Fb. In. Tw.

Mencipta “Bala-bala” di Tanah Rantau

Teman-teman pasti tidak asing dengan penganan “bala-bala” atau “bakwan”. Semasa kuliah di Bandung, makanan ini begitu akrab di lidah saya.

Penganan ini kadang saya jadikan lauk waktu sarapan, makan siang, dan makan malam. Pokoknya apapun yang terjadi, bala-bala adalah teman makan nasi yang paling akrab di lidah kami para “makinwa” (Mahasiswa Miskin dan Mengkhawatirkan).

Bala-bala atau bakwan adalah penganan kolaborasi antara tepung terigu dengan sayuran semacam kol, wortel, kadang bayam, dan buncis. Itulah yang menyebabkan penganan tersebut, untuk daerah Bandung dan sekitarnya bernama bala-bala. Yang artinya sebuah penganan dari tepung terigu dengan aneka irisan beberapa jenis sayuran dan berserak (bala, Sunda) tak beraturan di dalam adonan tersebut.

bala-bala3

(Foto: Yussak Anugrah)

Bumbu yang dibutuhkan dalam membuat bala-bala adalah bawang putih, merica, garam, bawang daun, dan penyedap, kadang bisa juga ditambahkan satu atau dua butir telur untuk melembutkan adonan. Komposisi bumbu disesuaikan dengan banyak-tidaknya adonan dan menurut selera si pembuat adonan.

Mengapa saya membahas bala-bala atau bakwan, bukan membahas Indonesia atau soal lain yang menurut orang lain lebih penting? Menurut saya yang sedang di perantauan, membahas bala-bala artinya membicarakan Indonesia.

Di sini saya tidak menemukan penganan sejenis bala-bala, goreng tempe atau mendoan, dan gehu. Kalau sejenis karoket (lumpia berisi bihun dan wortel), cakue, odading, martabak telur, dan goreng pisang masih bisa saya temui walau dalam rasa dan bentuk telah mengalami penyesuaian dengan kultur di Chiang Rai, Thailand.

sowana2

(Foto: Yussak Anugrah)

Artinya, jika saya ingin menikmati bala-bala, mendoan, dan gehu maka saya harus mencipta sendiri penganan tersebut.

Masalahnya adalah tempe tidak bisa saya temukan di pasar dan swalayan, pun dengan tahu untuk membuat gehu—tahu di sini terlalu lembut sehingga tidak bisa dirakit menjadi gehu.

Akhirnya hanya bala-bala yang mungkin saya cipta. Lalu saya ajak para mahasiswa Indonesia untuk berkolaborasi dalam mencipta bala-bala, dan mereka setuju. Hore!

Proses pembuatan adonan dan menggoreng adonan kami lakukan selepas Ashar di sebuah Sabtu (11/10/14) di laboratorium kampus Universitas Mae Fah Luang. Kebetulan ada sepuluh anak teknik pangan IPB yang sedang melakukan penelitian selama satu semester di sini, dan salahsatu lab-nya bisa kami gunakan untuk memproses bala-bala.

Puji Tuhan, proses membuat bala-bala berjalan dengan lancar. Tahap demi tahap kami lalui sesuai alur yang berlaku.

Setelah semua proses kami lalui, bala-bala pun siap kami santap. Lalu penganan yang membuat kami “feels like home” itu kami bawa ke sowana alias depan kampus. Lalu kami panggil semua mahasiswa Indonesia untuk bergabung menyantap bala-bala dengan penuh haru hingga matahari memberikan tongkat estafet kepada bulan.[]

Sumber foto: Yussak Anugrah

 

KOMENTAR

Pernah mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Mae Fah Luang, Chiang Rai, Thailand. Saat ini dia sedang merintis sebuah ruang baca, seni, dan budaya bernama Rumah Baca Manyar di kampung Seuseupan, desa Sindangsari, Ciranjang-Cianjur.

Comments
  • Hahaha… Mantap itu kalimat “… tidak bisa dirakit menjadi gehu.”

    18 Oktober 2014

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register