Fb. In. Tw.

Membincang Buku “Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar”

“Kamu yakin mampu membaca buku itu?”
“Tentu, kenapa tidak, bukunya cukup tipis, ukurannya tidak seperti pada umumnya.” Perempuan itu menjawab dengan sungguh-sungguh. Mimik mukanya serius. Sementara hujan di sekitar halte semakin deras.

“Tak ada hubungannya tipis tebalnya buku dengan kesanggupan kita membaca. Meskipun buku itu hanya berisi seratus enampuluh satu halaman, tapi belum tentu kamu tuntas membacanya.”
“Kamu terlalu meremehkanku.” Wajahnya mengeras. Dipandangnya buku itu lekat-lekat. Buku berwarna kuning gading, berukuran 11×17 cm.
“Melihat nama penulisnya -Niduparas Erlang, serta tampilan covernya, kupikir buku ini akan menarik.” Seloroh perempuan itu tanpa mempedulikan cipratan hujan yang kini membasahi sepatunya.
“Hah. Kenapa kamu masih menilai buku dari nama penulis dan covernya, atau dari ukuran dan tampilan luarnya?”
“Setidaknya itu penilaian awalku, kenapa? Salah?”

Sebelum lelaki itu menimpali, tiba-tiba sebuah mobil melintas dan byur. Genangan air hujan membasahi celana kedua orang itu. Celana mereka kini kecoklatan dan kuyup.
“Kampret!” sumpah serapah keluar dari bibir lelaki itu. Sementara si perempuan mulai membuka halaman pertama buku itu. Dibacanya dengan serius. Matanya menyipit, terpusat sepenuhnya pada teks. Konsentrasi.

“Memang tidak ada waktu lain untuk membaca buku itu? Hujan begini deras dan masih ada aku.”
Tak ada jawaban. Perempuan itu membaca pengantar penulis dengan seksama. Ia hampir menyelesaikannya.

“Aku pernah membaca buku itu.” Lelaki itu mencoba menarik perhatian. Dan ia berhasil.
“Benar kamu telah membaca habis buku ini?” diacungkannya buku itu hingga hampir menyentuh muka lelaki itu.
“Ya, aku telah selesai membacanya. Menurutku buku itu…”
“Tidak-tidak! Jangan kamu ceritakan tentang isi buku ini.” Sergah perempuan itu.
“Aku tidak akan menceritakan isi cerita dari buku itu, aku hanya ingin mengatakan bahwa,”
“stop!” secepat kilat perempuan itu membekap mulut lelaki itu. Hujan kini menyisakan gerimis kecil. Gerimis tipis-tipis.
Perempuan itu kembali membaca. Setengah jam berlalu. Mereka belum juga beranjak dari tempat itu. Padahal hujan telah berganti matahari sore hari. Matahari hangat yang menyenangkan.

“Duh, kok begini terus ya ceritanya.” Terdengar gerutuan setelah sekian lama tercipta keheningan di antara mereka.
“Itu tentang lokalitas. Coba kamu mau mendengar penjelasanku tadi.”
“Penjelasan apa?”
“Penjelasan tentang buku itu. Tentu bukan penjelasan tentang isi ceritanya.”
Ditutupnya buku itu. Perempuan itu menoleh dan menunggu.

“Kalau kamu menganggap buku itu memiliki kesamaan alur cerita, latar tempat, sudut pandang penceritaan, ya memang begitu. Namanya juga buku kumpulan cerpen. Setidak-tidaknya itu yang membuat kumpulan cerpen itu bisa menjadi sebuah buku.” Lelaki itu merasa menang. Bibirnya mengatup sempurna.

“Tapi menurutku, walaupun ceritanya agak seragam, seharusnya jangan membuat jenuh.”
“Memang kamu sudah membaca berapa cerita?”
“Tiga cerita. Dan aku merasa ada yang salah.”
“Tidak ada yang salah, tapi mungkin mengganggu.”
“Betul-betul. Mengganggu. Bahasanya mengganggu.” Mata perempuan itu berbinar. Ia seperti menemukan sesuatu.

“Pengulangan kata dalam buku ini kelewat banyak. Menggenang seperti air hujan tadi.”
“Aku setuju. Tapi kamu baru membaca tiga cerita. Kamu harus membaca sembilan cerita sampai selesai. Nanti kamu akan mendapatkan sesuatu. Kamu akan mendapati bahwa tema lokalitas bisa diolah serta dinamai dengan bentuk yang lain. Ketegangan cerita yang cukup intens.”

Perempuan itu acuh. Ia kini lebih sibuk memerhatikan celana hitamnya yang kotor kecoklatan.

“Menurutku buku yang kamu baca itu menarik. Idenya oke, tapi sayang penceritanya kebablasan. Penceritanya terlalu asyik bermain dengan bahasa. Padahal ini buku cerpen, bukan buku kemahiran berbahasa. Cerpen pada buku itu terlalu memanjang-panjangkan cerita dengan bahasa, bukan dengan alur cerita.”

“Kamu ngomong apa sih? Lebih baik kita pergi ke stasiun sekarang, kereta berangkat jam enam sore. Jangan sampai kita ketinggalan kereta. Soal buku ini, biar aku menyelesaikannya nanti. Mungkin kita akan membahasnya, kelak, tapi tidak di sini.”

Lelaki itu hanya melongo. Ia tidak sanggup mengatakan apa-apa. Mungkin ia sedikit menyesal karena memberikan buku itu sebagai hadiah akhir tahun.

Bukan, bukan karena buku berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar. Ia kesal karena merasa telah memberikan buku itu pada perempuan yang tidak pernah menghargainya. Tidak benar-benar mencintainya.

Lelaki itu bangkit, berdiri, lalu meninggalkan perempuan itu begitu saja.[]

Judul              : Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar
Penulis          : Niduparas Erlang
Penerbit        : Berjaya Buku
ISBN               : 978-602-70519-2-8
Cetakan        : ke-1, Oktober 2015

 

KOMENTAR

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

You don't have permission to register