Menafsir Raden “Yusi” Mandasia Sebagai Bacaan Fardhu
Pendekatan Studi Kewahyuan dan Cocoklogi Terhadap Buku Dongeng Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
Fatihatul Kitabah
15 Mei kemarin adalah Minggu agung yang pernah terjadi di usia-usia trengginas saya sebagai baperis, pembaca, pejuang skripsi, dan peranc— astaghfirullah.
Siang hari di Kineruku itu benar-benar seperti gambaran cuaca surga dalam Sabda Nabi, matahari sekian tombak tingginya dari ufuk, cahayanya sopan dan tidak menyengat. Sementara angin mengembara di lekuk-lekuk tubuh dan pepohonan tanpa membuat kedinginan. Saya berharap tato manis yang hinggap di pinggang belakang mbak Messy (atau Nessy?) kala itu turut menikmatinya juga. Dengan suasana semacam ini, menikmati Raden Mandasia dengan segelas teh tarik dingin adalah keaduhaian di atas keaduhaian. Kecuali jika kamu rewel dengan harga es teh susu di sini.
Maka saya segera memulainya dengan mengamati sampul, pilihan font, desain perwajahan. Semua tampak padu dan cakep. Lalu mulai membuka halaman demi halaman. Sampai di halaman 16, tepat pada paragraf pertama di kalimat “Sekarang aku harus tenang dulu.” sesosok bayangan lewat, saya mendongak sedikit dan… Astaga! Om Yusi! Saya tidak mungkin tenang.
Dia tersenyum ke arah saya, lalu mengambil posisi hendak duduk di kursi samping saya. Sebelum sempurna niat duduknya, saya berpikir dan bertindak cepat. Akibatnya, saya segera menutup buku, setengah berdiri menyalaminya. Dia juga dengan posisi hampir duduk, dan tampak kurang nyaman segera menyambut uluran tangan saya. Ya Tuhan. Kami bersalaman dengan pose yang kagok. Sepertinya saya baru saja berbuat kesalahan.
“Saya Farid,Mas.” Kata saya menyambar kekagokan tadi.
“Yusi,” sahutnya singkat.
Ingin sekali saya sambar omongan tadi itu denga udah tahu keless tapi gak jadi. Keburu dia bertanya dari mana asal datang, usia, kuliah, dan jurusan yang saya ambil. Saya dari Purwakarta. Lalu dia berterimakasih atas kedatangan saya. Dia tahu Purwakarta-Bandung kira-kira sejauh 3 hari perjalanan berkuda. Dan kedatangan saya yang khusus ini sudah semestinya mendapatkan terimakasih beliau. Hehehe.
“Silakan, lanjutkan membacanya.” Katanya lagi sembari bersiap menyulut rokok Garam Filternya. Saya degdegan. Saya seperti disergap perasaan yang sama waktu ketemu Acep Zamzam Noor di Tasik, empat tahun yang lalu. Mendebarkan. Ingin sekali bertanya banyak hal tapi segan bukan main. Mereka berdua (Om Yusi dan Kang Acep) selain berkacamata dan punya potongan rambut yang sama, ternyata benar-benar punya kharisma yang sama: kharisma seorang Ajengan.
Alih-alih melanjutkan membaca, malah terbitlah pikiran ini: melanjutkan bacaan bisa kapan saja, tapi ngudud di sisi Ajengan? Ini momen langka. Saya segera menyambar sebatang rokok dan menyulutnya. Nikmat. Lalu, hening. Dia sibuk dengan ponselnya. Saya sibuk dengan pikiran sendiri. Hilda, kekasih saya yang lampau, melalui sms bilang akan ke sini juga. Kineruku tempat yang baru untuk menyemai duka. Hallah.
Melihat saya tidak melanjutkan membaca dia bertanya: “Jurusan apa, Rid?”
“Tafsir, Mas Yusi.”
“Wah, menafsir kitab suci atau hati perempuan?” Tanyanya berkelakar.
“Keduanya sama sulitnya, Mas.” Jawab saya senyambungnya. Dia tertawa kecil, entah pada jawaban saya atau layar smartphonenya.
Hening lagi. Dia menelpon, memainkan ponsel, menerima dengan ramah orang-orang yang datang, dan… astaga (lagi)! Zen Rs dalam radius seperpipisan laki-laki baligh! Dia datang dengan istrinya, Mbak Galuh dan anaknya. Mereka segera menyalami om Yusi, kemudian memandang saya sekilas seperti kobokan makannya om Yusi. Tapi yaudahlah sebagai kobokan yang baik saya merasa harus tetap diam; ternyata duduk dalam kecanggungan yang agung dengan durasi lama-lama begini gak enak juga. Setelah dua ududan kemudian saya berdiri, tanpa pamit apapun saya jalan masuk ke dalam. Meninggalkan Om Yusi, Mas Zen Rs, Mbak Galuh, dan Mbak Nessy (atau Messy?) mengobrol. Kobokan kok bisa jalan? Lucu juga.
Di tengah bahasan buku ini di Kineruku kemarin terbersit juga kelakar beliao. “Tolonglah Raden Mandasia ini diperlakukan seperti kitab suci,” sambil mengutip QS. Al-Baqoroh ayat 2.
Baiklah. Saya bakal menanggapi kelakar ini dengan serius. Kelakar yang saya harap keluar saat sesi pertanyaan; yang mana saya nanya akan jadi apa buku ini berpuluh-puluh tahun kemudian. Saya harap jawabannya bisa sekonkrit ini: sepuluh tahun lagi buku ini bakal jadi fondasi untuk membentuk bangunan sosial masyarakat dari suatu kumpulan lieur yang menyerukan penegakan Khilafah. Hehe. Tapi dia malah bilang, dia seorang kapitalis, ingin bukunya laris. Jawaban yang lucu di tengah sorak-sorak-ribut kanan-kiri dan pemberangusan buku belakangan ini.
Oh, iya sebelum terlalu jauh. Saya pingin sekali mengingatkan para jamaah bahwa tulisan ini bisa saja menjadi tulisan yang tidak enak dibaca: humornya garing, kajiannya asal-asalan, teknik menulisnya buruk. Kalau mau yang bagus para jamaah bisa mencari ulasan soal Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi ini di tempat yang lain. Misalnya ulasan yang penuh akrobat dari Sabda Armandio, ulasan berbobot tapi asyik dari Dea Anugerah. Dan ulasan yang mendalam dan menyeluruh dari Zen Rs. Di mana doi bilang kalau Raden Mandasia adalah babak ketiga teknik penulisan Babad Jawi. Kesimpulan yang membuat saya bertepuk tangan sendirian di tengah keramaian kemarin. Anjrit. Masa orang sebanyak kemarin itu tidak ngeh dengan inti omongan dan pusat ulasan Zen Rs yang panjang itu?
Dan akhinya… para jamaah. Yang akan saya tawarkan ini cuma hasil bacaan mahasiswa ilmu al-quran dan tafsir dari sekolah tinggi islam Purwakarta yang sepi peminat. Dan… ampas kobokan. Njrit! Belum apa-apa saya dah gak pede.
Selintas Tentang Tafsir, Studi Kewahyuan, dan Cocoklogi
Tafsir secara bahasa berasal dari wazan fassaro-yufassiru-tafsiron yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Al-idlah wa al-tabyin penjelasan dan keterangan. menyingkap. Sedang secara etimologi berarti mnjlasakan mkna quran dri brbagai seginya baik secara tekstual, konteks historis, abab nuzul dengan menggunakan ungkapan yang jelas . Menurut Az-zarkasyi tafsir adalah ilmu yang berfungsi mengetahui kandungan Al-Quran dengan cara mengambil penjelasan, makna, hukum, serta hikmah di dalamnya.
Hikmah, mari kita simpan kata yang satu ini!
Sementara studi kewahyuan dalam bahasa lain disebut pendekatan teologis normatif dalam memahami agama (Abuddin Nata: 2016).
Yang terakhir cocoklogi. Cocoklogi tadinya lebih populer (sepertinya asalmulanya juga) untuk membuat meme yang mengait-ngaitkan semua gejala-gelaja semiotik (pada bangun arsitektur, logo grafis, pola-pola angka, dll.) ke teori konspirasi, lengkap dengan kaitannya pada uang 1 dollar, Amerika, bintang david, Israel, yahudi, yang mana semuanya ternyata selalu menghasilkan argumen-argumen yang di-islami-islami-kan dengan cara yang sangat lucu. Misal: Astaghfirullah, segitiga bermata satu ada pada video klip penyanyi yang belakangan mengira bisa menambah kecanggihannya menyanyi dengan maju sebagai calon DKI 1. Terus ada yang ngirimi dia sesuatu mirip bom. Well done Ridwan Saidi.
Tapi, sebentar, cocoklogi ini secara bahasa berarti: mencocokkan. Mirip dengan model kerja munasabah, salah satu metode pendekatan yang selalu dipakai dalam menafsir Al-Quran oleh para Mufassirin dan jurus utama Mufassir junjungan kita semua: Quraish Shihab dalam Al-Mishbah.
Nah, munasabah ini digunakan untuk mengait-ngaitkan dari kata ke kata, ayat ke ayat, surat ke surat, maupun makna ke makna, bahkan sampai pada pola-pola semiotik yang agak acak dalam al-Quran. Untuk yang terakhir ini anda bisa lihat bagaimana seorang Kiai menyimpulkan Borobudur adalah istana kerajaan Nabi Sulaiman. Agak menggelikan sih. Tapi yaudahlah.
Kajian Seadanya dan Seada-adanya Atas Raden Mandasia
Melalu pendekatan di atas tadi ikhlaskanlah saya membangun keyakinan ini dulu: bahwa segala hal yang kontra-Quran adalah sesuatu yang asathirul awwalin (tipu-tipu dongeng orang baheula) dan sudah tentu royba fiihi (meragukan).
Lalu, kembali pada kelakar om Yusi soal kesetaraan bukunya dengan kitab suci ini timbullah pertanyaan awal: di manakah posisi Raden Mandasia dalam “dzalikal kitabu la royba fiih, hudan lilmuttaqin”? Pertanyaan yang lebih jelas: apakah Raden Mandasia bisa setara dengan Al-Kitab (Al-Quran)? Jelas tidak. Pertama, di dalamnya tidak ada tuntunan yang Qoth’i, jelas, dzohir, tidak ada syariat hukum. Dan yang paling penting: tidak ada ciri utama kenabian (mukjizat) sedikitpun pada om Yusi Avianto Pareanom. Huehehe.
Kedua, mungkinkah Raden Mandasia menjadi hudan lil muttaqiin petunjuk bagi orang-orang bertakwa? Mungkin.
Raden Mandasia bagiku tetap bisa diobrolin dalam perspektif keilmuan yang diterapkan pada Al-Quran. Sebab bagaimanapun kita tidak bisa mengelak jika segala hal (termasuk Raden Mandasia) adalah ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda) dari Allah Swt untuk manusia. Makanya perlu ditafsirkan. Perlu pula diungkapcari kecocokannya dengan konteks kehidupan sekarang (Fazlurrahman: 1980) agar menjadi hudan lil muttaqin. Intinya mengorek dan mengambil hikmah dalam Raden Mandasia (soal ini kamu bisa menguaknya sendiri) adalah keharusan. Hal yang juga sama menjadi motif Ibnu Katsir mendokumentasikan dongeng-dongeng Israiliyat dalam kitab tafsirnya.
Bicara tentang Raden Mandasia melalui kajian Tafsir, sebenarnya bisa dipulangkan lagi pada apa itu tafsir dan bagaimana ia digunakan. Pertama tafsir yang saya bicarakan adalah sebuah perangkat keilmuan yang berguna menyingkap pesan-pesan Al-Quran mulai dari yang dzohir sampai batin. Kedua: Al-Quran sendiri bagi mufassir tidak bisa dikatakan sebagai karya sastra atau produk kebudayaan belaka. Bodo amat jika para orientalis macam Goldzhier ngotot soal itu. Al-Quran adalah wahyu ilahy. Titik! Lagipula dari kedua hal inilah titik tolak semua pendekatan yang akan kita lakukan pada Raden Mandasia. Sebisa mungkin. Kalaupun tidak, yaudah.
Karena Al-Quran adalah wahyu ilahy maka mari kita bicara soal wahyu. Semoga ini menjawab pertanyaan Heri Maja Kelana soal perbedaan wahyu dan wangsit, sekaligus menjelaskan posisi Raden Mandasia dalam hal ini.
Seingat saya (tolong ingatkan jika ini kurang lengkap) kata al-wahyu beserta derivasinya dalam Al-Quran muncul dalam 3 kelompok momen. 1. Wahyu sebagai ciri utama kenabian dan kerosulan para Rosul (QS: Al-Qashash); 2. Mindset lebah sebagai makhluk dengan insting bereproduksi, berkoloni, dan produksi madu yang mengagumkan (QS. An-Nahl); 3. Ide Ibu Musa tentang pelarungan bayi Musa ke sungai (QS: Al-Qashash). Semua momen ini diurai dengan awalan kata yang sama: awhayna: kami (telah) wahyukan.
Lalu apa itu wangsit? Bodo amat ah. Cari tahu aja sendiri. Ganggu aja!
Melihat bagaimana bentuk karya ini secara keseluruhan maka saya lebih merasa kalau jejak wahyu yang ada pada om Yusi adalah wahyu yang sama dengan yang turun pada Ibu Musa As. Dengan hati yang cemas om Yusi (secara metaforis) melarung Raden Mandasia di sungai pembaca Indonesia yang alirannya sangat fluktuatif dan labil. Yahh… kamu lihat aja angka melek baca di kite.
Om Yusi juga bertindak seperti Ibu Musa yang memerintahkan adik Musa untuk memastikan bayi Musa dapat sampai ke tangan yang tepat, Asiyah. Yusi mengutus Banana (Penerbitan miliknya) dan kawan-kawan seperjuangannya untuk mengawasi Raden Mandasia, “bayinya” ini sampai ke tangan yang tepat.
Tujuan pelarungan Ibu Musa tentu saja hanya sebatas kasih sayang seorang ibu pada anak, tidak sejauh yang kita tahu akhirnya (menyelamatkan seorang Nabi dari kekejian mimpi Firaun). Seperti juga om Yusi, dia tidak tahu-tahu amat bagaimana nasib Raden Mandasia nantinya. Yang dia tahu, masyarakat menunggu bacaan yang aduhai. Persoalan apakah nasib Raden Mandasia bakal sama dengan buku-buku return-an Gremd atau Mezn yang dijual 15K setelah hitungan 3-5 tahun nanti itu beda urusan. Gitu kan Om?
Sekilas saya memang tidak menemukan intertekstualitas dongengan Raden Mandasia dengan kisah-kisah dalam Al-Quran kecuali kisah seorang Nabi yang diuntal ikan paus. Saya juga melihat beberapa nama yang diambil dari bahasa Arab. Misal, Putri Tabassum; tabassum artinya senyum. Raden Maktal, maqtal: tempat atau waktu perang. (Eh, bentar, Putri Tabassum dan hampir sebagian penokohannya mengingatkanku pada karakter di Game of Thrones, Daenerys Targaryen: si rambut putih, ayu, sang khalesi, dan tentu saja mother of dragons.) Loh! Lalu apa kaitannya? Al-Quran pakai bahasa Arab dan sering terbaca sebagai cerapan budaya dan khazanah pengetahuan masyarakat Arab saat itu [QS. Yusuf: 2]. Jadi penggunaan kata bahasa Arab atau mirip bisa saja menjadi titik cocoklogis atau munasabah dengan wawasan Al-Quran. Persoalan seberapa jauh, itu urusan lain.
Sekarang persoalan terakhir. Sebarapa fardhukah membaca Raden Mandasia ini?
Begini, eumm biar saya mengaitkannya pada sebuah pesan di kitab Ta’limul Muta’allim, Toriqothut Taallum (sengaja dikutip lengkap, biar mengesankanmu). Begini kata do’i saat menjelaskan sabda Nabi Saw. Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli maslimin wa muslimatin. Menuntut ilmu itu Fardhu (wajib) bagi muslim laki maupun perempuan.
Afdholul’ilmi, ‘ilmul haal, wa afdholul ‘amali, hifdzul haal. Sebaik-baik ilmu pengetahauan adalah pengetahaun haal. Dan sebaik-baik amal adalah menjaga haal. Haal adalah sesuatu yang memang diperlukan saat itu juga; konteks-lah.
Kau muslim, wajib bagimu sholat, maka kau harus belajar Sholat, dan tentu saja Shalat juga. Sementara kaitannya dengan Raden Mandasia ini simpel saja tafsiranku: kau tahu bacaan yang bagus seringkali susah ditemukan, maka fardhu bagimu untuk mencari, membeli, dan mendakwahkannya kepada yang lain untuk membelinya juga. Seperti yang kulakukan saat ini padamu.
Oiya Jangan dipinjemkan! Suruh beli. Kasian om Yusi, dia sudah lama kepengen umroh.
Lalu kau juga tahu kalau membaca buku adalah sesuatu yang mulai jarang dilakukan, maka membaca buku ini dan mendakwahkannya adalah fardhu bagimu saat ini.
Nah, terakhir, kalau Om Yusi akhirnya bisa umroh, maka tuntutlah ia untuk menulis buku baru yang lebih seru, tuntut juga Banana yang merupakan penerbit miliknya menerbitkan buku-buku yang bagus lagi penting dan bermutu.
Khotimah
Simpulan saya sesederhana ini; bagaimana menempatkan Raden Mandasia ini dengan Al-Quran? Jawabanya: dalam beberapa hal memang “ya”. Tapi secara keseluruhan tentu saja “tidak”. Saya gak mau kena tulah dari ayat “wa in kuntum fi roybin min ma nazzalna ‘ala ‘abdinaa fa’tuu bisurotin min mitslihi wad’u syuhadaa’akum min duunillahi in kuntum shodiqiin.”
Al-Quran sekitab penuh, atau sesurat, bahkan seayat pun, semuamuanya adalah mukjizat. Turun dari khazanah pengetahuanNya semata. Sementara Raden Mandasia cuma bagian yang super kecil dariNya pada benak dan segenap keterampilan om Yusi yang fana. Sisa air dari celupan jarum pada lautan pengetahuanNya.
Merayakan Raden Mandasia, berarti juga merayakan sebagian kecil keajaiban mukjizat pengetahuan dan ayat-ayatNya.
Di Raden Mandasia anda bisa belajar banyak tentang kata-kata baru yang jarang digunakan, seperti: merancap,genah, dll.; juga merangkai kalimat dengan logika yang beres; menyusun plot bolak-balik dengan cantik, membangun karakter-karakter yang kokoh, mengurai deskripsi yang nyaman (terutama soal makanan dan adegan ekhm–ekhm), menyusupkan banyolan dengan cerdas dan enak, sampai menyumpah dengan cara dan momen yang tepat. Katakan tapir buntung! kalau misalnya dosen pembimbingmu rewel atau selalu memberi perintah revisi yang kurang jelas dan berkali-kali.
‘Ala kuli haal bisa duduk ngudud sedekat kemarin itu tidak seperti yang dibilang Dickens: menyamakan buku dengan penulisnya seperti makan sop bebek di depan bebek aslinya. Alih-alih saya malah merasa seperti ketemu Abah Ajengan yang pesan-pesan hikmah, kharisma, maupun kelakarnya selalu saya simpan dalam ingatan saya yang rentan. Rentan disatroni kenangan.
Saya harus pulang sore itu. Setelah puas melihat antrean peminta tanda tangan, ngobrol dengan Hilda, mengawasi Sabda Armandio Alif dan gerombolannya, saya segera bersiap pulang. Keluar dari Kineruku, baru sampai pintu, saya malah berpikir untuk kembali masuk. Sambil menahan seluruh malu dan pikiran kalut saya datangi Om Yusi dan Zen RS, menyalami keduanya sambil berharap dapat ngala barokah dari keterampilan tangan mereka berdua dalam meramu pengetahuan, hikmah, humor, maupun dongeng.
Cukup. Saya kira, Om Yusi. Salam tabiq dari Hamba Allah di Purwakarta. Eh salamin juga ke Mbak Messy (atau Nessy? Atau Maesy Angelina?). Hehe.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
rudy aliruda
menu takjil sarat kalori bagi puasa sunyi saya..gudjob, rid..bravo!