Menatap Hujan di Mata Yuni
Pukul delapan malam, setelah meloloskan diri dari rutinitas meja kerja, seorang perempuan menuntun saya untuk menepi sejenak dari riuh Jakarta. Ia membawa saya ke dalam kehidupannya di daerah Banten, sekitar dua jam dari kantor saya di Sudirman. Meskipun tak jauh secara jarak tempuh, tetapi apa yang dia ceritakan tampaknya sangat berjarak dengan kehidupan saya di jantung kota ini, yaitu soal perempuan dan cita-citanya.
Gadis yang menuntun saya itu bernama Yuni. Pertama-tama ia mengajak duduk, kemudian pelan-pelan masuk ke dalam kehidupan fiksinya yang sudah ia siapkan dalam sebuah film panjang karya Kamila Andini berjudul nama yang sama, “Yuni”.
Di awal cerita, teredengar samar nyanyi musikalisasi puisi Sapardi: Aku selembar daun terakhir/ yang mencoba bertahan di ranting/ yang membenci angin. Yuni kemudian mengenakan baju SMA dengan aksesoris dominasi ungu, warna kesukaannya. Kemudian ia bercerita seringkali bermasalah dengan teman-teman dan guru di sekolah karena ungu: ia ingin memiliki segala hal yang berwarna ungu!
Saya ingat, teman-teman saya di media sosial juga suka sekali warna ungu. Mereka mengubah foto profilnya menjadi polos warna ungu terutama saat International Women Day. “Tapi tunggu,” Yuni berbisik, “siapalah saya, yang tak ikut berbaris dalam women march untuk menuntut kesetaraan gender.” Ia menyadarkan lamunanku dan mengajak kembali mengikuti cerita perempuan dari Banten itu.
Menikmati Hari-hari Yuni dengan Lambat
Cerita Yuni berjalan pelan sekali. Sangat khusyuk dan saya nikmati. Ia tidak terburu-buru loncat dari adegan ke adegan. Yuni menceritakan cukup detail kehidupan sehari-hari: mencuci baju, obrolan tetangga di warung, kasidahan khas emak-emak Banten, suara karaokean yang keluar dari sound system butut, dan ragam peristiwa harian lainnya. Kondisi sosial dalam cerita Yuni tampaknya sudah disiapkan dengan riset psiko-sosial yang cukup mumpuni, sehingga peristiwa yang tampak biasa itu mampu memunculkan warna lain khas milik film Yuni.
Cara bertutur yang pelan dan mendalam sebenarnya sangat dipengaruhi juga oleh cara Yuni menampilkan konflik. Ia tidak tergesa untuk menceritakan konflik yang meledak besar, atau menyeret trauma dari masa lalu yang memengaruhi ceritanya. Konflik-konflik muncul secara wajar dari benturan peristiwa keseharian yang sebenarnya menyembunyikan suatu masalah njelimet. Tetapi secara konstan, konflik itu seperti bola salju: melaju dan membesar. Semula dari cita-cita melanjutkan pendidikan tinggi setelah SMA, hingga harus beradu menolak lamaran-lamaran lelaki di tengah konsep perempuan yang kolot: kasur, sumur, dapur.
Yuni ialah film feminis yang melawan wacana usang yang merugikan perempuan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Misalkan tergambar dalam beberapa kali adegan saat Yuni membeli pulsa di sebuah kios pulsa milik Yoga (Kevin Ardilova). Jika kamu juga menonton Yuni, pasti akan mengerti bahwa di tempat yang sama dan dalam adegan yang sederhana, ada tangga cerita dan kesan berbeda. Ada relasi laki-laki perempuan yang sedang dinegosiasikan.
Pengalaman khusyuk menikmati jalan cerita yang lambat dalam film panjang Indonesia seperti ini, mengingatkan saya pada film Ziarah karya BW Purba Negara. Secara subjektif, saya sendiri sudah terlalu lelah oleh hidup yang tergesa: peristiwa-peristiwa hanya jadi kutu lompat di lini massa sosial media, atau target-target kerja yang juga berjalan ngebut dalam rel yang panjang.
Saya teringat Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Berlari (2017). Katanya, saat ini kita hidup dalam dunia ‘kesegeraan’ atau ‘keseketikaan’ (instantaneousness), yang di dalamnya segala sesuatu muncul dan menghilang secara instan. Segala sesuatu muncul dalam keseketikaan, dan menghilang dalam tempo yang sama. Yuni berhasil menarik saya dari waktu yang menyedot umur saya dengan cepat itu.
Membunuh Superhero
Konsep lain yang menjadi tenaga dalam cerita Yuni adalah bahwa film ini membawa wacana besar tanpa memunculkan superhero. Bahkan dalam hemat saya, Yuni membunuh konsep superhero yang seringkali muncul ujug-ujug dari Hollywood atau narasi heroik feminisme. Film ini berusaha membawa penontonnya menggali persoalan sehari-hari dan meyakinkan mereka bisa menjadi pahlawan untuk lingkungannya masing-masing. Film ini membawa narasi feminis tanpa jargon dan adegan-adegan yang bising. Sekilas juga film ini mengambil sudut pandang homophobia di masyarakat kita melalui karakter seorang lelaki yang Yuni idamkan.
Jika harus ada “Pahlawan Utama” dalam film ini, tak lain adalah Yuni itu sendiri. Ia secara berani menjalani hari-harinya dengan keputusannya sendiri, seorang perempuan mandiri. Meskipun ia rajin mendengar pendapat orang lain, tetapi keputusan akhir tetap di genggaman tangannya sendiri: memilih lelaki mana yang ia sukai, memilih tempat main di malam harinya sendiri, memilih siapa yang ingin ia setubuhi, hingga menentukan siapa yang harus atau tidak harus untuk ia nikahi. Ia terlihat sangat bebas saat bertemu dengan Suci (Asmara Abigail), ia mengeksplorasi kebebasan perempuan secara ekspresif dari seseorang yang telah mengalami betapa tidak becusnya struktur sosial kita untuk membela perempuan, bahkan saat terjadi kekerasan dalam sebuah hubungan. Yuni dan Suci berjoget bersama untuk selfie (simbolik untuk dapat menghargai diri sendiri).
Pergelutan Yuni itu seperti ringan, jika kita tidak memiliki beban lingkungan sosial yang berat. Dalam cerita Yuni tergambarkan realitas lingkungan tempat Yuni tinggal secara cukup detail seperti dikemukakan tadi: lapangan kerja, nilai budaya dan agama, kebutuhan uang, dan seterusnya dan seterusnya. Semuanya cenderung mensubordinatkan perempuan.
Yuni sebenarnya tak sendirian. Di lingkungan patriarkis tersebut, di peradaban agraris yang sedang mulai bergeser ke industrialis itu, ada pahlawan-pahlawan lain. Ibu Guru Yuni yang berjuang keras untuk murid-muridnya, teman perempuan Yuni yang harus meneguk kebejatan keluarga sendiri dan laki-lakinya sendiri, kebanggaan berbasis materi dan kesuksesan karier yang menyiksa teman masa kecil Yuni, atau Ayahnya sendiri yang sangat bijak dalam menyikapi pergulatan cinta dan gender dalam sudut pandang nasib manusia. Di tengah perlawanan itu, ada satu adegan yang sangat menempel di ingatan saya untuk menggambarkan Yuni: saya suka sekali saat Yuni ngibing pencak silat sambil menangis di nikahan tragis sahabatnya terkasih.
Yuni, dan juga orang-orang dekat di lingkarannya, adalah sekelompok pahlawan yang tak berasal dari fantasi, mereka memang tampak pasti ada di lingkungan kita terdekat, yang akan kita sadari ketika kita berani mengambil jeda dan lebih peduli dengan seksama pada sesama.
Mengalami Puisi Sapardi
Dalam cerita Yuni yang penuh perjuangan itu, Kamila Andini menjahitnya melalui puisi Sapardi. Saya berpikir sejenak, kok bisa-bisanya menceritakan hidup Yuni yang kelam dan penuh perlawanan dengan menyelipkan puisi-puisi Sapardi yang liris. Dari larik puisi ke larik puisi, Sapardi hidup dalam cerita Yuni, seperti puisinya di pembukaan film tadi.
Saya teringat film dokumenter dari Yayasan Lontar saat mengikuti Sapardi ke kampung halamannya di Surakarta. Hidup di dalam keraton, menjadikan Sapardi memiliki waktu banyak untuk menghayati kehidupan sekitarnya dengan teliti, misalnya: lonceng, bayangan, kayu bakar yang jadi abu, hujan di bulan juni. Seperti kata Goenawan Mohamad (GM) dalam tulisannya untuk mengenang Sapardi berjudul “Kata dan Pengalaman”, ia menyebutkan bahwa puisi Sapardi adalah puisi yang lahir dari pengalaman. Menurut saya, pengalaman yang transenden dan personal.
Dan kata GM, “peng-alam-an (adalah): proses keterlibatan dengan ‘alam’—akrab menyatu di tengah dunia yang hidup, tumbuh dan merapuh, majemuk dan dalam, acap kali memesona acap kali mengimbau, tak mudah dirumuskan dan umumnya tak lempeng.” Konsep pengalaman inilah yang berhasil dicuri jadi siasat cerita Yuni, puisi Sapardi melekat dalam pengalaman Yuni, sehingga menjadi larik-larik pedih yang hidup dalam tafsir perjuangan Yuni untuk menentukan masa depannya sendiri.
Secara keseluruhan saya menikmati cerita Yuni ini. Apalagi diperankan akrtis yang menjanjikan: Arawinda Kirana. Setelah menikmati penampilannya di Drama Musikal Nurbaya dan kini di Yuni, saya yakin ia selalu kerja keras dalam pembangunan karakter melalui riset etnografis maupun studi pustaka.
Sayangnya, ketika Yuni akan selesai bercerita, saya kira ia terlalu menutupnya dengan tergesa-gesa, sangat tidak nyaman bagi saya pribadi. Apalagi, di penutup cerita, ia menumpuk beban makna visual simbolik yang penuh tanda tanya, itu sedikit mengganggu kesan saya terhadap Yuni yang bertutur pelan dan apa adanya tanpa terlalu banyak metafora yang berserak sepanjang cerita.
Meskipun adegan penutupnya tak terlalu mengesankan bagi saya, tetapi cerita ini belum tertutup di ingatan saya. Bahkan film ini membuka nilai-nilai yang Yuni yakini, bahwa mimpi perempuan tak boleh ada yang mencuri, mereka pun punya kehendak dalam tanggung jawabnya sendiri.