Fb. In. Tw.

Mempertimbangkan Kenangan dan Bahasa Sajak

Pada mulanya adalah kenangan. Setiap orang yang memiliki daya ingat tentu memiliki kenangan. Kenangan ialah juga bahasa lain dari masa lalu. Tepatnya, masa lalu yang eksis kembali dalam masa kini. Kerja menulis sajak juga sebetulnya ialah kerja menghadirkan kembali segala sesuatu yang telah berlalu itu.

Dalam dunia proses kreatif, misalnya, tegangan antara masa lalu dan masa kini biasanya kerap menarik perhatian seorang penyair untuk menggali berbagai nilai maupun ide-ide puitik yang menarik.

Meskipun dunia kenangan ini identik dengan kerja merekam, bukan berarti sebuah sajak hanya menangkap dan mengonversikan segala sesuatu yang berlalu ke dalam bahasa tekstual secara apa adanya. Di dalam sajak, kenangan mendapatkan pengendapan, interpretasi, dan nilai-nilai baru melalui sublimasi bahasa. Selain kenangan sebagai bagian integral dari proses kreatif penyair, kenangan kerap kali tampil juga sebagai tema besar dari sajak-sajak. Entah itu hadir secara eksplisit sebagai pilihan kata maupun implisit sebagai gagasan di balik sajak.

Begitu pula dengan sajak-sajak yang tampil pada HU Pikiran Rakyat, 22 April 2018, yang masing-masing ditulis oleh Mega Adriyanti, Rendy Jean Satria, dan Arbi Sanit. Ketiga penyair ini, melalui sajak-sajaknya, memiliki ketertarikan untuk menghadirkan dunia kenangan melalui sudut pandangnya masing-masing.

Dimulai dari sajak “Mendung dan Bandung” karya Mega Adriyanti. Dalam sajak ini, kenangan dihadirkan untuk mengimbangi atau mengatasi kondisi disharmoni alam dan kota dengan aku lirik. Mari kita baca lengkap sajaknya ini.

Mendung dan Bandung

Gemuruh awan memaksa
aku masuk ke dalam pikiran
yang rusuh dan lusuh. Memikirkan
segala kejadian yang menanggal
bersama kenangan.

Awan mendung menyelimuti kota
yang banyak dipuji orang lain dan
diuji bencana.

Bandung dan mendung. Mestinya aku
tak berjalan keluar menyusuri Braga.
suara gludug memasuki telinga.
hembusan angin menikam dada.

Aku duduk di bangku resto. Melahap
kenangan dan angan. Andai cuaca cerah,
diriku akan pecah. Ke sana ke mari
mencari lorong kebahagiaan

Pada bait pertama, gambaran disharmoni alam dan kota yang terkesan murung (mendung) itu menyebabkan aku lirik “mengenang” berbagai kejadian yang diiringi dengan hadirnya kenangan: Gemuruh awan memaksa/aku masuk ke dalam pikiran/yang rusuh dan lusuh. Memikirkan/segala kejadian yang menanggal/bersama kenangan. Kenangan menjadi objek pengiring dan bahkan secara tegas dibedakan dengan “segala kejadian” (yang sama-sama telah berlalu), meskipun sebetulnya hakikatnya sama saja. Di samping itu, kenangan yang dimaksud aku lirik di sana sebetulnya tidaklah jelas dan eksplisit wujud serta maksudnya ke mana. Hal tersebut menyebabkan pengertian kenangan hadir dalam makna yang cenderung sempit, abstrak, dan terkesan personal.

Kemudian, bait terakhir sajak ini bisa dikatakan ialah semacam bagian yang mempertegas gagasan sajak, bahwa “kenangan” itu ialah ruang sandaran atau sebuah objek pelipur lara dari segala represi pikiran dan batin aku lirik, sehingga pada akhirnya: aku duduk di bangku resto. Melahap/kenangan dan angan.

Meskipun begitu, sekali lagi, bahwa makna “kenangan” dalam sajak ini kiranya masih belum mengalami perluasan makna maupun proses sublimasi dan penajaman bahasa. Terkait dua hal terakhir itu, tentu saja anda bisa membacanya sendiri bentukan bahasa yang dipilih penyair dalam sajak “Mendung dan Bandung”. Bahasa yang dipilih penyair cenderung berupa bahasa tuturan sehari-hari. Minim permainan atau sublimasi bahasa yang lebih kaya. Semisal bait ketiga: Bandung dan mendung. Mestinya aku/tak berjalan keluar menyusuri Braga./suara gludug memasuki telinga./hembusan angin menikam dada. Dengan begitu, “kenangan” pada akhirnya tidak dicoba diperluas dan diperkaya lagi makna maupun gambarannya, yang kemudian membuat pembaca berempati dan tenggelam lebih dalam.

Pada sajak lain dari penyair Rendy Jean Satria yang berjudul “Di Sekitaran Astana Anyar”, kenangan dihadirkan dan dimaknai secara berbeda. Bagi Rendy, kenangan ialah suatu ruang untuk berbahagia, dan oleh karenanya patut dijaga (kehadiran serta keberlangsungannya). Sebagaimana terbaca dalam sajaknya ini.

Di Sekitaran Astana Anyar

Aku tinggal di Jalan Nyengseret
Di belakang rumah sakit Immanuel
Setiap pagi aku selalu mengumpulkan
Benda-benda ajaib di sekitaran Astana Anyar
Seperti lonceng besi berkarat, mesin tik
Yang tidak ada huruf T, stik golf, papan catur
Bingkai tanpa kaca, cermin tahun 9-an,
Walkman, cangkir-cangkir, pipa rokok,
Owan asbak, jam walker, patung rusa,
Juga pemanas air yang semuanya retak-retak
Tapi aku bahagia menatapnya seperti
Menatap sebuah kenangan lampau
Aku ingin menjaga umur kenangan itu
Seperti menjaga sebuah perintah
Dari kata-kata ini

Melalui ruang biografis bernama Astana Anyar, salah satu kawasan kota Bandung, aku lirik seperti mencoba mengakrabkan kembali sebagian ingatan kolektif kita tentang Astana Anyar. Salah satunya, yakni, perihal benda-benda lampau (bekas) yang mungkin sebagian di antaranya sering kita jumpai di pasar loak Astana Anyar.

Dalam sajak itu, benda-benda lampau seperti lonceng besi berkarat, mesin tik yang tidak ada huruf T, stik golf, papan catur, bingkai tanpa kaca, cermin tahun 9-an (90-an?), walkman, cangkir-cangkir, pipa rokok, owan asbak, jam walker, patung rusa, dan pemanas air, nyaris hadir dan dideretkan begitu saja tanpa penggambaran lebih lanjut tentang masing-masing benda itu. Yang jelas, kesemua benda-benda itu hadir kepada aku lirik dan kita dalam kedaaan yang retak-retak.

Meskipun retak-retak, benda-benda lampau tersebut bagi aku lirik tetaplah memiliki sisi lainnya yang “ajaib” (meskipun tak begitu jelas, keajaiban yang seperti apa yang dimaksud). Keretakan yang justru memicu perasaan bahagia dalam diri aku lirik. Sebuah sikap yang agak romantik barangkali: setiap pagi aku selalu mengumpulkan/benda-benda ajaib di sekitaran Astana Anyar (larik ke-3 dan -4) dan tapi aku bahagia menatapnya seperti/menatap sebuah kenangan lampau (larik ke -11 dan -12). Kebahagiaan itu kemudian menggerakan keinginan aku lirik untuk menjaga umur kenangan itu (larik ke-13 dan 14).

Pada bagian akhir sajak, semakin ditegaskan kemudian, bahwa posisi aku lirik dalam sajak Rendy Jean Satria pada akhirnya seperti seorang juru selamat “kenangan”, yang berusaha tetap heroik menjaga kenangan di bawah perintah suci dari kata-kata (larik ke-16 dan -17). Dengan demikian, melalui strategi pemosisian aku lirik dalam sajaknya, Rendy, bisa dikatakan, ialah representasi dari penyair yang masih memegang teguh romantisisme dalam sajaknya. Romantisisme yang mengagungkan puja-puji dan heroisme atas kenangan maupun berbagai hal, bahkan pada hal yang “retak-retak” sekalipun.

Sementara itu, jika dilihat dari segi gaya bahasanya, Rendy melalui sajak “Di Sekitaran Astana Anyar” terlihat lebih memilih mempergunakan bahasa sederhana dan sedikit memberi sentuhan imaji di bagian akhir sajaknya. Meskipun begitu, di beberapa bagian, ada beberapa pilihan kata penting yang saya kira kurang diberi konteks penjelasnya, semisal: ajaib, bahagia, dan kata-kata ini. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang abstrak. Pengunaan kata-kata abstrak itu saya kira mengakibatkan interpretasi pembaca menjadi kabur dan samar-samar. Sehingga kemudian pembaca tidak menemukan pengalaman serta makna baru dari bahasa.

Terlepas dari hal itu, kenangan bagi Rendy Jean Satria, sebagaimana seorang penyair romantik, ialah sebuah benda puitik yang barangkali senantiasa memancarkan pesona-pesona positif dan “ajaib” dari balik dunia keseharian. Dan karena itulah, sekali lagi, Rendy kemudian merasa perlu untuk menjaganya. Salah satunya barangkali menjaga nilai-nilai historis yang terkandung dari benda-benda yang ia jumpai. Dengan begitu Rendy seperti ingin menegaskan kepada kita bahwa yang berarti dari kenangan ialah nilai-nilai historisnya.

Senada dengan Rendy, “kenangan” juga coba dihadirkan juga dalam sajak Arbi Sanit yang berjudul “Lelaki Pemahat Kesepian” dengan nada yang sedikit positif dan optimistik. Dalam sajak tersebut, kenangan ialah sesuatu yang tetap eksis dalam kesadaran aku lirik, meskipun mengalami kehilangan yang sifatnya real, sebagaimana terbaca dalam sajaknya berikut.

Lelaki Pemahat Kesepian
:Yahya Ali

Kau telah begitu jauh pergi;
Dan tak dapat lagi kutelusuri
Tapi, pelukanmu masih saja berbekas dalam ingatan.

Meskipun sosok “kau” secara real telah hilang dan tak terjangkau oleh aku lirik, namun justru kehilangan itu kemudian menyebabkan hadirnya kembali sosok “kau” di ruang yang lain, yakni ingatan. Kata “tapi” di sana juga seolah-olah mencoba menegasi kehilangan sekaligus menegaskan kehadiran sosok “kau” itu sendiri.

Pandangan perihal kenangan yang demikian itu bagi sebagian orang mungkin sangatlah biasa dan mungkin bagi sebagian yang lain lagi terkesan lebay. Karena mungkin dalam sajak ini, bahasa yang ditawarkan kepada pembaca (lagi-lagi) seperti kurang sentuhan kreatifitas pengolahan yang intensif, kaya, dan tajam. Hal tersebut kemudian membuat sajak seakan menjadi inferior dan seolah-olah membuat pembaca menjadi pasif di hadapan sajak dari kerja interpretasi. Pembaca seolah-olah ditempatkan hanya untuk mendengarkankan keluh-kesah personal yang terlalu sempit untuk diinterpretasi lebih luas dan kaya.

Baca juga:
Piknik dan Hal-hal yang Belum Selesai
Yogyakarta dan Alam yang Klise

Berdasarkan pembacaan sajak-sajak dari Mega Adriyanti, Rendy Jean Satria, dan Arbi Sanit barangkali ada beberapa kecenderungan penting tekait pandangan penyair dalam merepresentasikan kenangan. Pertama, kenangan masih dikultusan sebagai objek pelipur lara bagi berbagai konflik (di dalam maupun di luar diri) penyairnya. Kedua, kenangan-kenangan yang hadir dalam sajak itu masih direpresentasikan dari sudut pandang aku lirik yang terlalu personal. Kemunculan dominasi personalitas itu barangkali diakibatkan dari penggunaan kata-kata sifat yang abstrak, yang kemudian tidak dikonkretisasi serta diberi konteks yang memadai dalam sajak. Ketiga, kenangan masih disikapi secara romantik. Dalam artian, masih mengedepankan romantisme masa lalu yang diiringi puja-puji ataupun sentimentalisme aku lirik terhadap berbagai hal yang muncul di sekitarnya. Keempat, minimnya eksplorasi bahasa yang memperkaya interpretasi pembaca terhadap “kenangan”. Kelima, tema-tema tentang kenangan masih juga diminati sampai dengan generasi penyair terkini.

Sebagai penutup tulisan ini, tiba-tiba saya ingin menaruh sebuah pertanyaan di sini: Apa yang akan dilakukan puisi melalui “kenangan”, untuk menghadapi masa yang semakin kompleks dan terkadang kurang kritis pada bahasa seperti sekarang ini? []

KOMENTAR

Willy Fahmy Agiska, kepala Toco (toco.buruan.co). Aktif menulis puisi. Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Masih single.

You don't have permission to register