Memilih Sudut Pandang Penceritaan
Pada edisi kali ini, rubrik buruan menampilkan cerpen berjudul “Nyi Nasim” karya Mufidz At-thoriq Syarifudin. Cerpen bergaya realis. Cerpen yang menitikberatkan penceritaan untuk menampilkan seorang tokoh yang berprofesi sebagai dukun sakti di sebuah desa. Pilihan yang (mungkin) membuat cerpen “Nyi Nasim” mengambil sudut penceritaan orang ketiga (juru cerita). Karena pengambilan sudut pandang ini dianggap cara yang paling mudah dan aman.
Baca juga:
– Ulasan Cerpen “Nul” karya Dadang Ari Murtono
– Lalampahan Puisi Toni
Dalam cerpen ini, karakter tokoh hanya dibangun oleh deskripsi penceritaan karena memang miskin dialog. Atau, dengan kata lain, karakter tokoh atau suasana peristiwa ‘diberitahu’ secara langsung oleh si pencerita. Seperti dalam kutipan sebagai berikut.
Nyi Nasim sudah lama dipercaya bisa menyelesaikan masalah-masalah gaib. Ia dianggap sebagai perempuan yang berselimut kain gelap. Rumahnya redup, hanya nyala cempor di teras. Setiap ada kejadian yang tak masuk akal, Nyi Nasim selalu menjadi jalan bagi orang-orang dusun. Segala beres di tangannya.
Pernyataan bahwa “Nyi Nasim sudah lama dipercaya bisa menyelesaikan masalah-masalah gaib” menjadi sumber utama bagi pembaca untuk mengetahui karakter tokoh Nyi Nasim. Pernyataan ini langsung keluar dari ‘mulut’ pencerita, ia tidak meminjam ‘mulut” orang lain –dalam sebuah peristiwa- untuk menjelaskannya. Meskipun pada paragraf-paragraf selanjutnya coba dirasionalisasikan lewat peristiwa-peristiwa masa kecil Nyi Nasim.
Hal ini tidak seperti pada kutipan di bawah ini. Dari obrolan-obrolan warung kopi, tersiar kabar Nyi Nasim lahir dari ketidakmasukakalan. Ia lahir dari Ibu yang sudah mati. Dilahirkan dalam liang lahat yang sedang di timbun.
Dengan dibuka oleh “Dari obrolan-obrolan warung”, cerita bersandar pada sesuatu yang lebih memiliki akar atau sesuatu yang lazim terjadi di masyarakat sehingga terasa lebih nyata meski apa yang diceritakan selanjutnya “Ia lahir dari Ibu yang sudah mati. Dilahirkan dalam liang lahat yang sedang di timbun.” Sebagai sesuatu yang muskil terjadi.
Baca juga:
– Mereka Kenangan
– Menikmati Puisi-puisi Mohamad Baihaqi Alkawy
Maka, bila melihat dua tipe penceritaan di atas, meski sama-sama memakai sudut pandang orang ketiga, ada dua perbedaan mencolok yang mendukung bagaimana deskripsi seorang tokoh ditampilkan. Dan membandingkan kedua cara ini kita tentu bisa merasakan cara penceritaan yang lebih sesuai dengan gaya cerpen realis. Bahwa si pencerita sebagai kemudi tetap mesti diposisikan secara cermat agar karakter tokoh dapat disampaikan secara lebih “masuk akal” dalam bentuknya yang paling realis.
Lepas dari itu semua, cerpen “Nyi Nasim” menyuguhkan suatu kisah yang mungkin tumbuh di tengah-tengah masyarakat kita. Masyarakat yang masih lekat dengan klenik dan hal-hal ganjil yang mengikutinya. Dalam keterbatasan ruang, cerpen ini tetap berusaha menghadirkan cerita yang bisa kita bayangkan bagaimana cara menikmatinya.[]