Fb. In. Tw.

Membiarkan Orang Pertama Tunggal Bercerita

Membiarkan Orang Pertama Tunggal Bercerita

 

Orang pertama tunggal atau first-person singular merupakan satu mode dalam gramatika yang memosisikan penutur menyebut sekaligus mewakili dirinya sendiri. Sederhananya, first-person singular menggunakan deiksis aku yang berperan sebagai subjek kalimat dalam peristiwa tertentu. Penggunaan first-person singular ini juga banyak ditemukan dalam cerita dengan first-person narrative, yakni teknik naratif yang memberi ruang bagi seorang tokoh pencerita untuk mendikte jalannya peristiwa dari sudut pandangnya sendiri. 

Sudah sepatutnya, dalam first-person narrative, pembaca akan terjebak dalam pengetahuan si pencerita yang serba terbatas. Pembaca juga akan disuguhkan dengan berbagai ingatan, kebingungan, atau sangkaan si pencerita. Oleh sebab itu, bisa jadi pencerita lupa atau keliru akan suatu hal yang diceritakannya. Selain itu, pencerita bisa berpikir apa pun yang diinginkannya, bahkan hal yang terasa menjijikkan atau di luar norma sekali pun.

Misalnya dalam first-person narrative, pencerita bisa menguraikan ingatannya akan seorang perempuan yang pernah berhubungan seks dengannya, meski ia tidak mengingat persis wajah perempuan tersebut, ia cuma ingat perempuan itu tidak bisa dibilang cantik. Selain itu, pencerita juga bisa menjelaskan penilaian mutlaknya tentang keburuk-rupaan seorang perempuan. Bahkan, pencerita pun bisa menerangkan kebingungannya sendiri secara memutar dan panjang lebar. Kurang lebih, hal-hal seperti inilah yang disuguhkan dalam kumpulan cerpen Orang Pertama Tunggal karya Haruki Murakami.

Orang Pertama Tunggal (KPG, 2023) pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jepang dengan judul Ichininshō Tansū pada tahun 2020. Buku ini berisi delapan cerpen, tujuh di antaranya telah dipublikasikan pada tahun 2018-2020 di majalah sastra bulanan Bungakukai, sementara cerpen Ichininshō Tansū atau Orang Pertama Tunggal yang akhirnya dijadikan judul buku sendiri belum pernah dipublikasikan.

Secara garis besar, apa yang diusung dalam keseluruhan cerpen sebenarnya tidak jauh berbeda dari cerita-cerita Murakami sebelumnya. Misalnya, interteks berbagai musik, tokoh protagonis yang nelangsa, aksi seputar perkelaminan, deskripsi yang cenderung bersifat seksual, peristiwa surreal yang sukar dinalar, dan sejenisnya. Oleh karenanya, cerpen-cerpen dalam buku ini tetap memiliki daya tarik khas karya Murakami.

 

Keterbatasan Pencerita
Keseluruhan cerpen dalam buku ini menggunakan teknik first-person narrative, meskipun hal ini lagi-lagi sebenarnya bukanlah hal baru bagi Murakami. Murakami pernah menjawab pertanyaan dari para pembaca bahwa sebagai penulis, ia ingin merasa setara dengan tokoh ciptaannya, caranya adalah dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.

I wrote my first novel in 1979. Since then, I’ve written every novel in the first person. I tried a couple of times to do the third person (it took me 20 years: the first was Kafka on the Shore) – and every time, I feel uncomfortable, like I’m looking down from above. I wanted to stand at the same level as my characters. It’s democratic!

Guardian.com

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penggunaan first-person narrative membuat pencerita memiliki keterbatasan pemahaman akan peristiwa di sekelilingnya. Keterbatasan pemahaman pencerita ini sangat kentara dalam cerpen Orang Pertama Tunggal. Berawal dari pilihan setelan pakaian yang dikenakan oleh pencerita untuk sekadar berjalan-jalan, hingga akhirnya hampir secara absurd ia bertemu dengan seorang perempuan asing yang mencoba untuk berbicara kepadanya. Perempuan tersebut menuduh bahwa si pencerita memiliki kesalahan besar pada masa lalu, tetapi pencerita tidak dapat memahami sedikit pun segala sangkaan perempuan tersebut.

Selain itu, dalam buku ini keterbatasan pemahaman pencerita bahkan berawal dari peristiwa yang surreal. Misalnya dalam cerpen Krim dan Pengakuan Monyet Shinagawa, pencerita mengalami kejadian yang sangat sukar untuk dinalar. Apakah pencerita memang benar bertemu dengan seorang kakek misterius di atas gunung di Kobe; atau seekor monyet yang bisa berbicara di penginapan kecil di daerah sumber air panas M di Prefektur Gunma? Tidak ada yang bisa menjawab hal ini dengan pasti, tidak oleh pencerita, apalagi pembaca. 

Beberapa cerpen dalam buku ini memang menghadirkan peristiwa-peristiwa ganjil. Hingga cerita berakhir, tidak ada kesimpulan yang jelas dan pasti. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa seluruh keganjilan tersebut nyata sebagai bagian dari cerita. Dengan kata lain, perempuan asing, kakek misterus, serta monyet yang berbicara tersebut nyata sebagai cerita, cukup sampai sana.

Hampir pada seluruh cerpen, pencerita mencoba untuk menguraikan ingatan tentang peristiwa yang pernah dialaminya pada masa lalu. Dengan kata lain, pencerita menghadirkan kisah-kisah yang kadang kala kabur dan terkesan acak. Hingga akhirnya, cerita seolah berakhir dengan begitu saja, tanpa ada penjelasan lebih lanjut.

Segala keterbatasan pemahaman dari pencerita ini akhirnya memberikan impresi misteri bagi pembaca. Keterbatasan yang sama juga merupakan teknik yang membuat cerpen-cerpen ini terasa realis. Meskipun kerealisan ini membuat mimpi dan kenyataan menjadi kabur.

***

Sedikit banyaknya, saya sepemahaman dengan pemikiran seorang pencerita di cerpen With The Beatles dalam buku ini. Saat itu, ia iseng membaca buku pengayaan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Jepang Modern sambil menunggu kedatangan pacarnya. Di buku pengayaan, ia mendapati berbagai pertanyaan pada setiap cuplikan karangan. Ia pun meragukan pentingnya berbagai pertanyaan tersebut.

Misalnya, “Bagaimana sikap pengarang terhadap perang sebagaimana ditunjukkan dalam karangan ini?” atau “Ketika pengarang menggambarkan perubahan fase bulan, efek simbolis apa yang terwujud?” Pertanyaan macam itu bisa dijawab dengan cara apa pun seenaknya … Memang bisa jadi ada semacam “jawaban yang relatif masuk akal” secara faktor persekutuan terbesar, namun layak dipertanyakan apakah mengerti perihal yang relatif masuk akal merupakan daya tarik orang mempelajari sastra.

(halaman 72)

Keresahan pencerita di atas juga berlaku untuk buku kumpulan cerpen Orang Pertama Tunggal. Justru, daya tarik buku ini bukanlah berasal dari penemuan jawaban yang relatif masuk akal dari segala misteri yang dihadirkan oleh pencerita dari setiap cerpen. 

Sebagai pembaca, kita cukup mencoba untuk memahami tanpa benar-benar memahami cerita karangan Murakami ini, seperti halnya memikirkan lingkaran yang punya banyak pusat tapi tak punya keliling. Dengan begitu pemahaman kita akan cerpen-cerpen dalam buku ini akan menjadi crème de la crème bagi kehidupan kita.

 

Keterangan Buku
Judul: Orang Pertama Tunggal
Cetakan: Kedua, Mei, 2023
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Ribeka Ota
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

 

 

KOMENTAR

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register