dinyanyikan Gilmour sebagai jawaban ibu. Misalnya dalam lirik berikut:
“Mamma’s gonna keep baby healthy and clean,”
Mother dalam lagu ini adalah sebuah otoritas. Ia memegang kendali bagaimana atau ke mana anaknya akan diarahkan. Termasuk pada pengertian healthy dan clean. Ia ingin menjaga anaknya supaya senantiasa healthy dan clean menurut definisinya sendiri, bukan definisi anak tersebut.
Sejauh mana seorang ibu dapat mengerti apa yang terjadi pada anaknya sulit dilacak. Seperti yang saya alami ketika dibanding-bandingkan dengan anak orang lain, atau mungkin dengan saudara kandung sendiri. Ini menjadi sebuah paradoks tersendiri. Apa yang dianggap healthy baginya bisa berarti tidak bagi anak. Begitupun sebaliknya. Hal tersebut terjadi karena perbedaan persepsi dan zaman yang kurang lebih berpengaruh pada kerangka berpikir seseorang.
Apa yang terjadi adalah communication-gap antara sang ibu dan anak. Atau kita bisa menyebutnya sebagai konflik antar generasi: orang tua selalu menganggap orang muda tidak memiliki cukup pengetahuan dan kemampuan tanpa kehadiran mereka. Pikiran seperti ini akan berlanjut pada tahap di mana orang tua membebankan orang muda dengan menganggap mereka adalah pewaris kekayaan, nilai, bahkan sebuah model kebudayaan tertentu. Orang muda yang tak sejalan dengan keyakinan tersebut akan dianggap sebagai anak durhaka dan pembangkang. Seolah-olah orang muda tidak bisa mencari dan membentuk kekayaan, nilai, dan kebudayaan mereka sendiri.
Selanjutnya, jika keduanya telanjur saling mengobjekkan dan memaksakan kondisi ideal satu sama lain, maka bukan suatu hal yang patut dicurigai jika kebebasan salah-satu individu (atau generasi) menghilang. Dalam konteks ini Pink kehilangan kebebasan individualnya.
Tidak hanya hubungan antar generasi, pendidikan juga ikut serta dalam merampok kebebasan individual Pink. Ketika mendengar Another Brick in the Wall, pt. 2 kita akan dikejutkan dengan lirik “We don’t need no education,” di bagian awal lagu. Hadirnya nuansa disko yang berat sekaligus renyah menambah ketajaman lirik radikal yang tanpa ketakutan menentang struktur pendidikan yang mapan.
Di video klip untuk lagu ini, kita akan menemukan sebuah drama di mana guru terus memarahi muridnya, memukul pantat Pink kecil dengan rotan, murid yang bergerak, berbicara, bahkan menggunakan topeng yang sama sebagai cerminan hilangnya identitas mereka akibat struktur mapan tersebut.
Penyeragam skill, kontrol pikiran, dan orientasi pada kerja adalah fokus utama band mengenai pendidikan. Untuk masalah ini saya percaya dengan apa yang dikatakan John Dewey. Menurutnya, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi yang setara (equal relation).
Sayangnya, pendidikan kita tak pernah benar-benar menciptakan manusia-manusia bebas. Sebagai negara dunia ketiga, alih-alih melepaskan diri dari pendidikan gaya kolonial, murid malah terjebak dalam cita-cita komunal menjadi pegawai negeri. Termasuk perploncoan dalam dunia pendidikan yang makin ke sini hanya berisi amuk senior yang membabi buta. Saya kira, saya dan pembaca sekalian pernah mengalami hal tersebut.
Ditambah dengan apa yang disebut Chomsky dalam Democracy and Education, “Sistem kapitalisme pasar bebas (free market capitalism) dengan tirani modalnya dan sistem totalitarisme religius (religious totalitarianism) dengan tirani imannya jelas berseberangan amat tajam dengan kedua aliran berpikir tersebut. Totalitarisme religius menginginkan terciptanya manusia-manusia yang tunduk dan patuh pada doktrin-doktrin religius yang seringkali bersifat eksklusif dan tradisional. Sementara kapitalisme pasar bebas menginginkan terciptanya manusia-manusia yang menjadikan uang dan daya beli sebagai satu-satunya ukuran kemanusiaan seseorang. Keduanya menjajah kebebasan, dan keduanya menciptakan penderitaan dalam hidup manusia. Pendidikan di dunia haruslah menyadari pengaruh dua hal tersebut, dan bersikap kritis terhadapnya.”
Di samping musik yang kompleks dan eksplorasi tema yang luar biasa, bagi saya Pink Floyd adalah salah-satu band cerdas dalam menyisipkan simbol-simbol. Dan yang paling menarik bagi saya adalah simbol hammer. Banyak orang menganggap hammer merepresentasikan kebangkitan Neo-Nazi karena dalam In The Flesh Pink menjadi gila, membayangkan dirinya tampil di konser sebagai pemimpin fasis yang menuntut kesetiaan penggemarnya.
Apa yang menarik dalam bagian ini adalah saya kira ketika penggemar Pink seketika berubah menjadi kumpulan hammer yang bergerak secara militeristik dengan gerakan sama. Kita bisa membayangkan penggemar Pink sebagai sesuatu yang dengan atau tanpa sadar dikontrol Pink sebagai kekuatan terpusat. Hubungan ini sama dengan hubungan antara masyarakat dan negara.
Jika Pink menggunakan ketenaran sebagai alat untuk mengontrol penggemarnya, negara memiliki caranya sendiri. Produk kebudayaan, nilai, undang-undang, dan berbagai aparatus membantu legitimasi serta pengontrolan negara terhadap masyarakat. Pemenjaraan Ravio Patra saya pikir dapat menjadi contoh yang bagus dalam praktik ini. Sialnya, hal seperti ini masih sering terjadi seiring lantangnya slogan NKRI Harga Mati yang keluar dari tenggorokan kering.
NKRI Harga Mati kerap kali dijadikan pembenaran atas diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan negara terhadap masyarakatnya. Baik terhadap individu maupun komunitas yang tidak memiliki kepentingan sama dengan kepentingan negara. Jika ini terus berlangsung, hal yang paling mungkin terjadi adalah hilangnya kebebasan individu dan komunitas untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya sendiri karena ruang diskursus sudah ditutup rapat oleh hal-hal yang telah disebut di atas.
Untuk menutup tulisan ini, dengan keluguan anak kecil yang memiliki segudang rasa ingin tahu, serta UU Cipta kerja yang baru saja disahkan, saya akan mengutip lirik lagu “Mother“.
“Mother, should I trust the government?”
Pada akhirnya, apa yang membuat Pink Floyd masih layak didengar adalah karena relevansinya terhadap persoalan-persoalan sosial. Termasuk hal paling mendasar bagi manusia, yaitu kebebasan individu. Entahlah, saya tidak tahu mengapa ini bisa menjadi hal yang luar biasa bagi saya pribadi. Apa yang menjadi keresahan saya sebenarnya adalah apakah Pink Floyd begitu sakti karena karya-karyanya masih relevan dengan kondisi saat ini, atau hanya karena kita tidak pernah benar-benar berkembang?